Ajaran Penistaan Agama Picu Problem Sosial

Buku tersebut diterbitkan oleh IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), ormas resmi Syiah Indonesia. Emilia adalah istri Jalaluddin Rakhmat, ketua Dewan Syura IJABI. Ia juga menjabat sebagai ketua OASE, ormas berpaham Syiah.

 

Bedah buku ini patut disayangkan. Sama saja Balitbang Depag menyakiti umat mayoritas (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dan tidak peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi Muslim Indonesia.

Fahmi Salim, membongkar kekeliruan buku “40 Masalah Syiah”. Menurutnya, buku ini mengandung masalah besar. Pada halaman 90, penulis buku (Emilia) menyatakan bahwa Syiah melaknat orang-orang yang dilaknat Fatimah. Dalam ajaran Syiah, yang dimaksud orang-orang yang dilaknat Fatimah adalah Abu Bakar, Umar, Ustman dan orang-orang yang mengikuti mereka. Jalaluddin Rakhmat sendiri pernah menulis dalam bukunya “Meraih Cinta Ilahi” bahwa yang dilaknat itu adalah tiga Kholifah tersebut. Imam Khomeini dalam “Kasyfu al-Asrar” menilai, Fatimah melaknat Abu Bakar karena Abu Bakar menolak memberikan hak waris tanah fadak kepada Fatimah (hal.132).

Pelaknatan terhadap Sahabat oleh buku “40 Masalah Syiah” tidak bisa ditutupi. Pada halaman 82, Emilia mengemukakan alasan. Bahwa para sahabat sering menentang pada saat Rasulullah saw masih hidup. Ustman bin Affan dinilai bermental rendah karena bersama para Sahabat melarikan diri pada Perang Uhud, meninggalkan perintah Rasulullah saw.

Penilaian itu rupanya meng-copy dari buku Khomeini berjudul “Kasyfu al-Asrar”. Buku ini cukup keji mengecam Abu Bakar dan Umar. Khomeini menulis dengan kata-kata yang tidak beradab. Disebut oleh dia, keduanya adalah orang bodoh dan dungu yang suka melanggar perintah Allah swt (hal. 127).

Selain itu, Sahabat Abu Sufyan dinilai sebagai sahabat yang tidak percaya adanya surga, neraka, hari perhitungan dan siksaan. Khalid bin Walid dikatakan membunuh Malik bin Nuwairah dengan tujuan keji yaitu untuk menikahi istrinya pada malam hari (hal. 84).

Bagi Syiah, Imam itu mutlak. Maka ia menjadi ukuran keimanan. Emilia menulis bahwa orang yang meninggal tidak mengenal Imam, maka ia mati jahiliah (hal. 98). Mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan tidak membawa Islam.

Buku ini terang-terangan menodai Sahabat yang dicintai oleh kaum Muslimin. Harusnya buku ini bukan dibedah oleh Depag, tapi diadili, sebab mengandung ajaran penodaan agama. Kasus Sampang Madura meledak, dipicu oleh ajaran penodaan agama oleh Tajul Muluk. Begitupula di Jember, Situbondo dan Bangil. Apakah Balitbang Depag berupaya melebarkan kasus Sampang kepada daerah-daerah lainnya?

Pada tahun 1997, PBNU menerbitkan Surat Edaran tentang kewaspadaan terhadap aliran Syiah. Surat edaran bernomor 724/A.II.03/10/ 1997 menyeru kepada kaum Muslimin untuk memahami secara jelas perbedaan prinsipil antara Ahlussunnah wal Jama’ah dengan aliran Syiah.

Sebelumnya pada April 1993 para ulama’ dari Negara-negara Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura) berkumpul di Brunei Darussalam membicarakan tentang paham Syiah dalam satu forum bertajuk “Seminar Akidah”. Dari Indonesia diwakili KH. Ilyas Ruhyat (Rais Amm PBNU), KH. Azhar Basyir (Ketua Umum Muhammadiyah), dan KH. Hasan Basri (Ketua MUI Pusat).

Ijtima’ Ulama Asia Tenggara tersebut memutuskan dua hal penting. Pertama: Umat Islam di empat negara ini adalah Sunni. Baik Malaysia, Indonesai, Singapura, Brunei adalah Sunni dan bukan Syi’i. Kedua: Semua sepakat pada waktu itu, madzhab mereka adalah madzhab Syafi’i, namun diizinkan untuk pindah dari madzhab Syafi’i, tetapi tidak keluar dari salah satu madzhab yang empat. Aliran Syiah dilarang.

Pada 21 September 1997, diadakan Seminar Nasional tentang Syiah di Masjid Istiqlal. Seminar merekomendasikan beberapa hal:

Pertama, mendesak Pemerintah Republik Indonesia, Kejaksaan Agung RI, agar melarang faham Syiah di seluruh wilayah Indonesia, karena selain telah meresahkan masyarakat, juga merupakan suatu sumber destablisiasi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia, karena tidak mungkin Syiah bersikap loyal pada pemerintah Indonesia karena dalam ajaran Syiah tidak ada konsep musyawarah melainkan keputusan mutlak dari Imam.

Kedua, memohon kepada Kejaksaan Agung RI dan seluruh jajaran pemerintah terkait agar bekerja sama dengan MUI dan Balitbang Depag RI untuk meneliti buku-buku yang berisi faham Syiah dan melarang peredarannya di seluruh Indonesia.

Ketiga, mendesak kepada pemerintah Indonesia, menteri Kehakiman RI agar segera mencabut izin semua yayasan Syiah atau yang mengembangkan ajaran Syiah di Indonesia.

Keempat, meminta kepada pemerintah, Menteri Penerangan RI agar mewajibkan pada semua penerbit untuk melaporkan/menyerahkan contoh dari semua buku-buku terbitannya kepada MUI Pusat untuk selanjutnya diteliti.

Kelima, mengingatkan kepada seluruh organisasi Islam, lembaga-lembaga pendidikan di seluruh Indonesia agar mewaspadai faham Syiah yang dapat mempengaruhi warganya.

Keenam, mengajak kepada seluruh masyarakat Islam Indonesia agar senantiasa waspada terhadap aliran Syiah, karena faham Syiah, kufur sesat dan menyesatkan.

Ketujuh, menghimbau kepada segenap kaum wanita agar menghindarkan diri dari praktek nikah mut’ah yang dilakukan dan dipropagandakan oleh pengikut Syiah.

Kedelapan, menghimbau semua media massa dan penerbit buku untuk tidak menyebarkan faham Syiah di Indonesia.

Kesembilan, menghimbau kepada pemerintah RI untuk melarang kegiatan penyebaran Syiah di Indonesia oleh kedutaan Iran.

Kesepuluh, secara khusus mengharapkan kepada LPPI agar segera bekerja sama dengan MUI dan Departemen Agama untuk menerbitkan buku panduang ringkas tentang kesesatan Syiah dan perbedaan-perbedaan pokoknya dengan Ahlussunnah.

Seminar tersebut mendapat sambutan baik dari Depag. Drs. H. Subagjo, direktur Direktorat Penerangan Agama Islam Departemen Agama yang hadir dalam seminar tersebut menyambut baik materi-materi dan rekomendasi yang disampaikan narasumber. Menurutnya, kedua kubu -Syiah dan Ahlussunnah- sebaiknya saling terbuka, tidak ada taqiyyah demi tercipta suasana kondusif. Secara pribadi ia mengaku bahwa Departemen Agama lebih cenderung jika Syiah dilarang.

Karena itu, bedah buku “40 Masalah Syiah” ini akan semakin membuat keruh perselisihan Sunnah-Syiah, dimana suasananya belum benar-benar stabil.

Yang harus dipahami di sini, sebenarnya kekisruhan-kekisruhan yang melibatkan umat Sunni dan Syiah ini bukan sekedar lagi isu perbedaan, tapi lebih cenderung kasus penistaan agama. Pelaku penganiyaan tetap harus dihukum. Namun, penistaan agama juga harus diusut, dicari solusinya. Selama ini, pihak berwenang hanya berkonsentrasi kepada isu kriminil terhadap kaum minoritas. Sementara, umat mayoritas terus-menerus dikecam sembari melupakan kasus penistaan agama yang sudah nyata. Jelas, sikap ini menambah api yang sudah membara. Di manapun, ajaran penistaan pasti memicu perlawanan. []

*Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *