Siti Musdah Mulia, salah satu inisiator draft usulan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang di dalamnya memuat pasal (pemidanaan) nikah sirri menyatakan dengan penuh percaya diri dalam wawancaranya dengan Metro TV (18/2) bahwa intervensi negara terhadap agama diperlukan dalam konteks nikah sirri. Namun di sisi lain, ketika membahas soal penistaan agama, Musdah Mulia berkata bahwa negara tidak boleh melakukan intervensi. Dengan kata lain, Musdah Mulia ingin menegaskan bahwa aliran sesat semacam Ahmadiyyah tidak boleh dipidanakan meski mereka melakukan pelecehan terhadap Islam. Lalu, dimana sebenarnya batas-batas intervensi negara terhadap agama? Bukankah salah satu doktrin JIL adalah menolak segala intervensi negara terhadap kehidupan beragama? “Agama tidak boleh dilembagakan (diintervensi negara, red),” kata Gus Dur.
Hal ini dapat dijawab dengan baik oleh Dr. Adian Husaini. Ketika diwawancarai Metro TV (18/2), cendekiawan Muslim yang produktif menulis buku tersebut menyatakan bahwa negara harus melakukan intervensi terhadap agama, cuma harus ada perbedaan, bagian mana yang harus diintervensi dan bagian mana yang tidak boleh diitervensi. “Saya kira bu Musdah ini agak rancu karena, pertama, dalam soal perkawinan ibu Musdah bilang negara harus intervensi, ini urusan agama juga. Sekarang kalau kita bicara HAM; misalnya, saya suka sama suka, kemudian saya menikah, ini kan hak asasi, kenapa negara masih mencampuri? Sekarang bicara soal keyakinan. Kalau keyakinannya dinodai, orang Islam tersinggung, itu wajar. Dan bagi orang Islam, keyakinan ini aspek yang sangat penting. Oleh karena itu negara kemudian harus melakukan intervensi”, jelas Dr. Adian.
Penentuan intervensi negara terhadap agama yang dilakukan JIL terkesan tebang pilih. Tindakan penistaan agama yang masuk kategori pelanggaran akidah, dianggap bukan hal yang layak dipidanakan; sehingga negara tidak boleh intervensi. Bagi JIL, keyakinan itu urusan individu atau pribadi, sehingga biarkan saja orang menafsirkan akidah Islam sesuai dengan keyakinan mereka, meski tidak sesuai dengan metodologi yang sudah ditentukan oleh Islam. Negara tidak boleh ikut campur. Sebaliknya, pernikahan sirri layak dipidanakan (negara wajib ikut campur), seolah-olah masalah nikah sirri ini jauh lebih urgen dibanding masalah akidah.
Jika ditarik ke belakang, alergi JIL mengenai intervensi agama terhadap negara – dengan melakukan kerancuan dalam konteks nikah sirri – berawal dari pengadopsian mereka terhadap metodologi Barat dalam membaca dan menilai turats. Dengan mengadopsi metodologi Barat tersebut, maka dengan sendirinya mereka juga mengadopsi worldview Barat. Hal ini tecermin dalam landasan berpikir JIL yang menggunakan paham sekularisme dan liberalisme, kemudian diimplementasikan lewat penyebaran paham bahwa agama adalah urusan pribadi, membebaskan negara dari urusan agama, menyebarkan paham demokrasi dalam beragama; dengan membela aliran-aliran sesat, dan menentang segala fatwa yang menghukumi (anti otoritas).
Orang-orang JIL berpikir bahwa peradaban Barat mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam tubuh umat Islam. Mereka lupa, setting sejarah kedua komunitas ini – Islam dan Barat – sangat jauh berbeda. Peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan karena mereka berhasil melakukan pemutusan hubungan dengan masa pra-modern mereka sendiri. Namun bagi peradaban Islam, periode sejarah mana yang harus diputuskan oleh umat Islam, sedangkan masa silam umat Islam tidak sama dengan sejarah masa lalu Barat yang penuh dengan perangkap dogma gereja. (Kar)