Oleh: Ainul Yaqin
Sekretaris Umum MUI Prov. Jatim
Inpasonline.com-Istilah kontemporer atau kekinian secara umum digunakan untuk menyebut era di tahun-tahun terakhir yang saat ini sedang berjalan. Era kontemporer merupakan kelanjutan dari era modern yaitu era perkembangan ilmu pengetahuan merujuk pada perkembangan sains di Eropa yang ditandai dengan keruntuhan otoritarianisme gereja abad pertengahan dan masuknya zaman baru yang dikenal dengan Renaissance. Era baru ini diikuti dengan revolusi industri di bidang ekonomi dan revolusi Perancis di bidang politik. Karena itu sebenarnya istilah modernisme mencerminkan perkembangan yang terjadi di Eropa sebagai titik balik dari abad kegelapan Eropa, namun kemudian gerakan modernisasi dan paham modernisme juga menyebar ke dunia Islam. Penyebaran paham modernisme ke dunia Islam terjadi karena seiring dengan kemajuan pesat di Eropa, dunia Islam justru mengalami kemunduran secara berangsur-angsur. Ketika dunia Barat diselimuti kegelapan yang dikenal dengan the dark ege, dunia Islam masih cemerlang, namun justru ketika Barat mentas dari abad kegelapan, dunia Islam mengalami hal sebaliknya. Wilayah-wilayah dunia Islam dicaplok oleh orang-orang Eropa sebagai wilayah jajahannya.
Kondisi keterpurukan di dunia Islam yang muncul di saat dunia Barat mengalami perkembangan teknologi dan sains yang pesat telah melahirkan krisis kepercayaan diri sebagian umat Islam. Puncak dari krisis kepercayaan diri adalah terjadi krisis idola yang menjadikan sebagian dari umat Islam tidak tahu siapa yang harus diidolakan. Dampaknya mereka telah secara latah menjadikan Barat sebagai idolanya yang ditampilkan dalam perilaku meniru apa saja yang datang dari Barat. Dapat disaksikan di mana-mana budaya dan tradisi Barat telah dijiplak mulai dari trend makanan, trend berpakaian, trend mengelola pesta, trend berperilaku dan masih banyak lagi.
Makanan fast food yang sebenarnya nilai gizinya tidak terlalu seimbang telah menjadi makanan favorit bagi generasi saat ini di kota-kota hampir di seluruh dunia Islam. Soal cara berpakaian juga bisa disaksikan, bagaimana wanita-wanita muslimah secara latah berpakaian ala pakaian orang-orang di Barat yang mempertontonkan auratnya. Soal mengelola pesta, bagaimana trand pesta dengan standing party sudah dilakukan oleh orang-orang muslim yang mengelola pesta pernikahan, pesta tasyakuran, dan sebagainya, padahal Nabi Muhammad Saw. tidak suka dengan orang makan sambil berdiri, tapi karena latah hal ini tidak menjadi soal di pesta-pesta kaum muslimin.
Upaya sejumlah elemen umat ini untuk mengejar ketertinggalan dari dunia Barat telah melahirkan sema-ngat yang disebut dengan semangat kebangkitan umat Islam. Namun dalam banyak hal telah terjadi kesalahan di sebagian umat Islam dalam mengidentifikasi sebab-sebab ketertinggalan itu. Profesor Sayyid Mohammad Naquib al-Attas memberikan kritiknya dalam hal ini:
Di sebagaian negara-negara Islam sekarang ini, banyak umat Islam yang beranggapan bahwa permasalahan-permasalahan mereka hadapi bersumber dari ketertinggalan dalam bidang ekonomi, sains, dan teknologi. Walaupun secara sekilas anggapan seperti itu benar, permasalahan inti yang menjadi penyebab semua permasalahan lainnya adalah permasalahan ilmu.
Banyak kalangan reformis muslim karena salah mengidentifikasi masalah, semangat mengejar ketertinggalan ekonomi, sains, dan teknologi telah diikuti dengan sikap meniru dalam berbagai aspek sampai pada soal-soal mendasar yang berhubungan dengan pandangan hidup, soal-soal yang berhubungan dengan konsep ilmu dan kebenaran. Mereka berusaha melakukan interpretasi ulang terhadap konsep-konsep dalam Islam yang sudah mapan supaya bisa mengakomodasi perkembangan baru yang ada di dunia Barat. Mereka beranggapan dengan mengikuti Barat akan bisa mengejar ketertinggalan itu. Produknya adalah liberalisasi ajaran agama. Pemikiran-pemikiran seperti soal gender, feminisme, pemikiran soal HAM dan kebebasan, pemikiran tentang pluralisme sampai pemikiran post modernisme yang berkembang di Barat nyaris semua diikuti.
Sehubungan dengan ini al-Attas memberikan kritikan kepada kebanyakan ilmuwan muslim ini, oleh karena sedemikian mengidolakan Barat mereka telah berusaha mengatasi ketertinggalan dunia Islam melalui cara yang salah dengan mem-Barat-kan Islam melalui sistem pendidikan bahkan ada yang ingin menghapus Islam sama sekali seperti yang dilakukan oleh Kemal Ataturk di Turki .
Semangat meniru Barat itu serasa semakin aneh, sampai-sampai banyak juga ilmuwan muslim yang secara latah ikut-ikutan menggugat eksistensi al-Qur’an dan al-Hadits karena begitu bersemangat mengadopsi metode studi yang dikembangkan di Barat yang dikenal metode studi kritik kesejarahan (Historical Criticism). Bagi mereka pikiran baru itu terasa nyentrik dan menarik. Sedikit ilmuwan yang mencoba melakukan kritik terhadap hal itu, padahal metode kritik kesejarahan merupakan metode yang tidak konsisten yang dibangun dengan pendekatan skeptisisme dengan menjadikan keraguan sebagai prosedur untuk mendapatkan kebenaran, maka yang konsisten sebenarnya adalah keraguannya itu.
Bisa dicermati bagaimana misalnya Arthur Jeffery yang telah bersusah payah mengumpulkan riwayat apa saja tanpa mempedulikan status riwayat itu apakah terpercaya atau tidak. Jeffery mengklaim telah berhasil mengoleksi riwayat-riwayat seputar mushaf yang disinyalir berbeda dengan Mushaf Utsmani seperti riwayat Mushaf Ibnu Mas’ud dan Mushaf Ubay bin Ka’ab. Dengan temuan ini apa yang hendak dicapai, yaitu membuat simpulan bahwa otentisitas al-Qur’an yang selama ini diyakini kaum Muslimin patut diragukan.
Jika Arthur Jeffery menerima semua riwayat tanpa mempedulikan statusnya dengan kata lain tidak mempersoalkan otentisitas riwayat, kebalikannya Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan para penerusnya melakukan sebaliknya. Kedua Ilmuwan Barat ini telah melakukan segala cara menolak metodologi yang digunakan oleh kaum muslimin dalam menguji otentisitas al-Hadits. Metode penelusuran hadits yang sudah mapan dalam tradisi Islam mereka bongkar. Mereka ciptakan medote tersendiri untuk menguji keabsahan hadits, targetnya seolah-olah hanya untuk sampai pada simpulan bahwa otentisitas al-hadits pun meragukan secara historis. Wal hasil ada ilmuwan muslim yang terpengaruh sehingga menjadi ragu dengan otentisitas al-Qur’an dan al-Hadits. Cara penalaran seperti ini memang baru sehingga bisa membuat sebagian intelektual muslim keasyikan dengan nalar seperti ini tanpa ada sikap kritis.
Kelatahan sebagian intelektual muslim yang kehilangan jati diri kian menjadi-jadi sering melahirkan produk-produk penelitian sensasional yang bermasalah. Contoh, sebuah paparan yang konon juga produk penelitian, baru-baru ini sempat digelar dalam sebuah seminar akademik di UIN Sumatra Utara yang diberi judul: “Jejak Pelacur Arab dalam Seni Bacaan al-Qur’an”. Dari judul seminarnya saja bermuatan pelecehan terhadap al-Qur’an. Bagaimana bisa di kampus ini ada yang tega menampilkan judul sedemikian seronok tanpa mengesankan ada beban psikologi sama sekali. Jika si peneliti mau sedikit sopan dan telaten memahami al-hadits dan asbab al-nuzul, serta menelaah buku-buku yang ditulis para ulama dalam soal adab terhadap al-Qur’an, rasanya tidaklah sampai hati membuat judul seminar seperti ini. Dari hadits Nabi akan diketahui bahwa munculnya cara-cara pembacaan al-Qur’an yang indah adalah manifestasi dari pesan Rasulullah Saw yang disampaikan dalam banyak riwayat, sebagaimana antara lain dalam sabdanya:
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
“Baguskanlah suara bacaan al-Qur’an kalian.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i)
Dalam redaksi yang lain:
حَسِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا
Baguskanlah al-Qur’an dengan suara kalian, karena suara yang bagus akan menambah keindahan al-qur’an. (HR al-Darimi)
Kemudian Rasulullah juga bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Barangsiapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca Al Qur’an, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Dalam Riwayat al-Bukhari disebutkan:
لَمْ يَأْذَنْ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ
ِAllah tidak pernah mengijinkan sesuatu pun kepada Nabi sebagaimana ijin-Nya untuk melagukan al-Qur`an.
Berkaitan dengan hadits-hadits tersebut Imam al-Nawawi memberikan penjelasan:
أجمع العلماء رضي الله عنهم من السلف والخلف من الصحابة والتابعين ومن بعدهم من علماء الأمصار أئمة المسلمين على استحباب تحسين الصوت بالقرآن وأقوالهم وأفعالهم مشهورة نهاية الشهرة فنحن مستغنون عن نقل شئ من أفرادها
Para ulama salaf dan khalaf dari sahabat dan tabi’in serta generasi sesudahnya dari imam-imam kaum muslimin sependapat dengan sunahnya memperindah suara ketika membaca al-Qur’an. Perkataan dan perbuatan mereka berkenaan dengan hal ini teramat masyhur, maka kami tidak perlu mengutip satu-persatunya.
Lalu dari mana peneliti ini berkesimpulan bahwa tradisi pembacaan al-Qur’an dengan indah adalah sumbangan para biduan wanita penghibur. Kesimpulan ini sebenarnya terbantahkan oleh al-Qur’an sendiri. Dalam QS. Luqman ayat 6 Allah Swt berfirman.
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡتَرِي لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan al-Nadlar bin al-Harits yang selalu berusaha menghalang-halangi orang yang hendak masuk Islam. Ia membeli seorang hamba wanita yang bekerja sebagai penyanyi. Ia berkata kepadanya: “Berilah ia makanan, minuman dan nyanyian”. kemudian ia berkata “Ini adalah lebih baik dari yang diserukan Muhammad kepadamu, yaitu salat, puasa dan berperang membantunya”. Sesudah itu turunlah ayat ini.
Jelaslah bahwa ayat ini adalah kritik terhadap sajian lagu-lagu yang didengungkan para wanita penghibur, lalu bagaimana bisa lagu-lagu ini dikait-kaitkan dengan tradisi membaca al-Qur’an oleh para Qurra’.
Sehubungan dengan fenomena munculnya intelektual muslim yang kebarat-baratan ini, Prof. Sayyid Mohammad Naquib Al Attas menyampaikan dalam bukunya ‘Risalah Untuk Kaum Muslim’ bahwa banyak hal yang kurang disadari atau mungkin tidak diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin tentang kebudayaan Barat. Sesungguhnya kebudayaan Barat sudah sejak kelahirannya telah menceraikan agama dari kehidupannya sehari-hari dan hanya mengikuti tradisi yang diwariskan turun temurun, falsafah, ilmu pengetahuan sebagai dasar hidup mereka. Penolakan mereka terhadap agama semakin kuat akibat trauma mereka terhadap pengalaman beragama Kristen yang dalam beberapa hal mengecewakan mereka. Dalam tradisi Barat berkembang tradisi filsafat. Diantara ahli-ahli falsafah telah mendiskusikan hal-hal yang mendasar seperti hakikat alam semesta dan soal-soal yang berhubungan dengan eksistensi Tuhan, namun bagaimana mereka dapat memecahkan rahasia seperti ini. Mereka tidak akan bisa menyentuh hal yang asasi yang akan mengantarkan pada keyakinan yang sebenarnya, justru rumusan-rumusan yang bersumber dari fikiran mereka hanyalah sebuah teori belaka, hanya suatu sangkaan yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawab-kan. Inilah yang menjadi pokok masalah dari kebudayaan Barat yang berbeda secara mendasar dari kebudayaan Islam yang berbasis pada keimanan dan kesadaran penuh atas keberadaan Allah Swt, Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
Kebudayaan Barat yang bersifat sekular telah memposisikan manusia central segala-galanya sehingga manusia bisa melakukan dan juga berfikir apa saja yang berimplikasi melahirkan berbagai pandangan, falsafah, pemikiran, teori-teori yang bersumber dari akal semata, yang tentu saja melahirkan berbagai aliran yang satu sama lain bisa saling bertentangan. Sebaliknya kebudayaan Islam memandang bahwa manusia wajib tunduk dan patuh pada apa yang telah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Setiap pemikiran, ide, gagasan, maupun tindakan haruslah terpancar dari ketundukan dan kepatuhan itu. Kewajiban tunduk dan patuh itu sendiri ditunjukkan dari namanya al-Islam. Dengan merujuk pada definisi dari al-Jurjani, al-Islam artinya al-khudlu’ wa al-inqiyad lima akhbara bihi al-rasulu shallallahu alaihi wa sallam (ketundukan dan keterikatan terhadap apa yang telah disampaikan oleh Rasul Saw). Karena itu mengadopsi hal-hal yang berasal dari kebudayaan Barat tidak bisa serta merta dilakukan, musti harus diseleksi dengan menggunakan kaidah-kaidah berfikir yang bersumber dari keimanan Islam, bukan sebaliknya seperti yang terjadi saat ini konsep-konsep yang sudah baku dalam Islam dibongkar dan dibikin sedemikian rupa agar sesuai dengan nilai-nilai yang bersumber dari kebudayaan Barat.
Masih mengikuti uraian Prof. Sayyid Mohammad Naquib Al Attas, bahwa problem mendasar yang dihadapi umat Islam saat ini adalah adanya kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan yang telah menyebabkan kebingunan dan kerancuan berfikir. Kebingungan ini telah menyebabkan keruntuhan adab atau hilangnya adab (the loss of adab). Keruntuhan adab dalam masyarakat inilah yang menyebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin umat yang bermasalah dari sisi akhlak, juga kapasitas intelektual dan spiritualnya. Banyak orang yang berpandangan salah menurut al-Attas, dalam mempersepsikan ilmu pengetahuan. Orang mengira bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat bebas dan netral, tiada manis pahit, tiada baik maupun buruk. Padahal ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang netral, bahwa setiap kebudayaan mempunyai pamahaman yang berbeda-beda mengenai ilmu pengetahuan, meskipun ada persamaan-persamaannya. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.
Penjajahan Barat menurut al-Attas telah mewariskan dua hal, pertama memutus kaum muslimin dari ilmu pengetahuan mengenai Islam, dan kedua memasukkan secara halus ke dalam sistem pelajaran itu faham ilmu Barat dan unsur-unsur, nilai-nilai, dan faham serta konsep-konsep kebudayaan Barat sehingga pelan dan pasti menggantikan unsur-unsur, nilai-nilai dan faham serta konsep-konsep Islam dan memutuskan hubungan kebudayaan Islam dari umat Islam sendiri. Penjajahan Barat memang telah melahirkan manusia hipokrit yang kehilangan kepercayaan diri. Inilah sesungguhnya yang menjadi sebab umat Islam meninggalkan kebaikan-kebaikan yang dimiliki seraya melirik apa yang dimiliki orang lain yang justru menyebabkan mereka kehilangan jati diri. Menumbuhkan semangan kepercayaan diri umat Islam untuk terus belajar memahami Islam dengan benar merupakan titik awal untuk mengembalikan kejayaan Islam dan umat Islam.