Ironi di Balik Persekusi Kiai

Oleh: Mahmud Budi Setiawan

Inpasonline.com-PERSEKUSI yang dilakukan oleh beberapa oknum KBR (Komponen Rakyat Bali) pada pekan yang lalu (8/12/2017) terhadap seorang Kiai di negara hukum seperti Indonesia adalah merupakan ironi. Padahal, orang yang melakukan tindakan persekusi, bisa terkena pasal 368 KUHP (MK Media, 2017: 73). Perbuatan demikian masuk kategori pemerasan dan ancaman yang akan terkena pidana penjara paling lama sembilan bulan. (Solahuddin, 2008: 88)
Masalahnya, bagaimana mungkin tindakan persekusi ini bisa dengan leluasa dilakukan, padahal pada saat itu ada aparat yang mengetahuinya. Terlebih lagi, berdasarkan video yang viral, pelaku tindakan persekusi dengan ringan mengejek, mendiskreditkan, bahkan ada yang membawa senjata tajam.
Pembiaran dan ketidaktegasan ini, bila tidak segera diakhiri, akan menimbulkan asumsi liar di masyarakat. Seakan ada standar ganda yang diberlakukan dalam kasus persekusi ini. Yang mempersekusi dikesankan sebagai kelompok yang paling pancasilais, paling mengerti Islam nusantara, paling menjunjung tinggi NKRI, dan paling toleran. Sedangkan yang dipersekusi, dianggap sebagai sosok yang keras, konservatif, anti NKRI, dan intoleran. Padahal, cap negatif seperti itu terhadap Kiai yang mereka persekusi sudah dibantah. Penjelasan sudah terang, namun tetap ada hambatan. Ada apa?
Lebih dari itu, pada gilirannya, jika tindakan-tindakan semacam ini dibiarkan begitu saja tanpa ada penyelesaian konkret. Realitanya jika yang melakukan persekusi adalah kelompok atau ormas yang dicap “radikal” maka akan ditindak secara cepat, tapi sebaliknya jika kelompok yang mengaku paling toleran melakukan persekusi tiba-tiba aparat jadi lembek. Padahal belum ada pembuktian siapa yang radikal, siapa yang pancasilais. Stigma hanya berjalan liar di media.
Di sisi lain, yang membuat masalah persekusi ini semakin ironis, adalah rata-rata yang melakukannya adalah notabene sama-sama beragama Islam. Bisa dibayangkan, seharusnya sesama Muslim itu saudara, hanya karena perbedaan yang sebenarnya bisa dikomunikasikan dengan baik, tapi akhirnya dengan sewanang-wenang melakukan persekusi. Dari peristiwa yang dialami oleh Ustadz. Shomad, sangatlah tampak jelas bahwa klaim toleransi yang selama ini disuarakan hanya sekadar utopia.
Dalam Islam tidak ada istilah persekusi. Bila secara umum dakwah diperintahkan dengan penuh hikmah, nasihat yang baik, dan berdebat dengan cara terbaik, apa lagi kepada sesama muslim. Tentunya, sikap ‘tasamuh’ (tenggang rasa) lebih ditonjolkan. Orang mukmin itu di antara cirinya adalah bersikap lembut (rendah hati) kepada sesama muslim dan berlaku tegas kepada orang kafir. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, kepada sesama mukmin begitu keras, sedangkan kepada orang kafir penuh dengan kelembutan dan toleransi.
Karen Amstrong –sebagaimana yang dinukil oleh Dr. Adian Husaini dalam “Wajah Peradaban Barat” (2005: 35)- mengakui bahwa dalam Islam tidak ada persekusi. Bahkan, kalaupun ada persekusi itu sangat jarang dan tidak berlangsung lama seperti persekusi di Eropa di zaman inkuisisi. Dalam buku “Islam in History” (2011: 149) Bernard Lewis menandaskan bahwa Islam mungkin pernah melakukan driskiminasi terhadap nonmuslim, tapi sangat jarang melakukan persekusi terhadap mereka.
Membahas masalah persekusi, mengingatkan penulis pada peristiwa persekusi Galileo Galilei. Robert Lomas dalam bukunya yang berjudul “The Invisible College” (2009: 33-35), menggambarkan bagaimana persekusi yang dilakukan oleh inkuisisi gereja terhadap ilmuan ini. Pada tahun 1633, Galileo diadili karena pendapatnya tentang heliosentris (matahari sebagai pusat) yang senada dengan Copernicus. Pada sidang itu, sambil berlutut di hadapan penyidik kardinal tertinggi, ia disuruh memberi pernyataan terbuka kepada publik bahwa pendapatnya sesat, serta berkomitmen untuk tidak menyebar dan mengajarkan doktrin palsu itu kepada orang lain.
Saat itu, otoritas tertinggi berada di gereja. Bagi siapa saja yang dicap ‘heretics’ (sesat), maka akan mendapatkan penganiayaan atau penyiksaan yang dalam sejarah dikenal dengan inkuisisi. Pendapat Galileo dan Copernicus tentang matahari sebagai pusat adalah benar. Tapi, akibat otoritas kepentingan penguasa gereja saat itu, akhirnya kebenaran harus dienyahkan demi kepentingan kelompok tertentu. Namun, pada akhirnya, yang namanya kebenaran pastilah akan tetap eksis. Ketika, dominasi gereja runtuh, kebenaran ini kembali munngemuka.
Meski tidak seratus persen sama, persekusi yang dilakukan terhadap Ustadz Somad beberapa waktu lalu, tapi memiliki kesamaan pola: Pertama, menganggap kelompoknya paling benar. Kedua, sehingga merasa paling ‘berhak’ mengadili (bahkan mengancam) siapa saja yang tidak sejalan dengannya. Ketiga, ada dukungan penguasa yang tampak dari ketidaktegasan serta perlakuan tebang pilih yang seringkali –kalau tidak boleh dikatakan selalu- ditampakkan terhadap kasus persekusi.
Supaya kasus ini tidak liar dan berlarut-larut, tentunya perlu diadakan pendekatan-pendekatan persuasif, komunikasi yang baik, ketegasan aparat, perlakuan yang adil dan tidak tebang pilih. Tanpa ada hal demikian, maka persekusi terhadap dai akan terus terjadi. Pada gilirannya, jika ini dibiarkan, akan menimbulkan konflik fisik yang lebih luas.
Sebagai penutup, firman Allah subhanahu wata’ala berikut bisa menjadi oase di tengah sahara konflik persikusi masih memanas dan tak kunjung usai:

{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ} [الحجرات: 10]
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10).
Penulis adalah alumni PKU Unida Gontor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *