Cinta Hamka untuk Pemuda dan Bangsa

Oleh :M. Anwar Djaelani

inpasonline.com – Buku adalah jejak paling otentik dari sikap dan pemikiran si penulis. Di antara lebih dari seratus judul karya Hamka, maka buku berjudul Dari Lembah Cita-Cita tergolong penting.

Penting, meski formatnya mungil dan hanya terdiri dari xiv+101 halaman, buku ini bersejarah. Pertama, ditulis pada 1946, saat pergolakan mempertahankan kemerdekaaan negeri ini. Kedua, mengajarkan prinsip bagaimana menjadi guru yang baik dengan tidak menolak siapapun yang datang mau belajar dan pada situasi apapun. Ketiga, isi buku mampu menularkan semangat berjuang membela bangsa dan negara di atas landasan prinsip tauhid.

Dinamika Hamka

Di Padang Panjang, Sumatera Barat, sejak lama telah berdiri beberapa madrasah Islam yang beraliran baru. Di antaranya yang terkenal adalah Sumatera Thawalib yang didirikan oleh Dr. Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) pada 1918.

Kemudian pada 1928 setelah Hamka pulang dari Mekkah, dia punya usul: Muhammadiyah sebaiknya mengadakan Kursus Muballigh di Padang Panjang. Usul itu terwujud dan Hamka sendiri yang memimpinnya.

Mengingat besarnya perhatian pemuda-pemuda, maka pada 1929 Kursus Muballigh itu ditingkatkan menjadi Tabligh School. Belakangan Hamka bangga karena salah seorang muridnya yang menonjol di Tabligh School, menjadi salah satu pemimpin Muhammadiyah. Dia adalah Abdul Malik Ahmad.

Setelah Tabligh School berjalan sampai 1931, Hamka terpaksa meninggalkan Padang Panjang. Dia pergi ke Makassar, untuk menjalankan tugas menjadi muballigh PP Muhammadiyah.

Pada tahun 1934 Hamka kembali ke Padang Panjang. Tabligh School yang didirikan Hamka masih ada tetapi perkembangannya tidak sepesat dulu. Hal ini karena kekurangan guru.

Lalu Hamka menyusun tenaga kembali. Tabligh School Hamka tingkatkan menjadi Kullliyatul Muballighin. Hamka pula yang ditunjuk menjadi direkturnya.

Pada 1936 Hamka berangkat ke Medan memelopori bangkitnya jurnalistik Islam. Dia menekuni dunia karang-mengarang. Adapun latar-belakang dari keputusan ini, adalah: Bahwa, selama Hamka menjadi direktur Kulliyatul Muballighin maupun sebelumnya, telah dia rasakan bahwa bakatnya sebagai pengarang lebih baik kalau dia manfaatkan ketimbang menjadi guru.

Padang Panjang kembali Hamka tinggalkan. Pekerjaan Hamka sebagai pembangun Kulliyatul Muballighin diteruskan oleh kawan-kawan yang lain, terutama yang dahulu menjadi muridnya. Memang, belakangan, yang dulu menjadi murid Hamka lalu menjadi teman. Misalnya, Abdul Malik Ahmad.

Kisah yang Berulang

Pada 1946 Hamka kembali ke Padang Panjang, dari Medan. Hamka dapati murid-murid Kulliyatul Muballighin telah aktif menjadi pejuang kemerdekaan. Sebagian besar mereka membentuk barisan Hizbullah dan Abdul Malik Ahmad juga yang memimpinnya. Murid-murid yang perempuan menjadi barisan perempuan bernama Sabil Muslimat. Abdul Malik Ahmad juga pelopornya.

Namun ada di antara murid-murid itu yang lemah badannya, bukan termasuk yang kuat berjuang secara fisik langsung ke medan perang. Mereka tidak kuat memikul senjata. Tapi, mereka ini tekun belajar dan itupun dalam suasana revolusi.

Dua orang di antara murid itu, yang tergolong sebagai pemuda, lalu datang kepada Hamka. Mereka (salah satunya bernama Zainul Yasni) akan belajar dengan cara menanyakan inti falasafah kemerdekaan. Gunanya, untuk modal perjuangan batin menegakkan negara dan agama.

Mereka datang kepada Hamka meminta diberi kursus yang khas bagi pemuda, untuk memperdalam arti kemerdekaan dalam jiwa mereka. Permintaan dua pemuda itu, Hamka turuti.

Selanjutnya, mereka datang berulang-ulang ke rumah Hamka, menerima kursus. Akhirnya, saking asyiknya, mereka pun meminta izin agar hasil kursus Hamka itu mereka bukukan dan akan mereka sebarkan pada angkatan muda terutama yang mendapat didikan Islam. Tujuannya, supaya mereka berjuang memakai dasar yang kukuh dalam jiwa mereka.

Kehendak itu pun Hamka kabulkan. Selanjutnya, mereka keluarkanlah buku (yang kemudian kita kenal dengan judul: Di Bawah Lembah Cita-Cita). Mereka yang mencetak dengan biaya sendiri. Mereka pulalah yang menjualnya. Kalau jalan penjualan baik, mereka bermaksud dengan keuntungannya hendak mendirikan Taman Bacaan yang mereka dirikan sendiri. Itu pun juga Hamka kabulkan.

Hamka lalu mengenang. Bahwa, sejarah Zainul Yasni (dengan seorang temannya yang belajar, lalu terbitlah satu buku) sama dengan sejarah dirinya sendiri. Dulu, Hamka mendapat kursus tentang Islam dan Sosialisme dari HOS Tjokroaminoto, pada sekitar 1923 di Yogyakarta. Di akhir kursus, isinya oleh Tjokroaminoto dijadikan buku.

Berangkat dari Resah

Buku Dari Lembah Cita-Cita, merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan Hamka menyebarkan semangat kepada generasi muda. Terutama, pemuda yang mendapat didikan Islam. Itu terjadi di masa awal kemerdekaan supaya mereka berjuang mengisi dan mempertahankan kemerdekaan dengan memakai dasar yang kukuh dalam jiwa mereka.

Isi buku, semua ada tiga belas bahasan. Bahasan pertama unik tapi rasanya paling kuat dalam memberikan semangat bagi kaum muda. Judulnya, Dua Orang Pemuda Bertanya.

Bahwa, dua pemuda telah datang bertanya kepada Hamka, tentang apa sebab-sebab dan rahasia sehingga bangsa Arab yang berpecah-belah dan hidup dalam gelap-gulita jahiliyah itu dalam masa yang pendek, telah dapat dibangkitkan oleh Nabi Saw. Bangkit, menjadi bangsa yang besar dan kuat yang gagah perkasa.

Dalam pandangan Hamka, sungguh besar nilai kedua pemuda yang datang berguru kepadanya itu. Di depan Hamka, kedua pemuda tersebut mempunyai semangat yang bergelora dan perhatian yang penuh kepada pembangunan bangsa dan Tanah Air-nya.

Memang, kedua pemuda berharap, kupasan Hamka soal yang ditanyakan itu dapat menjadi pedoman bagi mereka di dalam usaha berkhidmat kepada nusa dan bangsa pada masa yang sulit waktu itu. Atas hal ini, Hamka lalu teringat terhadap sejumlah pemuda hebat yang banyak tercatat di lembar-lembar sejarah. Para pemuda itu, menjadi agen perubahan di wilayah mereka masing-masing.

Misalnya, Hamka ingat kepada mahasiswa Sekolah Tinggi di Leiden – Belanda. Seorang di antaranya bernama Hatta, yang kala itu masih berusia 25 tahun. Waktu itu, Hatta mendirikan perkumpulan politik yang radikal yaitu Perhimpunan Indonesia. Selanjutnya, kita tahu apa peran dan kontribusi Hatta pada Indonesia.

Terkait, tepat sekali perkataan Rasulullah Saw. Kutip Hamka, “Pemuda itu adalah satu bagian dari gila”. Dengan kegilaannya pemuda mengadakan yang belum ada. Kalau sekiranya tidak atas usaha pemuda yang sudah “bergila”, tentu kemerdekaan Indonesia tidak akan kita peroleh, kata Hamka (2016: 3-4).

Hamka merasa bangga mendapat kesempatan dikunjungi (untuk belajar). Dua pemuda itu angkatan baru, pemuda harapan bangsa bahkan kelak bisa menjadi pemimpin bangsa.

Hamka senang dan merasa lebih berfaedah berhadapan dengan dua orang pemuda itu. Pemuda yang bersemangat dan bercita-cita, yang senantiasa resah dan gelisah. Mereka tiada merasa puas sebelum kesejahteraan dinikmati oleh seluruh anak bangsa.

Pemuda, Selamat!

Alhasil, duhai pemuda, bacalah bahasan “Tidakkah Tuan Takut?” di buku “Dari Lembah Cita-Cita”. Bahwa, hidup yang sunyi dari perjuangan sangat murah harganya. Penilaian seperti ini, terlebih lagi oleh Allah. Oleh karena itu, beranilah, berjuanglah tanpa henti! Belum terdengar dan belum bertemu seseorang yang kekal namanya di panggung sejarah melainkan setelah dia menempuh perjuangan, kesulitan, dan kepayahan (Hamka, 2016: 90-91).

Selain yang sedikit diulas di atas, banyak pesan-pesan penuh hikmah dari Hamka kepada pemuda. Meski disampaikan pada 1946, spirit pesan-pesan itu tetap relevan di zaman apapun. Sekalipun aslinya pesan itu ditujukan untuk pemuda, tapi semua lapisan usia sangat layak turut menjadikannya sebagai pelajaran berharga.

Pemuda, selamat berjuang! Bismillah, Allahu Akbar! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *