Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Abdul Hamid adalah seorang ulama yang tak gemar berceramah dan tak suka pula menonjolkan diri. Di sisi lain, dia tekun memelihara harmoni. Saat masih hidup, dia cukup berpengaruh terutama di kalangan NU (Nahdlatul Ulama).
Arif Meneduhkan
Buku berjudul Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan yang ditulis Hamid Ahmad serta diterbitkan Lembaga Informasi dan Studi Islam (Pasuruan) cukup lengkap berkabar siapa dan bagaimana kiprah dakwah dari ulama yanglahir pada 1914 di Lasem – Jawa Tengah itu. Sampai Januari 2015, buku itu telah dua belas kali dicetak-ulang.
Pada sekitar 1926 sampai 1927 –di usia 12-an- Hamid belajar ke Pondok Kasingan Rembang. Pondok itu diasuh Kiai Kholil bin Harun, mertua dari KH Bisri Mustofa (sementara, KH Bisri Mustofa adalah ayah dari KH Cholil Bisri – Rembang). Di Pondok itu, teman Hamid –antara lain- adalah (KH) Mahrus Ali Kediri.
Setelah itu, Hamid pindah ke Pondok Tremas di Pacitan yang mengajarkan segala ilmu agama. Pondok yang didirikan Kiai Abdul Manan itu memiliki nama besar dan berwibawa, sejajar dengan –misalnya- Pondok Tebuireng Jombang. Santrinya datang dari berbagai pelosok negeri.
Setelah 12 tahun belajar di Tremas, Hamid dipinang KH Ahmad Qusyairi untuk dinikahkan dengan Nafisah, putrinya. Hamid menikah pada 12/09/1940 di Pasuruan. Lalu, mulai 1951 beliau menjadi pengasuh di Pondok Salafiyah Pasuruan.
Kiai Hamid halus pembawaannya. Suaranya pelan, sangat lirih, nyaris seperti orang berbisik. Pelan ketika shalat, pelan ketika berdzikir, pelan ketika membaca kitab, dan pelan pula ketika bercakap-cakap (baik dengan keluarga, santri, dan tamu).
Hal di atas menunjukkan bahwa ilmu agama atau syariat telah mewarnai hidupnya. Untuk itu, bisa dibandingkan antara masa mudanya yang temperamental dengan masa dewasanya yang penyabar. Dulu, saat masih kecil atau remaja, Hamid keras kepada orang kafir. Beliau marah dan sering langsung bertindak jika melihat orang cina (tentu saja dalam hal ini yang kafir) sedang mengadakan acara ritual atau perayaan keagamaannya. Waktu itu beliau menggunakan cara konfrontatif yaitu dengan mengganggu mereka. Sepertinya, beliau hendak mengubah kemunkaran dengan ‘tangan’. Belakangan, di masa dewasanya, beliau berubah. Kiai Hamid lebih mengutamakan harmoni. Kalau beliau ingin melakukan perubahan, diusahakan hal itu tak menimbulkan kejutan.
Lihatlah, ketika diserahi tanggung jawab memangku Pondok Salafiyah Pasuruan, beliau tak segera melakukan perubahan yang radikal. Misal, beliau tak segera memperkenalkan sistim klasikal (sekolah dengan kelas-kelas). Padahal, beliau pernah dipercaya menjadi mudir (kepala sekolah) di madrasah Pondok Tremas. Beliau malah pernah menggagas sistim pengkaderan yang cukup maju bagi para lulusan madrasah tersebut.
Bagi Kiai Hamid, kegiatan ajar-mengajar adalah dakwah dan bukan sekadar transfer ilmu dari guru ke murid. Mengajar adalah kegiatan mengubah peserta didik dari yang sebelumnya menyalahi syariat menjadi sesuai syariat.
Cermatilah! Pada 1960-an, Kiai Hamid sangat aktif membuka pengajian di desa-desa, terutama yang tergolong miskin dari siraman ruhani. Beliau suka membuat pengajian di kampung-kampung. Tak hanya berdakwah, beliau juga menyediakan sarananya. Beliau sering memelopori perbaikan masjid / mushala dan madrasah yang sudah ada tapi keberadaannya memprihatinkan.
Kiai Hamid sering menasihati orang dengan cara yang sungguh halus, sangat persuasif. Dengan cara ini, pihak yang diingatkan tak tertekan. Atas kiprah dakwahnya yang seperti itu (baik kepada masyarakat maupun kepada individu tertentu), Kiai Hamid tampak seperti “Menghidupkan bumi yang mati”.
Dalam menjelaskan sesuatu (termasuk di pengajian), Kiai Hamid suka memakai ibarat. Misal, ketika menerangkan bagian dari Kitab Al-Hikam yang artinya, “Dan himpunlah seluruh wujudmu dalam bumi khumul (keadaan tak dikenal orang)”. Beliau-pun memberi ibarat, bahwa “Jika orang berbudi-daya jagung dan benihnya tak dia tanam ke dalam tanah maka tak akan tumbuh, malah dipatuk ayam”.
Terkadang beliau memelesetkan ujar-ujar yang ada agar pesannya mudah sampai. Misal, “Kembang jagung dipetik cino, barang wis kadung yo jarno” oleh Kiai Hamid diplesetkan menjadi “Kembang jagung dipetik cino, barang wis kadung yo dibhenakno”. (Ujar-ujar “Kembang jagung dipetik cina, barang yang sudah terlanjur ya dibiarkan” oleh Kiai Hamid diplesetkan menjadi “Kembang jagung dipetik cina, barang yang sudah terlanjur ya diperbaiki”).
Kata kunci dari semua itu adalah kearifan. Bahwa, dengan kearifan, sesuatu yang berat dapat dicerna dengan santai tanpa rasa tegang. Alhasil, dengan sifat arif yang dimilikinya, ucapan dan tindakan Kiai Hamid berpengaruh di tengah masyarakat. Berikut ini sekadar dua contoh.
Pertama, pada peristiwa 1975, kala jamaah haji di Mekkah ribut. Mereka yakin wukuf jatuh pada hari Jum’at. Tapi, isu yang berkembang, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sengaja mengubahnya menjadi Kamis –konon- agar mereka tak mengeluarkan anggaran yang lebih besar. Pasalnya, upah pegawai Kerajaan menjadi dobel. Atas isu itu, bahkan ada yang mengusulkan untuk bikin wukuf sendiri.
Orang-orang lalu menemui Kiai Hamid yang juga sedang berhaji. Dengan arif, beliau menjawab: “Begini, yang enak itu ikut pemerintah, dapat dua pahala. Pahala taat pemerintah dan pahala taat Allah. Jadi, wukuf hari Kamis saja”.
Kedua, saat NU akan menarik diri dari PPP menjelang Pemilu 1982. Ketika itu, KH Ali Ma’shum -Rais Aam Syuriah PBNU- datang ke Kiai Hamid untuk berkonsultasi. Lalu Kiai Hamid memberi perlambang, yang ditafsirkan oleh KH Ali Ma’shum bahwa tak ada untungnya NU keluar dari PPP. Ketika hal itu disampaikan pada rapat PBNU, maka perlambang dan tafsir itu dijadikan rujukan.
‘Tak Terkenal’
Kiai Hamid –yang meninggal pada 1982- sering mengutip salah satu ujar-ujar Ibnu Athaillah di Al-Hikam, yaitu “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidak-terkenalan)”. Artinya, janganlah menonjol-nonjolkan diri. Tapi benamkan dirimu ke dalam ketidak-terkenalan”. Tampaknya, ujaran itu turut membentuk Kiai Hamid menjadi pribadi yang arif. []