Ibnu Taimiyah, Hamka, dan “Kepergian” yang Dilepas Sepenuh Cinta

Oleh : M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya

inpasonline.com – Ada banyak kesamaan antara Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Hamka (1908-1981). Di antaranya, sebagai berikut.

Keduanya adalah ulama yang cerdas dan kritis. Keduanya memiliki karya tulis yang banyak, yang sebagiannya ditulis di dalam penjara saat ditahan oleh rezim yang zalim.

Kesamaan lain yang tak terlupakan adalah saat keduanya, wafat. Jenazah Ibnu Taimiyah dan jenazah Hamka diantar ke pemakaman oleh sangat banyak anggota mayarakat dan dari berbagai kalangan. Kala itu, suasana duka sangat mendalam.

Selanjutnya, ada yang spesial. Di Tafsir Al-Azhar, di bagian awal di bawah judul “Hikmat Ilahi”, Hamka menulis sebagai berikut. Bahwa Imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan, tanda orang yang teguh berjalan di garis yang haq ialah bila dia mati jenazahnya diantarkan ke pemakaman oleh ribuan orang dengan sukarela.

Perkataan Ahmad Hambal, lanjut Hamka, diungkap kembali oleh penulis riwayat hidup Ibnu Taimiyah setelah Ulama Besar itu wafat. Ini, karena si penulis menyaksikan, ketika jenazah Ibnu Taimiyah diantarkan dari dalam penjara Damaskus ke pemakanan dengan diiringkan oleh tidak kurang dari satu juta manusia.

Ibnu Taimiyah telah wafat. Oleh karena itu, kata Hamka, dia tidak bisa menyaksikan begitu besarnya jumlah orang yang mencintainya (2003: 55).

Masya Allah, sekitar 650 tahun kemudian Hamka mengalami hal yang sama. Saat Hamka wafat pada 1981, sangat banyak yang mengantar jenazahnya ke pemakaman. Itu, tanda bahwa Hamka dicintai masyarakat.

Ibnu Taimiyah Dicintai

Ibnu Taimiyah sebuah contoh, bahwa kebenaran harus terus ditegakkan apapun resikonya. Ketika masyarakat di sekitarnya tenggelam dalam berbagai bid’ah dan khurafat, Ibnu Taimiyah meluruskannya sekalipun berhadapan dengan kekuasaan yang lalu (sering) memenjarakannya.

Ketika usianya belum dua puluh tahun dia telah mulai memberi fatwa. Ibnu Taimiyah lalu menjadi pusat tempat bertanya tentang banyak masalah, terutama tentang hadits. Dalam menghadapi berbagai penyimpangan ajaran Islam, dia tegas. Ahli bid’ah dan khurafat adalah musuhnya. Dia berani membersihkan Islam dari ajaran sesat. Itu dilakukannya konsisten di manapun dia berada. Di Mesir, misalnya, dia memerangi bid’ah, khurafat, serta berbagai penyelewengan penafsiran Al-Qur’an dan Hadits.

Memang, kritik-kritiknya kepada ahli bid’ah dan khurafat menimbulkan dendam sebagian orang. Berkalikali dia difitnah karena keberaniannya berpendapat yang bertentangan dengan banyak orang. Berulang-kali pula dia ditahan.

Di dalam penjara dia merasa mendapat banyak kesempatan untuk membaca dan menulis. Misal, pada tahun 728, setelah setahun dipenjara, dia telah menyelesaikan tulisan berupa bantahan kepada pihak yang dinilainya menyimpang.

Di saat menulis, Ibnu Taimiyah pandai menyusun kerangka tulisan dan indah memilih kata-kata. Tiap hari Ibnu Taimiyah rajin menulis. Aneka tema yang ditulisnya, seperti tafsir, fiqh, atau ilmu ushul. Sekitar empat buah buku kecil yang memuat berbagai pendapatnya di bidang keislaman bisa dibuatnya dalam sehari. Maka, ketika wafat di dalam penjara pada 1328, secara keseluruhan dia mewariskan sekitar lima ratus judul buku karangannya. Majmu’ Fatawa yang berisi fatwa-fatwa dalam agama adalah salah satu di antara yang paling masyhur.

Di saat-saat akhir kehidupannya, ruang gerak dia dipersempit. Di dalam penjara, dirampas semua buku, kertas, tinta dan pena miliknya. Situasi ini telah membuatnya terkekang, karena dia tak bisa lagi membaca dan menulis. Berbeda dengan ketika dia masih diperbolehkan membawa “benda-benda” itu.

Terutama di saat-saat penjara masih memberinya kelonggaran membaca dan menulis, Ibnu Taimiyah tak pernah bersedih. Baginya, ini ketentuan Allah yang tak boleh disesali. Dia merasa, cukup banyak kebaikan yang didapat di dalamnya, misalnya, ada waktu sangat luang untuk belajar dan beribadah.

Atas perjuangan Ibnu Taimiyah dalam menegakkan kebenaran yang dilakukannya secara tegas dan tanpa kompromi, memang banyak yang memusuhinya. Namun, tak sedikit pula yang mendukung dan menyayanginya. Pihak-pihak itu dari beragam kalangan, seperti orang shalih, tentara, pedagang, rakyat awam dan lain-lain.

Lihatlah saat Ibnu Taimiyah wafat! Dunia Islam berduka. Banyak rakyat di Damaskus, Mesir, serta di lain-lain wilayah menangis. Lalu, mereka yang mampu, berduyun-duyun menyalati jenazah Ibnu Taimiyah. Saat iring-iringan jenazah diantar ke pemakaman, panjangnya bisa menandingi seperti saat Imam Ahmad bin Hanbal dikebumikan.

Hamka Dicintai

Sosok Hamka menerbitkan rasa sayang dari jutaan orang. Itu jika kita lihat, antara lain, dari sepanjang prosesi pemakamannya dan ulasan media setelah itu.

Hamka wafat pada Jum’at 17 Juli 1981, pukul 10.41 saat kaum Muslimin mulai bersiap-siap berangkat ke masjid untuk menegakkan shalat Jum’at. Berita kematiannya cepat tersebar lewat lisan orang perorang, radio, hingga pengumuman di berbagai masjid.

Mendengar kabar itu, duka langsung menyergap. Selanjutnya,  masyarakat ramai berbondong-bondong ke rumah Hamka di Jalan Raden Patah III / 1 Jakarta, yang sekadar dipisahkan jalan dengan Masjid Agung Al-Azhar Jakarta.

Kurang dari satu jam rumah duka sudah penuh. Kabar duka terus berembus cepat, sampai ke Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, Padang Panjang, dan terlebih lagi ke Sungai Batang di tepi Danau Maninjau tempat Hamka lahir. Terus, kabar itu didengar warga Aceh, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Sorenya, datang telepon dari Malaysia dan dari Kongres Islam Jepang di Tokyo. Mereka menyatakan akan mengirim utusan.

Menjelang pukul 12.00, dari Rumah Sakit jenazah Hamka tiba di rumah duka. Di rumah ini, jenazah dimandikan dan dikafani. Di antara yang hadir di sini adalah Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik (berserta isterinya).

Masyarakat terus memenuhi jalan di sekitar rumah duka. Mereka, pria-wanita, ada remaja bahkan tidak sedikit yang lanjut usia. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada Hamka.

Di rumah duka, tak jarang lafal Allahu Akbar diucapkan oleh wajah-wajah duka yang bergelimang air mata. Sedih!

Dari rumah duka, jenazah Hamka diusung menuju Masjid Al-Azhar. Kala itu, sebentar-sebentar terdengar ucapan lirih “Selamat jalan, Buya! Juga, terus terdengar “Allahu Akbar” dikumandangkan yang hadir.

Jenazah Hamka terus diusung ke Masjid Al-Azhar yang di masa Hamka hidup, sang Ulama Tercinta itu menjadi Imam Besar-nya. Banyak orang berebut untuk ikut mengusung keranda jenazah. Sekadar berhasil menggapai keranda saja, sudah cukup bagi sebagaian mereka karena padatnya orang.

Menjelang pelataran parkir, jalan terhalang oleh kendaraan-kendaraan yang terparkir melincang. Namun dalam waktu sekejap, masyarakat yang hadir spontan mengangkat dan berhasil memindahkan kendaraan itu sehingga jalan pun terbuka.

Ribuan jamaah ikut menyalati jenazah Hamka di Masjid Al-Azhar, yang diimami KH Hasan Basri (Ketua MUI waktu itu). Jamaah meluap sampai pekarangan. Sementara, yang tidak sempat berwudhu pun khusuk berdoa.

Ketika hendak diusung kembali dari masjid untuk diberangkatkan ke pemakaman, masyarakat makin padat. Berkali-kali ada yang mengingatkan masyarakat agar tidak histeris dan menjaga suasana tetapi khidmat.

Sepanjang perjalanan dari Masjid Al-Azhar menuju pemakaman Tanah Kusir Jakarta, iring-iringan kendaraan sepanjang sekitar 3 Km berjalan tersendat-sendat. Ini, karena umat berjejal di tepi jalan. Mereka ingin menyaksikan seorang Ulama Besar sedang menuju peristirahatannya yang terakhir.

Sementara, di pemakaman Tanah Kusir sudah ramai orang mendahului berangkat untuk memperoleh tempat di dekat liang lahat. Turut mengantar ke pemakaman, sekadar menyebut, beberapa tokoh nasional seperti Mohammad Natsir, KH Hasan Basri, KH Abdullah Syafi’i, Emil Salim, Bustanul Arifin, Ali Sadikin, dan Tjokropranolo.

Di hari Hamka wafat, ini laporan Majalah Tempo No. 22 Thn XI – 1 Agustus 1981, langit di atas Kebayoran Baru Jakarta seperti mendadak suram. Lalu gelegar halilintar, disusul hujan yang mengucur deras. Sebelumnya, tulis Koran Pelita pada 25 Juli 1981, Jakarta yang jarang disentuh hujan ternyata dalam dua hari menjelang Hamka wafat sesekali dibasahi siraman sekejap dari renyai hujan.

Bukti Cinta

Rasanya, Majalah Tempo (di edisi yang telah disebut di atas) benar saat menulis: Bahwa, orang “Yang baru meninggal itu memang orang besar. Tapi sebenarnya bukan hanya itu. Berpulangnya Hamka, bagi banyak orang adalah perginya seorang kawan: orang yang di layar televisi tampak sebagai tetangga atau penasihat pribadi yang akrab. Jauh dari gambaran angker, pemimpin ini sangat informal. Dan jauh dari “kesucian seorang malaikat”, ia nampak bagai orangtua yang sangat wajar, ramah, bermaksud baik, dan kelihatannya tidak ada yang ditutup-tutupi. Ada sesuatu pada dirinya yang menerbitkan rasa sayang orang. Dan mereka itu ribuan, atau jutaan”.

          Ibnu Taimiyah telah wafat, pada 1328. Hamka sudah meninggal, pada 1981. Dari suasana pemakaman kedua Ulama Besar itu kita mendapat pelajaran. Bahwa, seberapa kuat kadar kecintaan masyarakat kepada ulama akan terlihat terutama ketika sang ulama berpulang.

          Sungguh, tak terbantahkan bahwa jutaan orang berduka dan mengantarkan jenazah Ibnu Taimiyah. Suasana yang mirip juga terjadi saat Hamka wafat. Masya Allah! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *