Hamka, Majalah Al-Munir, dan Kilau Matarantai Dakwah

Hamka, Majalah Al-Munir, dan Kilau Matarantai Dakwah

Oleh M. Anwar Djaelani, peminat sejarah dan penulis 13 buku

01 - Majalah Al Urwatul Wutsqa - Paris.jpg

01 – Majalah Al Urwatul Wutsqa – Paris

02 - Al Manar - Mesir

02 – Al Manar – Mesir

03 - Al Imam - Singapura

03 – Al Imam – Singapura

04 - Al Munir - Padang

04 – Al Munir – Padang

inpasonline.com – Saat majalah Al-Munir (di Padang) terbit kali pertama, pada 1911, Hamka baru berusia tiga tahun. Kala majalah itu berhenti terbit, pada 1915, Hamka masih berusia tujuh tahun. Hanya saja, bagi Hamka, Al-Munir itu istimewa. Mengapa?

Pertama, sang ayah yaitu Abdul Karim Amrullah sering berkisah kepada Hamka tentang kontribusi Al-Murnir yang luar biasa terkhusus kepada KH Ahmad Dahlan. Kedua, Hamka punya catatan bahwa kehadiran Al-Munir adalah bagian dari matarantai panjang dakwah lewat tulisan. Itu, dimulai dari Paris, Mesir, Singapura, hingga ke Padang. Ketiga, Hamka sampai pada kesimpulan bahwa pendiri Al-Munir yaitu Abdullah Ahmad adalah jurnalis Muslim pertama di Sumatera bahkan di Indonesia.

Bagi Hamka, majalah Al-Munir itu spesial bisa kita rasakan. Bukalah bukunya yang berjudul Ayahku, terbitan Gema Insani (2019). Bab 6, berjudul: Semangat Pembaharuan Islam dan Mengalirnya ke Indonesia. Bahasannya, cukup panjang, 23 halaman. Di dalamnya, termasuk tentang majalah Al-Munir – Padang.

 

Dahlan Terkesan

Terbitnya Al-Munir di Padang sangat menggembirakan KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Ulama pembaharu yang tinggal di Jogjakarta itu seperti mendapat kawan seperjuangan, yang sehalauan. Demikian, kisah Hadjid kepada Hamka.

Siapa Hadjid? Hadjid (1898-1977) adalah salah satu murid sekaligus kader awal Ahmad Dahlan. Dia-lah yang mengabadikan pemikiran-pemikiran Ahmad Dahlan lewat buku yang disusunnya dan berjudul: Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an.

Kembali kepada kisah Hadjid. Terhadap Hamka, dia memberi gambaran tentang situasi kala Ahmad Dahlan awal berdakwah. Bahwa, betapa besar reaksi penolakan ulama-ulama tua di Jogjakarta terhadap ajaran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh yang mewarnai dakwah Ahmad Dahlan.

Menghadapi tantangan itu, Ahmad Dahlan mendapat tambahan bekal untuk meneruskan dakwahnya. Makalah-makalah yang ditulis dalam Al-Munir menambah bahan bagi Ahmad Dahlan dalam mempertahankan pendapat-pendapatnya. Memang, Ahmad Dahlan menjadi pembaca setia Al-Munir. Tentang hal ini, diketahui oleh ulama-ulama tua di Jogjakarta.

Al-Munir terbit mulai 1911 dan Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan pada 1912. Ini, fakta menarik. Terasa, bahwa majalah itu turut memberi semangat bagi Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah.

Adapun bingkai pemikirannya, di samping yang telah dipaparkan sebelumnya, berikut ini tambahan dari Hamka. Bahwa, Hamka dapat memahami kisah sang ayah yang telah berulang-ulang disampaikan kepadanya. Kisah itu, tentang sang ayah yang berkunjung ke Jawa pada 1917. Sang ayah singgah di Jogjakarta dalam perjalanannya kembali ke Jakarta dari Surabaya.

Hal yang mengesankan, di Stasiun Tugu Jogjakarta, Ahmad Dahlan menjemput ayah Hamka. Mengingat sebelumnya kedua ulama itu hanya kenal nama dan belum pernah bertemu, maka sebuah cara dipakai: Ayah Hamka memasang di dadanya singkatan namanya dalam huruf-huruf Arab. Cara ini efektif dan dapat mempertemukan sang ayah sebagai wakil dari majalah Al-Munir dengan Ahmad Dahlan.

Ayah Hamka berada di Jogjakarta selama tiga hari, menjadi tamu Ahmad Dahlan. Di tengah-tengah perjumpaan itu, Ahmad Dahlan meminta izin ingin menyalin tulisan-tulisan ayah Hamka di Al-Munir ke dalam bahasa Jawa untuk kemudian diajarkan kepada murid-muridnya. Atas niat baik itu, ayah Hamka tentu mengizinkan dan meminta tolong agar Ahmad Dahlan sudi menambahi jika ada yang kurang (Hamka, 2019: 129).

 

Matarantai Indah

Majalah Al-Munir tak sekonyong-konyong berdiri. Keberadaannya, dilatarbelakangi oleh kisah yang panjang tentang semangat berdakwah lewat tulisan. Semua, bermula dari majalah Al-Urwatul Wutsqa (maknanya, “Tali yang Kokoh”) yang didirikan oleh Jamaluddin Al-Afghani di Paris pada 12 Maret 1884.

Majalah Al-Urwatul Wutsqa, bisa disebut sebagai matarantai yang pertama. Kemudian, majalah Al-Manar di Mesir sebagai yang kedua. Lalu, majalah Al-Imam di Singapura sebagai yang ketiga. Lantas, majalah Al-Munir di Padang sebagai yang keempat.

 

Bermula di Eropa

Ada peran besar Jamaludin Al-Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) dalam pembaruan pemikiran Islam. Dakwah mereka, bisa dibilang, dilakukan secara lengkap yaitu dengan lisan dan tulisan. Lewat lisan, yaitu dengan cara mengajar. Melalui tulisan, dengan menggunakan media cetak.

Perhatikan, Jamaluddin Al-Afghani. Nama belakangnya dinisbahkan ke asal dia, yaitu Afghanistan. Dia lahir di Kota Kabul (Hadikusuma, 2014: 4).

Dia meninggalkan kampung halamannya pada 1869. Dari dirinya memancar semangat pembaruan Islam. Dia ke India, Mesir, Turki, Iran, dan Eropa. Dia bangunkan semangat kaum Muslimin untuk bangkit. Kala itu, dia menyeru umat Islam untuk bersatu menentang penjajahan. Dia minta agar semua umat Islam bebas dari khurafat, syirik dan bid’ah yang menyebabkan umat Islam jatuh di mana-mana.

Al-Afghani memompa semangat revolusi politik maupun revolusi sosial di mana-mana. Dia menanamkan benih-benih kemerdekaan berpikir yang dikehendaki oleh Islam. Di mana saja dia singgah, semangat itu yang dikemukakannya.

Ketika Al-Afghani di Mesir, dia punya murid yang idealis yaitu Muhammad Abduh. Keduanya, lalu saling mengisi. Al-Afghani lebih menjuruskan perhatiannya kepada perubahan politik. Sementara, Abduh menekankan kepada revolusi pendidikan.

Keduanya sama-sama dipandang berbahaya oleh penjajah Inggris dan Perancis. Al-Afghani dan Abduh diusir dari Mesir. Lalu, dalam perjalanan waktu, keduanya tinggal di Paris. Mereka berdua mendirikan Al-Urwatul Wutsqa. Ini, nama majalah sekaligus nama perkumpulan. Tujuan majalah itu, membangkitkan kembali kesadaran kaum Muslimin akan harga diri mereka dan memperingatkan bahaya yang mengancam Islam kalau kaum Muslimin tetap lalai.

Majalah Al-Urwatul Wutsqa mendapat perhatian penuh dari seluruh dunia Islam yang menerimanya. Ini, karena isinya yang sangat menentang penjajahan. Sayang, hanya terbit 18 edisi. Semua, tak sampai setahun.

Edisi pertama terbit pada Jumadil Awwal 1301 H dan bertepatan dengan 13 Maret 1884. Nomor terakhirnya, terbit pada Dzulhijjah 1301 H. Itu, masih di tahun 1884.

Umur Al-Urwatul Wutsqa pendek, hanya tujuh bulan. Selama itu, telah keluar 18 edisi. Meski begitu, kehadirannya cukup menghentak dunia Islam yang mulai bangkit. Akibatnya, majalah yang telah tersebar di Eropa, Mesir, Iran, Afghanistan, Turki, India, dan Asia Tenggara ini dicekal oleh pemerintah kolonial di negara jajahan mereka masing-masing.

Di majalah itu terdapat artikel-artikel yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh dunia Islam. Tulisan-tulisan itu tentang kebangkitan Islam, semangat memberantas kebekuan berpikir, dan yang semisal dengan itu. Di dalamnya, berpadu kekuatan buah pikir Muhammad Abduh dan filsafat mendalam dari Jamaluddin Al-Afghani.

Majalah itu tersebar merata ke seluruh dunia Islam. Majalah itu sampai ke Mekkah, Madinah, India, Iran, bahkan ke Indonesia. “Setiap orang yang membaca majalah ini dan ada bibit untuk menerimanya dalam dirinya, akan berubah pandangan hidupnya dan dia langsung menyediakan dirinya untuk menjadi mujahid Islam,” kata Hamka (2019: 108).

Pelanjut di Mesir       

Di antara pembaca yang sangat tertarik dengan isi majalah Al-Urwatul Wutsqa adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Dia, murid Muhammad Abduh. Rasyid Ridha memberi gelar gurunya sebagai mujaddid, yaitu ”Orang yang memperbarui ajaran agama”. Lebih jelas lagi, mujaddid adalah orang yang mengembalikan ajaran Islam kepada keadaan seperti waktu diajarkan Rasulullah Saw (Hadikusuma, 2014: 63). Kala itu, Rasyid Ridha dikenal sebagai ulama muda.

Atas persetujuan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha mendirikan majalah Al-Manar pada 1315 H yang bertepatan dengan 1898 M. Al-Manar adalah penyambung dari Al-Urwatul Wutsqa dalam semangat kebangkitan Islam. Hanya saja Al-Manar lebih lengkap karena selain membangkitkan semangat, majalah ini juga berisi pandangan-pandangan Islam yang baru. Di dalamnya dimuat Tafsir Al-Qur’an yang ditulis Muhammad Abduh.

Al-Manar tersebar di seluruh dunia Islam. Banyak yang menilai Al-Manar menarik dan dipandang sebagai wajah kaum muda dalam Islam. Penerbitannya berakhir tak lama setelah Muhammad Rasyid Ridha wafat, yaitu pada 1935 (Hamka, 2019: 109).

Muluskah keberadaan Al-Manar? Raja Mesir saat itu, Khadewi Abbas Helmi, sangat benci kepada Muhammad Abduh. Tentu, Rasyid Ridha terkena imbas kebencian juga dari sang raja. Si Raja menyewa ulama-ulama kolot untuk menghantam, menjelek-jelekkan kedua orang besar itu. Sang Raja menyewa seorang ulama kolot untuk maksud itu. Namanya, Yusuf bin Ismail Nabhani dari Beirut. Dia lalu menulis banyak buku yang berisi kedustaan dan fitnah. Aneh, buku dengan isi seperti itu sangat laku di kalangan ulama tua yang sama-sama kolot (Hamka, 2019: 109).

Penerus di Singapura

Pengaruh majalah Al-Urwatul Wutsqa juga sampai ke Jawa dan Singapura. Di Singapura ada hartawan bernama Muhammad bin Salim Al-Kalali. Dia bersahabat dengan seorang ulama asal Minangkabau yang baru pulang dari Al-Azhar Mesir, Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al-Azhari.

Keduanya lalu menerbitkan majalah Al-Imam. Edisi pertamanya, terbit pada Juli 1906. Direkturnya, Muhammad bin Salim Al-Kalali. Penulisnya,  Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al-Azhari.

Pada nomor pertama majalah Al-Imam telah disalin sebuah makalah dari Al-Urwatul Wutsqa. Begitu juga pada nomor kedua. Dari sini, tampak arah dari Al-Imam.

Di nomor kedua, ditulis nama-nama wakil majalah Al-Imam. Untuk Jakarta, Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab. Untuk Sumatera Barat, Maninjau, Abdul Karim Amrullah. Untuk Sumatera Barat, Padang Panjang, Abdullah Ahmad.

Sayang, penerbitan Al-Imam tidak dapat diteruskan. Ini, karena orang-orang telah menerbitkan surat kabar sebagai saingan Al-Imam. Pada permulaan 1909, berhentilah penerbitan majalah yang turut menjadi pelopor pembaruan Islam itu (Hamka, 2019: 115).

Penyambung di Padang

Penerbitan majalah Al-Imam yang berakhir, membuat perasaan banyak ulama sedih. Rasanya, lalu terputus perjuangan ulama-ulama pelopor pembaruan. Adapun yang dimaksud ulama pelopor pembaruan, kala itu, termasuk Abdul Karim Amrullah dan sahabatnya yaitu Abdullah Ahmad.

Berhentinya majalah Al-Imam, memicu niat dari sejumlah ulama untuk menerbitkan majalah serupa di alam Minangkabau. Apalagi, kecuali dua ulama yang telah disebut, ada lagi dua ulama pembaharu yang lain. Mereka adalah Muhammad Jamil Jambek dan Muhammad Thaib bin Haji Umar – Batu Sangkar.

Kata Hamka, di antara mereka berempat, Abdullah Ahmad yang lebih mahir dalam perkara tulis-tulis. Tak heran, dia juga-lah yang memunculkan niat untuk menerbitkan majalah Islam di Minangkabau sebagai lanjutan dari majalah Al-Imam. Hanya saja, dalam hal pengetahuan agama Abdullah Ahmad tidak sedalam Abdul Karim Amrullah (2019: 114-116).

Abdullah Ahmad lalu pindah dari Padang Panjang ke Padang, pada 1911. Pada tahun itu juga, terbitlah nomor pertama majalah yang diinginkan tersebut dengan nama Al-Munir. Penulisnya, Abdullah Ahmad. Turut menulis, Abdul Karim Amrullah. Kepengurusannya, dibantu beberapa sahabat sang pendiri.

Di Kata Pengantar nomor pertama, ada semacam visi dan misi majalah Al-Munir. Disebutkan, Al-Munir berarti pelita atau yang membawa cahaya. Al-Munir bermaksud memimpin dan memajukan anak-anak Melayu dan anak-anak Islam pada agama yang lurus.

Perhatian atas Al-Munir sangat besar. Al-Munir telah mengguncang pikiran yang selama ini tertidur. Di sisi lain, Al-Munir mendapat tantangan yang keras dari pihak yang ”berpaham lama”.

Al-Munir beredar sampai ke seluruh Sumatera. Juga, sampai ke Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan, juga ke Malaysia. Pihak yang membaca beragam, termasuk ulama sekaligus pemimpin seperti KH Ahmad Dahlan.

Hanya saja, sayang sekali, Al-Munir di Padang terpaksa berhenti terbit pada 1915. Ini, karena masalah keuangan. Uang yang keluar tidak sepadan dengan uang masuk dari pelanggan.

Abdullah Ahmad seorang jurnalis Islam yang baik. Dia senantiasa memakai kata-kata yang berjiwa baru. Bahkan, kata Hamka, sampai sekarang karangannya masih enak dibaca karena bahasanya yang bersih (2019: 115-116).

Sampai sekarang karangan Abdullah Ahmad masih enak dibaca? Perhatikanlah, Abdullah Ahmad banyak menulis. Setelah Al-Munir berhenti terbit, dia aktif mengelola dan menulis di majalah Al-Islam. Majalah ini, terbit di Surabaya dengan jadwal sebulan terbit dua kali yaitu tiap awal dan pertengahan bulan. Tujuan majalah ini, untuk mengangkat derajat bangsa (Nata, 2021: 164).

Al-Islam diterbitkan Sarekat Islam pada 1916. Majalah itu dipimpin Tjokroaminoto dan Haji Abdullah Ahmad. Suara AlIslam lebih vokal dalam hal politik. AlIslam menyatakan dirinya sebagai suara anak negeri yang cinta agama dan tanah air.

Dengan spirit pembaruan agama dari Abdullah Ahmad serta kecenderungan politik radikal Tjokroaminoto, AlIslam menggelorakan pembaruan agama dan politik. AlIslam berani menyuarakan hak untuk memerintah bagi bangsa sendiri (Rizkiyansyah – https://hidayatullah.com/kajian/sejarah/2015/04/01/67631/pers-islam-lahir-sebelum-indonesia-merdeka-2.html).

Sekali lagi, sampai sekarang karangan Abdullah Ahmad masih enak dibaca? Perhatikanlah, Abdullah Ahmad banyak menulis. Dia punya karya tulis berupa buku yaitu Titian ke Surga. Buku ini diterbitkan oleh Syarikat Ilmu lewat percetakan majalah Al-Munir di Padang. Isinya, tentang arti agama, pokok agama, dan hukum (Nata, 164).

Abdullah Ahmad juga menulis buku Ilmu Sejati, yang merupakan kumpulan tulisan yang terbit dalam bahasa Arab-Melayu. Buku ini empat jilid, terbit lewat percetakan majalah Al-Munir di Padang pada sekitar 1916-1917. Ada lagi, buku Syair Kerukunan. Isinya, kumpulan syair-syair untuk nyanyian murid-murid sekolah. Diterbitkan di Padang pada Agustus 1917. Selain itu, masih ada lagi, buku-buku berjudul Pembuka Pintu Surga, Al-Ittifaq wa Iftiraq, dan Izharu Zaglil Kazibin (Nata, 165).

Pelajaran Mahal

Berdakwah lewat tulisan, punya banyak nilai lebih. Misal, penerima manfaatnya sangat luas yaitu di berbagai penjuru yang jauh. Juga, masa pakai-nya berjangka panjang. Di tulisan ini, bisa dirasakan rentetan semangat pembaruan Islam yang panjang itu. Bermula dari majalah Al-Urwatul Wutsqa di Paris (pada 1884, dan usianya tak sampai setahun). Lalu, majalah Al-Manar di Mesir (1898-1935). Kemudian, majalah Al-Imam di Singapura (1906-1909). Lantas, majalah Al-Munir di Padang (1911-1915).

Sungguh, betapa mulianya pendiri dan penulis majalah Al-Urwatul Wutsqa. Begitu juga pendiri dan penulis majalah Al-Manar, Al-Imam, serta Al-Munir. Jejak kebaikan mereka menginspirasi banyak orang di berbagai tempat. Kita pun menjadi ingat ayat ini: ”Dan katakanlah: ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (QS At-Taubah [9]: 105).

Alhasil, majalah Al-Munir – Padang (1911-1915) itu inspiratif! Keberadaannya, langsung atau tidak langsung, satu kesatuan dengan matarantai lain sesama pejuang Islam dari jalur dakwah lewat tulisan. Matarantai itu, sampai ke majalah Al-Urwatul Wutsqa yang terbit di Paris pada 1884.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *