Asap dan Ironi Pemakmur Bumi

Oleh M. Anwar Djaelani

Inpasonline.com-Di sekitar September 2019, terutama di Sumatera dan Kalimantan, banyak warga yang terganggu, sakit, dan meninggal karena bencana asap. Pemicunya, kebakaran (atau pembakaran) hutan. Kejadian yang tampak rutin tiap tahun ini, sungguh ironis jika dihadapkan kepada peran seharusnya manusia di bumi ini.

Sikap dan Implikasi

Akibat kebakaran hutan di banyak tempat, asap mengepung dan membuat “sakit” Indonesia. Pihak yang terdampak negatif sangat banyak, antara lain warga masyarakat, hewan, perekomian, dan hubungan antar-negara.

Bacalah setidaknya tiga berita ini. Pertama, “Kabut Asap di Riau Sudah Level Bahaya, Ibu Hamil dan Balita Paling Rentan” (www.detik.com 17/09/2019). Bahwa, “Kabut asap sekarang ini sangat berdampak buruk buat kesehatan. Ini karena ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) sudah pada tahap berbahaya,” kata dr. Dewi Wijaya Sp.P. dari RS Aulia Hospital Pekanbaru.

Kedua, “Nasib Tragis Para Hewan Akibat Kebakaran Hutan Ulah Manusia” (www.merdeka.com 19/09/2019). Disebutkan, bahkan hewan pun ikut menderita akibat habitatnya terbakar. Lihatlah, di Kalimantan Tengah puluhan Orangutan terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Sementara, satwa lainnya -seperti ular piton raksasa-, hangus terbakar. Juga, king cobra mati kepanasan.

Ketiga, “Malaysia Tutup 409 Sekolah Akibat Kabut Asap dari Indonesia” (www.cnnindonesia.com 12/09/2019). Dikabarkan, Pemerintah Malaysia terpaksa menutup 409 sekolah di negara bagian Sarawak karena kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Ratusan ribu pelajar terpaksa diliburkan.

Korban jiwa, juga ada. Cermatilah tragedi ini: “Belum Sempat Diberi Nama, Bayi di Riau Meninggal Akibat Asap” (www.republika.co.id 19/09/2019). Sungguh tragis, bayi berumur tiga hari itu bahkan belum sempat diberi nama oleh orangtuanya.

Bencana ini benar-benar tak mudah kita mengerti, sebab yang terjadi seperti pengulangan saja. Sekadar menyebut, ini berita di 2018: “Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau Meluas hingga 12 Titik” (www.kompas.com 16/07/2018). Berikutnya, ini berita di 2017: “KLHK: 20 Ribu Hektare Lahan di Indonesia Terbakar di Tahun 2017” (www.detik.com 28/07/2017).

Pendek kata, bencana asap dari karhutla ini telah membuat kita susah dan sengsara dalam waktu yang sangat lama. “Lelah, Sudah 22 Tahun Karhutla dan Kabut Asap Menghantui Riau” (www.liputan6.com 20/09/2019). Disebutkan, “Kabut asap dan karhutla bukan hal baru di Riau. Sejak 1997, masyarakat Bumi Lancang Kuning selalu kedatangan ‘tamu’ imbas ulah oknum tak bertanggungjawab ini. Mereka membuka lahan dengan jalan pintas agar biaya murah, membakar lahan”.

Apapun, kebakaran hutan -sebagai akibat pembakaran- adalah bencana bagi manusia dan lingkungan. Padahal, kalau tidak dirusak, bumi atau lingkungan tidak akan menyengsarakan manusia, -misal- lewat kepungan asap, terjangan banjir, hantaman longsor, dan lain-lain.

Berhati-hatilah! Hendaklah kita jangan seperti yang dimaksud oleh ayat ini: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar-Ruum [30]: 41).

Lewat ayat di atas, Allah mengingatkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan manusia bisa mengundang dampak negatif yang akan mereka rasakan. Dampak itu, bukan hanya nanti di alam kubur atau kelak di akhirat, melainkan juga sudah bisa dirasakan sejak di dunia.

Hal yang lebih mengenaskan, sekalipun tidak semua orang berbuat kejahatan terhadap lingkungan, namun dampak negatif yang terjadi tidak hanya akan dirasakan oleh para pelaku kejahatan itu saja. Bencana yang datang  juga akan dirasakan oleh orang yang baik-baik.

Posisi Sejati

Atas berbagai bencana, ingatlah ayat Allah yang meminta kita untuk menjadi pemakmur bumi: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)’.” (QS Huud [11]: 61). Maksud “pemakmur bumi” di ayat tersebut adalah bahwa manusia dijadikan sebagai penghuni bumi untuk menguasai dan memakmurkannya.

Jika Allah memerintahkan untuk memakmurkan bumi, itu artinya Allah juga meminta kita untuk menyediakan cara sedemikian rupa kemakmuran bumi itu bisa diwujudkan. Simaklah ilustrasi berikut ini!

Awalnya, manusia diminta untuk memakmurkan bumi dengan menjaga kelestarian lingkungannya. Manfaat menjaga lingkungan, bukan hanya akan dinikmati oleh dirinya sendiri, tapi juga oleh orang lain dan bahkan oleh anak dan keturunan kita.

Untuk keperluan memakmurkannya, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini bertujuan agar kita dapat menjaga alam dengan baik supaya kehidupan bisa terus dinikmati dan bahkan oleh generasi selanjutnya.

Sungguh, generasi yang akan datang tidak akan mungkin bisa menikmati kehidupan dengan nyaman bila generasi yang sekarang lupa dengan tugas mulia untuk memakmurkan bumi. Dengan demikian, tampak, peran sentral manusia dalam upaya pemakmuran bumi. Bahkan, lebih tegas lagi, Allah meminta kita agar tak merusak seperti yang ada di ayat ini: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS Al-Qhashash [28]: 77).

Alhasil, lewat berbagai bencana, Allah bermaksud mengingatkan bahwa manusia telah mengabaikan amanat-Nya untuk memakmurkan bumi. Bermacam bencana itu adalah cara Allah dalam mengirim pesan: Kita diminta kembali ke jalan yang benar. Kita diminta menjaga dengan sebaik-baiknya alam ini, agar tak terjadi ironi atas posisi kita sebagai pemakmur bumi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *