Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama dan penulis 13 buku

HAMKA dan visi orang tua

inpasonline.com – Tak banyak anak dan ayah yang memiliki prestasi sama atau mendekati sama. Di antara yang sedikit itu adalah Hamka dan sang ayah. Keduanya adalah ulama yang cemerlang.

Hamka (1908-1981) adalah pendidik sukses. Begitu juga sang ayah, yaitu Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945). Hamka penulis produktif. Begitu pula sang ayah. Keduanya, mendapat gelar Dr (HC) dari Universitas Al-Azhar Kairo. Atas itu semua, mungkin, ada yang lalu bertanya: Gerangan, apa ada “rahasia” yang barangkali bisa kita teladani?

Sang Ayah

Ayah Hamka bernama Haji Abdul Karim Amrullah. Dia Ulama Besar dan termasuk ulama pembaharu. Kegigihannya dalam berdakwah seperti mewarisi sang guru, yaitu Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Haji Abdul Karim Amrullah lahir pada 10 Januari 1879 di Maninjau Sumatera Barat. Di antara jejak pendidikannya, dia pernah ke Mekkah untuk berhaji dan belajar. Di Mekkah berguru kepada banyak ulama termasuk kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, guru sekaligus imam di Masjidil Haram.

Belakangan, atas masukan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Abdul Karim Amrullah mengajar di Mekkah. Dia membuka kelas di rumahnya. Dari hari ke hari muridnya makin banyak.

Pada 1906 Haji Abdul Karim Amrullah pulang ke Indonesia. Langsung, dia berdakwah. Dia mengajar di Sungai Batang, Sumatera Barat.

Gerakan dakwah Haji Abdul Karim Amrullah komplit. Kecuali dengan mengajar, dia juga berdakwah lewat tulisan. Pada 1912 dia bergabung dengan Majalah Al-Munir di Padang yang didirikan Abdullah Ahmad pada 1911. Sementara, Abdullah Ahmad adalah sahabatnya sendiri.

Gerak dakwah Haji Abdul Karim Amrullah terus belanjut. Pada 1918 dia mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ini, sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Di situ, Hamka-sang anak-belajar Islam dan mendalami bahasa Arab. Di tahun yang sama, Haji Abdul Karim Amrullah bersama Abdulllah Ahmad mendirikan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI). Tak berhenti, mulai 1926 Haji Abdul Karim Amrullah menjadi penulis buku agama yang produktif.

Ada lagi prestasi yang sangat menonjol. Dalam catatan Taufiq Ismail, Haji Abdul Karim Amrullah adalah tokoh pertama Indonesia yang menerima gelar Dr (HC) dari universitas tertua di dunia yaitu Universitas Al-Azhar, yaitu pada 1926. Di saat yang sama, sang sahabat yaitu Abdullah Ahmad juga menerima gelar yang sama dari universitas yang sama.

Sang Anak

Hamka lahir di Sumatera Barat. Tepatnya, di tepi Danau Maninjau, di kampung Tanah Sirah, bagian dari Negeri  Sungai  Batang. Di  situ, orang  tuanya bertempat tinggal. Di rumah itu tidak  banyak  penghuninya, tak seperti  rumah  Minangkabau yang  lain.

Hamka lahir pada Ahad petang tanggal 13 Muharram 1326 H. Itu, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Hamka anak pertama. Sang ibu, kala itu, berusia 16  tahun. Di masa tersebut, gadis dalam usia 15 tahun lazim telah menikah. Hal lain, keluarga besar orang tua Hamka termasuk orang terpandang dalam masyarakat.

Pada 1930-an Hamka ke Medan. Di sana, 1936-1942, dia memimpin Majalah Pedoman Masyarakat yang terbit tiap pekan. Tulisan-tulisannya mulai dikenal masyarakat luas. Lewat tulisan-tulisan itu pula, Hamka lalu terhubung dengan tokoh-tokoh pejuang seperti Agus Salim, Natsir, Isa Anshary, dan Hatta.

Dengan bersemangat, Hamka mengenang kiprah dakwahnya kala itu. ”Gerakan kebangkitan Islam turut kami api-apikan. Pemimpin-pemimpin Islam yang besar di zaman itu menumpukan perhatian, seperti Haji Agus Salim, Kiai H. Mas Mansur, Abikusno Tjokrosuyoso, dan lain-lain. Kami pun turut menggerakkan MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia). Pedoman Masyarakat dan Panji Islam di Medan dan Adil di Solo dikategorikan sebagai majalah pelopor Islam di kala itu,” kata Hamka (Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, 2018: 252).

Mulai akhir 1930-an Hamka aktif menulis buku. Banyak di antaranya, yang sampai saat tulisan ini dibuat (2025), terus dicetak ulang. Misal, ada kumpulan cerpen berjudul Di Dalam Lembah Kehidupan yang kali pertama terbit pada 1939. Ada buku, berjudul Tasawuf Modern yang kali pertama terbit pada 1939.

Hamka sosok fenomenal. Dia tak lulus SD, tapi Universitas Al-Azhar Kairo memberinya gelar Dr (HC) pada 1961. Dia adalah tokoh Indonesia keempat yang mendapat gelar kehormatan itu. Siapa tokoh Indonesia yang ketiga? Dia adalah Rahmah el-Yunusiah pendiri Diniyah School Padang Panjang yang menerimanya pada 1957 (Irfan Hamka, Ayah …, 2013: xix).

“Sepuluh Tahun!”

Kembali ke tanggal 16 Februari 1908, saat Hamka Lahir. Setelah mendengar tangis bayi dan tahu bayinya laki-laki, bangunlah sang ayah yang saat itu sedang  berbaring  di atas  bangku. Dia kelihatan gembira dan berkata, “Sepuluh tahun.”

“Apakah maksud sepuluh tahun Guru Haji,” tanya nenek Hamka.

“Sepuluh tahun dia akan dikirim belajar ke Mekkah supaya kelak dia menjadi orang alim pula seperti saya, seperti neneknya, dan seperti nenek-neneknya yang dahulu,” jawab ayah Hamka.

Di kemudian tahun, Hamka mendapat informasi tentang “Sepuluh tahun” itu dari orang lain. Itupun, cerita ”sepuluh tahun” itu sering Hamka dengar, berulang-ulang. Terasa, seperti suatu hikayat yang indah.

            Apa yang keluar dari lisan Haji Abdul Karim Amrullah yaitu “Sepuluh tahun!”, termasuk visi yang dimiliki seorang ayah. Apa visi?

Visi di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada lima makna. Dua di antaranya, pertama, visi adalah pandangan atau wawasan ke depan. Kedua, visi adalah kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan (https://kbbi.web.id/visi akses 29 April 2025).

Dengan berpijak kepada dua makna visi di atas, kita yakin bahwa saat bilang ”Sepuluh tahun!” ayah Hamka sedang menetapkan visi atas posisi anaknya di masa yang akan datang. Ini sangat menginspirasi.

Plus Ikhtiar

Demikianlah, sekilas performa dua Orang Besar, yaitu anak dan ayah. Keduanya Ulama Besar. Keduanya pendidik sukses. Keduanya penulis produktif. Keduanya pejuang tangguh. Keduanya mendapar gelar Dr (HC) dari lembaga pendidikan yang sama yaitu Universitas Al-Azhar.

            Rasanya, prestasi Hamka sedikit atau banyak, dipengaruh visi yang dibuat oleh sang ayah. Di titik ini, visi jika kita perhatikan, setara dengan doa. Maka, lewat gabungan dengan ikhtiar, insya Allah visi kita (terlebih visi orang tua atas anaknya) akan menjadi kenyataan. Allahu Akbar! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *