Hikmah di Balik Hijrah Nabi

Hijrah Rasul merupakan strategi menuju kehidupan yang lebih baik sebagai sebuah perjuangan menuju cita-cita luhur membentuk tatanan masyarakat Islam.

Sebelum melakukan hijrah, Rasulullah telah mengkaji kemungkinan dan mempelajari langkah diplomasi. Menurut sejarah, terjadi tiga hijrah pada masa itu. Pertama hijrah Rasulullah sendiri, kedua para sahabat, dan ketiga Rasulullah dan sahabat.

Hijrah yang dilakukan Rasulullah sendiri kurang mendapat perhatian, demikian juga perjalanan hijrah yang dilakukan para sahabat ke wilayah Spanyol tidak bertahan lama sebagaimana diharapkan.

Hijrah ketiga yang dilakukan Rasulullah bersama sahabat berjalan sukses karena terprogram baik. Hijrah inilah menjadi cacatan sejarah karena beliau dapat melakukan perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat Madinah dan sekitarnya dari yang tidak baik menjadi baik.

Ada banyak hikmah di balik peristiwa hijrah tersebut. Diantaranya, bahwa kegagalan tidak mesti menjadikan seseorang berputus asa dalam berjuang mencapai maksud dan tujuan yang telah ditetapkan. Jika manusia mengalami kegagalan di suatu tempat, hendaklah mencari tempat lain guna mencapai kesuksesan.

Allah memerintahkan Rasulullah hijrah ke Madinah karena tanah kelahiran beliau bukanlah lingkungan yang bagus dan bisa mendukung kesuksesan dakwah. Makkah dipenuhi oleh orang-orang yang berakhlak dan bermental tidak baik. Oleh karena itulah, negeri ini harus segera ditinggalkan menuju negeri dan lingkungan yang lebih bagus dan bisa mendukung kesuksesan dakwah.

Ini memberi pelajaran bahwa manusia harus berusaha mencari lingkungan yang sehat, baik dan bisa mendukung kesuksesannya. Lingkungan adalah hal yang paling besar mempengaruhi pembentukan watak, perilaku dan karakter seseorang. Jika seseorang besar dan tumbuh di lingkungan yang tidak baik, kelak akan memiliki kepribadian yang tidak akan berbeda dari orang-orang tempat dia tumbuh dan berkembang.

Ketidaksusesan Rasulullah berdakwah di Makkah juga karena  dilaksanakan secara personal. Di samping itu, percaturan politik di tanah kelahirab beliau itu juga begitu tinggi, sehingga dakwah Islam selalu mengalami kemandekkan karena selalu ditekan oleh penguasa dan elit politik Makkah.
Ketika Rasululllah hijrah ke Madinah, dakwah tidak lagi dilakukan secara personal, namun secara institusi dan melalui lembaga negara. Begitu sampai di Madinah, beliau langsung membentuk negara dan memimpin negara tersebut.

Ini memberikan pelajaran bahwa dakwah akan cepat sukses jika dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Jika dakwah hanya dari mimbar ke mimbar oleh seseorang yang tidak memiliki kekuasaan, sekalipun ada yang mendengar dan mengikuti,  jumlahnya tentulah tidak sebanyak dakwah yang dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan.

Jika saja seorang da’i adalah jenderal, tentu aturan agama akan lebih tegak. Jika mubaligh adalah hakim dan jaksa, tentulah undang-undang akan lebih sempurna tegaknya. Ini sejalan dengan kata ulul amri yang diartikan para pemimpin yang mesti dipatuhi yang seakar katanya dengan kata amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh berbuat baik dan mencegah kemunkaran) sebagai kewaijban sesama mukmin. “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (an-Nisa’ [4]: 59) Demikian juga hal tersebut juga disebutkan dalam  surat Ali ‘Imarn [3]: 104, yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Ayat ini memberi isyarat bahwa amar ma’ruf baru bisa terlaksana dengan baik dan sempurna, jika yang melakukannya adalah ulul amri (para penguasa).

Hijrahnya Nabi juga merupakan bentuk optimisme dan mengandung nilai peradaban. Ketika hijrah menuju kota yang disebut Yastrib, beliau lantas merubah nama kotanya menjadi Madinah. Disitulah beliau memulai sebuah peradaban baru dan nilai-nilai baru yang berbeda dengan sebelumnya.

Sikap optimisme yang ditunjukkan Nabi penting untuk dijadikan pembelajaran ketika kita dalam menghadapi krisis seperti yang terjadi saat ini. Disamping itu, kebersamaan juga merupakan salah satu kunci keberhasilan mencapai perubahan.

Sejak awal, Rasulullah selalu melibatkan orang lain dalam mengemban dakwah Islam. Hal itu dibuktikan saat bersama Abu Bakar sewaktu dikejar-kejar kaum Qurais, lantas bersembunyi di dalam gua. Abu Bakar merasa khawatir terhadap keselamatan Nabi, dan Nabi mengatakan,” Wahai, Abu Bakar janganlah takut karena Allah bersama kita.”

Berbeda ketika Nabi Musa AS, saat dikejar-kejar pasukan Fir’aun, beliau pun berkata,” Wahai kaumku, janganlah takut karena Tuhan bersamaku.”.

Peristiwa hijrah Rasulullah memang telah berlalu selama 1432 tahun. Tetapi makna dan spirit hijrah harus tetap tertanam dalam hati dan jiwa kaum muslimin.

Oleh karena itu, kita harus memahami makna hijrah tidak sekedar pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tapi makna hijrah secara luas adalah perubahan, termasuk perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup di dunia ini.

Harus dipahami bahwa makna pergantian tahun baru Islam itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, kemudian diarahkan ke sesuatu yang  lebih baik di masa mendatang.

Perubahan ini dapat dilakukan manakala setiap individu mampu “menghijrahkan” pemikirannya bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi. Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan pada masyarakat akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan jaman.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa hijrah tersebut.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *