Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama dan penulis 13 buku
Tiga edisi Pedoman Masyarakat di tahun ketiga, 1937
inpasonline.com – Bagi Hamka, majalah Pedoman Masyarakat sangat spesial. Di bukunya yang terbit pada 2018, Kenang-Kenangan Hidup, di tulisan ke-27 dia turunkan judul: ”Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat (1936-1942)”.
Secara bersemangat, Hamka tulis di halaman 250-256 berbagai pengalaman manisnya. Bahwa, sebagai pemimpin Pedoman Masyarakat, dia bisa mewarnai isi majalahnya. Adapun nikmat besar yang lain, dengan posisinya itu Hamka bisa terhubung dengan segenap lapisan masyarakat.
Oleh karena itu Hamka sangat bersyukur karena diberi kesempatan memimpin majalah Pedoman Masyarakat, di Medan, sejak 22 Januari 1936. Majalah tersebut terpaksa tutup pada 13 Maret 1942, karena Jepang datang menjajah.
Atas pengalaman memimpin majalah itu, Hamka bahagia. Dia merasa telah dapat mengisi sejarah hidupnya secara padat sesuai dengan minat yang dimilikinya. Bahkan, lewat posisinya itu Hamka dapat mengembangkan bakat menulisnya. Ini, sesuai dengan cita-citanya.
Untuk memimpin Pedoman Masyarakat, Hamka berangkat ke Medan. Itu artinya, dia meninggalkan kedudukan sebagai Direktur Kulliyatul Muballighin di Padang Panjang. Dia berangkat karena akan memimpin majalah Islam yang terbit tiap pekan itu. Di awal, gajinya kecil, tapi Hamka rela karena yang akan diberikan kepadanya adalah posisi sebagai pemimpin redaksi. Dengan itu, dia akan wujudkan impiannya. Dia ingin tunjukkan jati dirinya.
Cukup Pengalaman
Sebelum ke Medan, Hamka mengenang sekilas pengalamannya di dunia tulis-menulis. Bahwa, dia telah banyak membantu sejumlah media. Misalnya, pada 1921, membantu media Pembela Islam yang terbit di Bandung. Pada 1927 membantu Seruan Islam di Pangkalan Brandan. Media lain yang pernah Hamka bantu adalah Nibras, Bintang Islam, Suara Muhammadiyah (Yogyakarta), dan harian Pelita Andalas di Medan. Khusus di media yang disebut terakhir, Hamka mengirim naskah dari Mekkah.
Semua media yang Hamka kirimi naskah itu selalu memuatnya. Tak hanya itu, mereka memuji kualitas tulisan Hamka. Mereka berharap agar Hamka terus membantu.
Di antara yang memuji tulisan Hamka adalah Fachrodin, salah seorang murid dan kader awal KH Ahmad Dahlan. Itu terjadi di sela-sela acara Muktamar Muhammadiyah ke-18 di Solo, pada 1929. Pimpinan majalah Bintang Islam itu, bilang ke AR Sutan Mansur, bahwa tulisan Hamka bagus dan berharap bakat itu terus dikembangkannya.
Ini kenangan yang lain. Hamka telah dua sampai tiga kali mencoba memimpin majalah sendiri, tapi gagal. Ada Khatibul Ummah (1925), hanya tiga terbitan. Lalu, Kemauan Zaman (1929), hanya lima terbitan. Pun, Al-Mahdi di Makassar (1939), hanya sembilan terbitan. Semua, bukan karena isi yang tidak baik melainkan urusan modal. Di antara sebabnya, uang langganan pembaca yang tidak dibayar.
Tentu, pengalaman-pengalaman itu bisa dijadikan pelajaran yang mahal. Semua, bisa dipakai saat memimpin Pedoman Masyarakat. Ditambah nama Hamka yang sudah populer, Pedoman Masyarakat diharapkan cepat maju.
Sang Pelopor
Popularitas nama Hamka di media plus pengalaman gagal mengelola media sendiri, menjadi modal paling besar bagi kemajuan Pedoman Masyarakat. Adapun majalah itu, sebenarnya telah terbit sejak setahun sebelum Hamka memimpin. Di awal terbit, oplahmya hanya 500 eksemplar. Lalu, sebulan Hamka memimpin, oplah naik menjadi 1000 eksemplar. Pembacanya, tersebar di seluruh Indonesia. Ada juga agen-agen di Singapura dan Pulau Pinang (Malaysia). Oleh karena itu, tidak sampai enam bulan, gaji Hamka telah naik.
Saat Hamka menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masyarakat, yang berposisi sebagai wakil pemimpin redaksi adalah Yunan Nasution. Di majalah itu, Hamka mengisi rubrik Tuntunan Jiwa, Penuntun Budi, dan Cermin Hidup (ini, cerita-cerita bersambung). Ada juga rubrik sajak.
Di dalam majalah itu, telah tergambar kepribadian Hamka. Di samping itu, banyak penulis dari luar yang mengirim tulisan ke Pedoman Masyarakat. Memang, sejumlah nama intelektual-pejuang terkemuka turut menulis di Pedoman Masyarakat, antara lain sebagai berikut: Soekarno, Hatta, Natsir, AR Sutan Mansur, Mas Mansur, Abikusno Tjokrosuyoso, A.Hasymi, Mohammad Yamin, Soepomo, Parada Harahap, M. Amir, Rasuna Said, Sri Mangunsarkoro, dan Maria Ulfa (Hakiem (Ed.), 2022: 145).
Motto Pedoman Masyarakat adalah “Memajukan pengetahuan dan peradaban berdasarkan Islam”. Majalah itu turut mendorong Gerakan Kebangkitan Islam. Pemimpin-pemimpin Islam terkemuka di zaman itu seperti Agus Salim, Mas Mansur, Abikusno Tjokrosuyoso, dan lain-lain berharap besar akan peran Pedoman Masyarakat. Terkait, majalah itu turut menggerakkan MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia). Terasa, Pedoman Masyarakat dan Panji Islam di Medan serta Adil di Solo adalah pelopor media Islam di kala itu.
Pembuka Silaturrahim
Saat Hamka menghadiri Kongres Muhammadiyah di Jakarta pada 1936, di Jogjakarta pada 1937, di Medan pada 1939, dan di Jogjakarta pada 1941, bertemulah dia dengan pembaca Pedoman Masyarakat dari berbagai daerah. Termasuk, dari Banjarmasin. Kala itu, pelanggan Pedoman Masyarakat di Banjarmasin paling banyak, melebihi dari tempat-tempat yang lain.
Pembaca Pedoman Masyarakat bukan dari kalangan Muhammadiyah saja. Ada juga dari Musyawaratuth Thalibin (ini, organisasi pelajar Islam Kalimantan dan berdiri pada 1931). Juga, dengan perantaraan Pedoman Masyarakat, timbul hubungan yang sangat dekat dengan angkatan muda NU di masa itu yaitu Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Kiai Mahfudz Shiddiq.
Soekarno Tertarik
Setelah Soekarno dipindahkan pengasingannya dari Ende ke Bengkulu, Hamka kirimi dia Pedoman Masyarakat setiap kali terbit. Dari situ, Soekarno mulai mengenal tulisan Hamka. Dari situ pula, tumbuh benih persahabatan antara keduanya.
Tentu, persahabatan itu ada prosesnya. Kepada Oei Tjeng Hin, Konsul Muhammadiyah di Bengkulu di waktu itu, Soekarno menanyakan tentang siapa Hamka. Apa pendidikan dan keahlian Hamka? Soekarno kagum setelah mendengar bahwa Hamka hanya bersekolah di pesantren saja.
Ketika Hamka ke Jogjakarta menghadiri Kongres Muhammadiyah pada 1941, Soekarno mengirim pesan lewat Oei Tjeng Hin. Intinya, nanti saat Hamka pulang ke Medan agar sudi singgah di Bengkulu.
Atas hal itu, Hamka sebelum kembali ke Medan memenuhi pesan itu. Terlebih lagi, Hamka sendiripun ingin bertemu Soekarno. Bercakap-cakaplah mereka sekitar dua jam. Berfotolah mereka bertiga (termasuk, Oei Tjeng Hin), sebagai kenang-kenangan.
Hatta dan Buku
Ketika Hattta dipindahkan tempat pengasingannya dari Digul ke Banda Neira, Hamka mengiriminya buku Tasawuf Modern. Buku itu kumpulan tulisan, dari yang telah dimuat di dalam Pedoman Masyarakat berturut-turut lebih dari setahun.
Tidak lama kemudian, datang surat Hatta. Dia mengucapkan terima kasih kepada Hamka atas kiriman itu. Dia gembira karena Hamka berhasil menerbitkan buku pengetahuan agama dengan teknik yang pada masa itu tergolong bagus. Sejak itu, terjalin hubungan baik antara Hamka dengan Hatta.
Agus Salim, Oke!
Jika Hamka ke Jawa, dia usahakan mengunjungi Agus Salim. Kala itu, sang tokoh tinggal di Tanah Abang – Jakarta. Agus Salim senang sekali dikunjungi Hamka. Dia-pun berbicara soal-soal agama, falsafah, politik, tasawuf, dan sejarah hidup Rasulullah Saw. Semuanya, secara mendalam. Hamka tidak bosan mendengarkannya.
Agus Salim senang sekali membaca dan memperhatikan Pedoman Masyarakat. Dia bersedia menulis jika diminta. Tentu, Pedoman Masyarakat mengharapkan tulisan Agus Salim. Hal ini, karena karya tulis Agus Salim elok dan bernas. Gaya bahasa dan pilihan kalimatnya, sangat indah.
Dalam pandangan Hamka, Agus Salim istimewa. Dia adalah ahli politik sekaligus sastrawan. Hamka-pun merasa berhutang kepada Agus Salim.
Natsir dan Isa
Mohammad Natsir dan Isa Anshary, dua di antara sahabat dekat Hamka. Ketiganya penulis yang andal. Tulisan-tulisan mereka tersebar di berbagai media, termasuk di Pedoman Masyarakat.
Hamka, Mohammad Natsir, dan Isa Anshary teman seperjuangan. Mereka saling menghormati. Mereka kebetulan berasal dari satu kampung halaman, Sumatera Barat.
Saat Hamka ke Jawa, dia perlukan datang ke Bandung. Hamka sengaja bertemu dengan kedua kawan sepaham itu. Pada kedatangan di Januari 1941, mereka ambil kenang-kenangan, dengan berfoto bertiga.
Belakangan, mereka bertiga bertemu dalam satu wadah perjuangan mengisi Indonesia merdeka. Lewat Masyumi, mereka bertiga sama-sama menjadi anggota konstituante pada 1956 sampai 1959.
Masalah, Ada!
Hanya saja, jangan pernah menyangka kisah Hamka bersama Pedoman Masyarakat serba indah. Di perjalanan hidup siapapun, ada sisi manis dan pahit. Begitupan dengan Hamka.
Hamka memang bersahabat dekat dengan Natsir dan Isa Anshary. Sementara, A. Hassan-guru dari keduanya di Bandung-menyerang Hamka. Hal ini, karena pernah A. Hassan menilai Hamka di Pedoman Masyarakat mengeluarkan pendapat yang tidak sama dengan pendapatnya.
Kala itu, A. Hassan sampai mengeluarkan Al-Lisan edisi khusus. Edisi itu diberi judul Keluaran Hamka. Di dalamnya, ada tudingan dan ejekan A. Hassan kepada Hamka.
“Kalau jiwa tidak kuat, bisa menghancurkan mental,” kata Hamka. Demikianlah, lanjut Hamka, A. Hassan memang akan mengeluarkan edisi serupa jika ada orang yang menurut keyakinannya telah menyeleweng dari jalan yang benar.
Hal yang menarik, Natsir dan Isa Anshary tidak terpengaruh. Meski guru keduanya ”berselisih paham” dengan Hamka, mereka tidak ikut-ikut. Mereka tidak berpihak. Persahabatan Hamka, Natsir, dan Isa Anshay terus terjaga dengan baik (Hamka, 2018: 255-256).
Lagi, Buah Majalah!
Rusjdi Hamka, menulis bahwa melalui majalah Pedoman Masyarakat, lahir karya-karya besar Hamka yang (sampai saat tulisan ini dibuat) masih dicetak ulang. Ini, berkategori best seller. Contohnya, untuk nonfiksi seperti Tasawuf Moderen, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi. Sementara, untuk karya fiksi Hamka yang terus terbit seperti; Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan. Semuanya, berasal dari karangan bersambung di majalah Pedoman Masyarakat.
Masih kata Rusjdi Hamka yang mengutip Zainal Abidin Ahmad, ada buah manis lain dari posisi Hamka sebagai pemimpin sekaligus penulis Pedoman Masyarakat. Tentu, ini sebagian contoh saja. Pertama, Hamka pemimpin redaksi Pedoman Masyarakat, di kemudian waktu menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Kedua, Yunan Nasution wakil pemimpin redaksi Pedoman Masyarakat, di kemudian hari menjadi Sekretaris Umum Partai Masyumi dan Wakil Ketua II Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (https://panjimasyarakat.com/2025/01/melalui-pers-islam-hamka-perjuangkan-pembaruan-2/).
Usia Berkah
Hamka mulai memimpin majalah Pedoman Masyarakat pada tahun 1936, di usia 28 tahun. Pada usia 30 tahun, pada 1938, Hamka mengarang Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (ini, fiksi). Di tahun yang sama, Hamka menerbitkan Tasawuf Modern (ini, falsafah agama).
Majalah Pedoman Masyarakat harus terhenti penerbitannya. Hal ini, karena tentara Jepang datang menyerbu pada Maret 1942. Hamka ketika itu berusia 34 tahun.
Di zaman Jepang, Hamka menerbitkan majalah Semangat Islam yang mesti diisi propaganda Perang Asia Timur Raya. Namun, keberadaan majalah itu tidak dapat mengambil tempat yang pernah diperoleh Pedoman Masyarakat di hati para pembacanya.
Sangat Spesial
Hamka tidak dapat melupakan Pedoman Masyarakat. Dengan majalah itu, Hamka merasa dapat mengembangkan pribadinya dalam dunia tulis-menulis. Dengan majalah itu, silaturrahim Hamka terentang luas dengan berbagai kalangan.
Hamka akan selalu ingat, bahwa karena Pedoman Masyarakat-lah dia dipertemukan dengan banyak orang. Bertemu antara lain dengan Agus Salim, Natsir, Isa Anshary, dan Soekarno. Juga, karena Pedoman Masyarakat-lah Hamka bersahabat dengan Hatta dan banyak yang lain. []