Hamka, Inspirasi, dan Waktu Menulis

Hamka, Inspirasi, dan Waktu Menulis

Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama dan penulis 13 buku

Hamka, Inspirasi, dan Waktu Menulis

inpasonline.com – Sebagai penulis sukses, kisah hidup Hamka menarik untuk diungkap. Misalnya, apa rahasia Hamka bisa menjadi penulis yang andal? Dari mana dia mendapat inspirasi, terutama untuk buku berjenis fiksi? Berapa jarak waktu, sejak dia mendapat pengalaman tentang suatu hal, sampai dia menulis?

Sumber Penguat

Hamka bisa menjadi penulis yang andal, sangat boleh jadi karena dia punya setidaknya dua sosok teladan. Keduanya, sangat mempengaruhi Hamka. Siapakah mereka?

Hamka mengakui, tokoh pertama yang harus disebut adalah Haji Abdul Karim Amrullah. Dia adalah ayah Hamka, yang seorang ulama besar di masanya sekaligus pejuang kemerdekaan. Juga, sang ayah penulis produktif, Dalam pengakuan Hamka, sang ayah-lah yang telah membawanya ke dalam kehidupan agama.

Tokoh kedua, adalah Tjokroaminoto. Tokoh ini, pendiri Sarikat Islam dan dikenal sebagai pembangkit kesadaran nasional berbasis iman dan Islam. Jelas, Tjokroaminoto pejuang kemedekaan. Hal lain, buku karyanya, banyak.

Hamka mengakui, bahwa Tjokroaminoto adalah gurunya. Bahwa, si guru telah menunjukkan bagi Hamka jalan berhikmat kepada bangsa.

Pada 1924, dari Sumatera Barat Hamka merantau ke Jawa. Kala itu, antara lain, dia berguru kepada Tjokroaminoto. Tempat belajarnya di Pakualam, Jogjakarta.

Saat Tjokroaminoto melihat murid baru yaitu Hamka, sang guru memintanya untuk memperkenalkan diri. “Abdul Malik Karim Amrullah bin Haji Abdul Karim Amrullah gelar Haji Rasul, dari Maninjau,” kata Hamka.

Sontak, mendengar nama Haji Rasul, Tjokroaminoto terkejut. Tak dia sangka ada putera pendiri Sumatera Thawalib yang menjadi muridnya.

“Jauh sekali langkahmu mencari ilmu, Nak,” kata Tjokroaminoto.

Belakangan, setelah sekian waktu belajar, Hamka mengatakan bahwa Tjokroaminoto sudah membuka matanya untuk Islam. “Jiwa saya diisi Ayah, dan mata saya dibukakan Pak Tjokro,” kata Hamka (www.bertuahpos.com, akses 5 Mei 2025).

Berikut ini kalimat Hamka yang lebih lengkap: “Ayah saya dan guru-guru saya di Sumatera telah memberi dasar-dasar sebagai orang Islam, tetapi H.O.S. Tjokroaminoto telah membuka mata saya untuk Islam yang hidup!. Jiwa saya diisi oleh ayah, mata saya dibukakan oleh Tjokro” (www.kumparan.com, akses 5 Mei 2025).

Dengan bekal-bekal dari kedua tokoh itu, Hamka merasa kuat. Hamka punya pijakan kukuh. Hamka memiliki tempat berdiri yang pasti.

Bergerak dan Bergerak

Di suatu saat, Hamka merasa dirinya tidak boleh hanya berdiam diri di kampungnya saja. Tak boleh menjadi seperti katak dalam tempurung. Tidak boleh hanya di Minangkabau saja.

Pada 1920 dia dibawa ayahnya bertamasya ke Aceh. Kala itu, antara lain ke Kuala Simpang, Langsa, Lhokseumawe, dan Bireuen. Juga, ke Takengon, Sigli, dan Kotaraja.

Pada 1924 Hamka merantau ke Jawa. Di sana Hamka ketemu dengan Hamka ketemu tokoh-tokoh Islam seperti RM Suryopranoto, Fachrodin, dan lain-lain. Hal yang spesial, seperti yang telah disebut di atas, Hamka bertemu sekaligus belajar kepada Tjokroaminoto.

Pada 1927 Hamka berangkat ke Mekkah. Empat belas hari lamanya di kapal laut, bersama-sama dengan orang-orang dari Sunda, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selama itu mereka bergaul dan tentu banyak pengalaman yang didapat. Banyak bertambah pengetahuan Hamka terkait, misalnya, adat dan kebiasaan, tutur kata, dan budi bahasa dari berbagai tempat.

Pada 1931 Hamka menjadi utusan Muhammadiyah di Makassar. Hampir seluruh Sulawesi Selatan telah dijejakinya. Hamka telah, sedikit-banyak, mengenal kebudayaan dan jiwa orang Bugis, Makassar, dan Mandar. Juga, pernah ke kota-kota seperti Rappang, Pare-Pare, Palopo, dan Bulukumba. Pun, ke kota-kota seperti Donggala dan Palu.

Langkah Hamka terus berlanjut. Di Jawa, dari Banten sampai ke Banyuwangi. Terus, ke Pulau Bali. Lalu, ke Minahasa di Pulau Sulawesi. Lantas, ke Pulau Ambon.

Hamka pernah berziarah ke Kalimantan Selatan. Dilihatnya pengaruh agama Islam di sana yang situasinya tidak kurang dari Minangkabau, Aceh, dan Bugis. Islam kuat sebagai agama yang dipeluk masyarakat. Hamka sampai di Banjarmasin, Martapura, Amuntai, Kandangan, dan Barabai. Di tempat-tempat itu, Hamka seperti berada di kampung sendiri.

Setelah itu, Hamka melangkah ke tanah Melayu. Dia ke Singapura. Juga ke Johor, Pahang, Selangor, Negeri Sembilan, Perak, Kedah, Perlis, dan Pulau Pinang.

Dengan perjalanan yang panjang itu (yang tak semuanya ditulis), Hamka dapat mengenal dan melihat bekas-bekas kebesaran nenek-moyang. Itu semua bermanfaat.

Banyak sekali faedah berjalan-jalan di muka bumi. Di samping  dapat mengenal adat-istiadat, kebudayaan, kebiasaan, kesukaan, dan pantang-larang di setiap suku bangsa, kita dapat pula melihat alam yang indah. Bahwa, Tanah Air kita ini penuh dengan keindahan. Sungguh, keindahan alam itu senantiasa menimbulkan inspirasi untuk menulis.

Tak Seketika

Melihat keindahan alam, kata Hamka, menambah kekayaan yang akan tertanam di lubuk jiwa. Hanya saja, inspirasi menulis tidak selalu serta-merta akan timbul di tempat itu juga. Menulisnya, juga tidak di waktu itu juga.

Lihatlah, misalnya, pada 1927 Hamka kembali dari Mekkah. Di sana, dia melihat keindahan padang pasir, merasakan ketentraman jiwa ketika thawaf mengelilingi Ka’bah. Juga, merasa syahdu saat melakukan sa’i, di antara Shafa dan Marwah.

Sementara, novel Di Bawah Lindungan Ka’bah dikarangnya pada 1936. Itu artinya, sembilan tahun kemudian. Itu maknanya, inspirasi tidak lahir seketika saat kita mengalami sesuatu.

Tidak Langsung

Pada 1934, Hamka meninggalkan Makassar. Sebelumnya, dia telah mengelilingi Sulawesi Selatan. Dia telah bergaul dengan orang-orang Makassar, Bugis, Mandar, dan berkunjung ke Tana Toraja. Malam-malam dia berjalan di tepi pantai Makassar bersama kawan-kawannya.

Sementara, baru pada 1938 Hamka mengarang novel Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk yang sebagian kisahnya berlatar Makassar. Itu artinya, empat tahun kemudian. Itu maknanya, inspirasi tidak lahir seketika saat kita mengalami sesuatu.

Bisa Lama

Hamka kembali dari Mekkah pada akhir 1927. Setelah itu, empat bulan dia menjadi guru agama di kalangan saudagar-saudagar kecil di perkebunan Bajalingge, di antara Tebing Tinggi dengan Pematang Siantar – Sumatera Utara. Waktu itulah Hamka menyaksikan kehidupan kuli-kuli di kebun dari dekat. Kala itu, Hamka melihat pengaruh Poenale Sanctie.

Apa itu? Poenale Sanctie atau sanksi hukum merupakan peraturan yang berisi ancaman hukuman untuk kuli atau buruh yang tidak menepati kontrak kerja yang sudah mereka ikuti sebelumnya (https://kumparan.com, akses 5 Mei 2025).

Sementara, pada 1939 Hamka baru mengarang Merantau ke Deli. Kisah ini berlatar belakang permasalahan di sebuah perkebunan di Deli, Sumatera Utara. Itu artinya, dua belas tahun kemudian. Itu maknanya, inspirasi tidak lahir seketika kita mengalami sesuatu. Bahkan, bisa lama setelah itu yaitu belasan tahun kemudian.

Sesekali Bisa

Hanya saja, kadang, ada juga inspirasi yang langsung bisa diwujudkan menjadi sebuah karya tulis. Kala itu, Hamka mengunjungi bekas kebesaran Melayu di Malaka. Di atas Benteng St. Paul, dia termenung melihat laut.

Sekali itulah Hamka dapat menggubah sebuah syair, berjudul Di Atas Runtuhan Melaka Lama. Memang, di ketika itu hanya corat-coret. Setelah disempurnakan, jadilah sebuah syair panjang yang terdiri dari 40 bait.

Kaya Bahasa

Ada lagi yang amat penting. Jika kita suka mengelilingi tanah air, kata Hamka, kekayaan bahasa bertambah. Ada perkataan-perkataan yang kita sangka hanya bahasa daerah, dengan mengembara, kita tahu bahwa itu adalah bahasa Indonesia asli. Ada perkataan-perkataan halus yang biasanya hanya kita temukan dalam kesusateraan, rupanya di suatu daerah kalimat itu dipakai setiap hari.

Hamka banyak mendapat kekayaan bahasa lantaran banyak berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia, terkait tugas dakwah. Dia berkesimpulan, bahwa bahasa Indonesia asalnya adalah bahasa Melayu atau bahasa Melayu yang dikembangkan. Lebih jauh, kata Hamka, bahasa Indonesia yang merupakan jelmaan dari bahasa Melayu harus memperkaya dirinya dengan perbendaharaannya sendiri (Kenang-Kenangan Hidup, 2018: 185).

Sebuah Pendapat

          Demikianlah, Hamka! Pertama, Hamka punya setidaknya dua sumber motivasi saat menulis, yaitu dari ayahnya sendiri dan dari Tjokroaminoto. Keduanya, menanamkan agama secara kuat. Keduanya, pejuang. Keduanya, penulis. Terasa, Hamka mewarisi sikap sebagai pejuang (dalam membela agama dan bangsa) dari kedua teladan itu.

Kedua, Hamka banyak berjalan-jalan di bumi Allah. Dari sana, dia mendapat ilmu dan pengetahuan. Dari berbagai pengalaman itu Hamka memperoleh inspirasi dan/atau bahan untuk menulis, terutama untuk jenis fiksi.

          Soal kapan menulis, sering di kemudian hari (bahkan, di kemudian tahun) setelah Hamka mendapatkan sebuah pengalaman dari aktivitas berjalan-jalan itu. Meski begitu, ada juga tulisan yang bisa dibuat Hamka langsung seketika itu juga.

          Rasanya, apa yang dipaparkan di tulisan ini hanya sebagian dari cara Hamka mendapat inspirasi dan/atau bahan untuk menulis. Boleh jadi, Hamka masih punya banyak sumber lain yang bisa dkembangkan menjadi tulisan yang menarik.

Memang, masing-masing pengarang atau penulis punya cara untuk mendapatkan inspirasi saat akan menulis. Juga, mereka memiliki pengalaman yang khas tentang waktu yang tepat untuk menulis.

          Terkait, hemat saya, jika sebuah inspirasi atau ide menulis sudah hadir, segeralah dieksekusi untuk menjadi tulisan. Hal ini, karena inspirasi atau ide itu datang tak habis-habis. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *