KRISIS MORALITAS DAN PERBAIKAN AKHLAQ BANGSA

Written by | Opini

Banyak indikasi yang menunjukkan hal tersebut, antara lain semakin memudarnya kejujuran dan merajalelanya kebohongan. Kejujuran menjadi suatu yang mahal, sementara itu praktik kebohongan secara massif telah menjangkiti semua aspek. Bahkan dunia pendidikan yang seharusnya menjadi penjaga dan pelestari nilai-nilai moral telah terseret melakukan skandal dusta.

 

Indikasi kedua adalah merajalelanya kasus korupsi dan suap. Korupsi dan suap seolah-olah sudah menjadi budaya. Korupsi yang modus operandinya adalah kedustaan yang diwujudkan dalam bentuk manipulasi data, telah menjadi kebiasaan di berbagai instansi. Hasil penelitian media content analysis (analisis konten media) yang dilakukan Founding Fathers House (FFH), tujuh dari 10 berita yang frekuensinya tinggi adalah tentang kasus suap dan korupsi, yang menunjukkan bahwa betapa massifnya praktik korupsi dan suap di Indonesia.

Indikasi ketiga adalah semakin merajalelanya perzinaan, perbuatan mesum, seks bebas, perselingkuhan, prostitusi dan perkosaan. Saat ini fenomena perzinaan telah menjangkiti berbagai lapisan masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat atas, dan berasal dari berbagai tingkatan usia. Hampir setiap hari dapat diperoleh berita kasus perzinaan, perlakunya mulai dari pelajar, mahasiswa, artis, atlit, karyawan baik swasta maupun pegawai negeri. Bahkan di antara pelakunya ada yang berstatus sebagai pejabat, baik eksekutif maupun legislatif dan pendidik.

Kenyataan yang sangat memprihatinkan adalah adanya fenomena seks bebas yang melibatkan pelajar dan mahasiswa yang semakin meluas. Ada indikasi kendatipun belum merupakan hasil penelitian, menunjukkan bahwa penjualan kondom di apotik-apotik khususnya di kota besar mengalami peningkatan yang signifikan setiap malam minggu, malam tahun baru dan malam Valentine, sementara pembelinya kebanyakan adalah para remaja usia pelajar dan mahasiswa. Temuan lain, dengan mengambil contoh kasus di Jawa Barat, berdasarkan hasil survei BKKBN terhadap 2.880 remaja usia 15-24 tahun di enam kota di Jawa Barat tahun 2002 menunjukkan angka yang mengejutkan bahwa 39,65% dari mereka pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah (Gatra, 28 November 2005). Meningkatnya kasus perzinaan juga diiringi dengan meningkatnya kasus aborsi, kasus pembuangan bayi dan bahkan kasus pembunuhan bayi.

Indikasi ke empat adalah meningkatnya angka kriminalitas, mulai dari pencurian, perampokan, penodongan, pembunuhan, kasus miras dan narkoba, kasus perjudian serta kasus human trafficking. Pelakunya juga sangat bervariasi, bahkan ada yang bersatus pelajar dan mahasiswa. Satu hal yang mengejutkan, baru-baru ini ada kasus perampokan terhadap beberapa tempat perbelanjaan di sekitar Surabaya Jawa Timur, setelah diselidik pelakunya adalah anggota satuan TNI yang masih aktif. Kasus berkaitan dengan miras dan narkoba juga meningkat. Bahkan pelakunya ada yang termasuk oknum petugas seperti polisi, jaksa, dan hakim.

Indikasi kelima adalah semakin maraknya kasus perkelahian yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat, mulai dari perkelahian antarkampung, perkelahian antar-gang, perkelahian pelajar dan bahkan perkelahian mahasiswa. Dalam berbagai kasus perkelahian pelajar dan mahasiswa ditemukan adanya penggunaan senjata tajam dan beberapa kali menelan korban jiwa.

Indikasi ke enam adalah berkaitan dengan kasus pornografi dan rekaman perbuatan mesum. Pornografi sekalipun telah ada undang-undangnya yang mengatur, tetapi praktiknya masih tetap marak. Bahkan, banyak kasus rekaman perbuatan mesum yang melakukan perekaman adalah pelaku sendiri khususnya kasus perekaman menggunakan HP.

Selain hal di atas, masih banyak indikasi lain yang berkaitan dengan femomena kemerosotan akhlaq antara lain: kasus HIV AIDS yang terus meningkat berbanding lurus dengan peningkatan kasus prostitusi, seks bebas dan narkoba; meningkatnya perilaku merusak sarana publik antara lain tercermin dari fenomena corat coret tembok di tempat-tempat umum; semakin memudarnya sopan santun (rasa hormat) dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk sopan santun anak muda pada orang tua dan guru, sopan santun dalam berlalu-lintas, serta sopan santun dalam berinteraksi sosial; dan masih banyak lagi contoh kasus dekadensi moral yang lain.

Satu hal yang harus disadari bersama, bahwa keberhasilan dan kegagalan suatu bangsa dalam berinteraksi dengan bangsa lain terletak pada karakter dari seluruh komponen bangsa, baik pemerintah, DPR (wakil rakyat), pengusaha, penegak hukum, ulama, cendekiawan dan anggota masyarakat yang lain. Apabila karakter yang nampak memperlihatkan sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, maka tatanan kehidupan bangsa tersebut akan mengarah pada kepastian masa depan yang baik. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka bayang-bayang untuk menjadi bangsa yang terpuruk dan marjinal sangat mungkin menjadi kenyataan. Berangkat dari sini, maka kesadaran terhadap fenomena dekadensi moral dan karakter bangsa yang saat ini melanda bangsa ini dan kesadaran untuk segera memperbaikinya harus menjadi kesadaran bersama semua komponen bangsa.

Pada penjelasan umum UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan dengan sangat jelas bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan Yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Yang menarik dan patut dicermati, istilah adil dan beradab merupakan istilah khas yang berasal dari Islam. Tidak ditemukan konsep tentang istilah ini dalam pandangan hidup selain Islam. Misalnya dalam al-Quran disebutkan:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَائِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَاءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS al-Nahl [16]: 90).

KH Hasyim Asyari menuliskan dalam karyanya Ādabul Ālim wal-Muta’allim untuk menjelaskan korelasi antara iman dan adab:

التوحيد يوجب الايمان فمن لا ايمان له لا توحيد له، والايمان يوجب الشريعة فمن لا شريعة له لا ايمان له ولا توحيد له، والشريعة توجب الادب فمن لا أدب له لاشريعة له ولا ايمان ولا توحيد له

Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka tiada syariat, tiada ada iman, dan tiada tauhid padanya. (Ādabul Ālim wal-Muta’allim hal 11)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur adalah menegakkan prinsip keadilan dan membentuk manusia yang beradab. Tugas untuk mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang bermoral dan beradab merupakan amanat dari pendiri bangsa yang harus ditunaikan. Pengabaian terhadap masalah ini dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap para pendahulu negara ini.

Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang beradab, atau masyarakat yang berakhlaqul karimah dibutuhkan strategi yang efektif antara lain:

1. Pembenahan Sistem Pendidikan.

Tujuan pendidikan nasional sebenarnya telah dirumuskan sangat baik dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam peraturan ini disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan ini lengkap dan koprehensif, namun ternyata pada praktiknya ditemukan banyak hal yang tidak searah dengan rumusan tersebut.

Dalam rumusan UU Sisdiknas misalnya, telah disebutkan bahwa pendidikan bersifat integral antara aspek keimanan dan ketaqwaan, akhlak, pengetahuan kecakapan, kreatifitas, dan kemandirian. Namun, pada praktiknya masih sangat kental adanya dikotomi ilmu dan sekularisasi ilmu. Ilmu agama dipisah dengan ilmu umum dan ilmu umum tidak dijiwai oleh agama. Pandangan dikotomis ini lebih lanjut diikuti dengan sikap minor terhadap pelajaran agama, yang menyatakan bahwa agama bukanlah ilmu, sebuah pandangan yang mengacu pada konsep filsafat ilmu ala Barat. Sikap minor kemudian diikuti dengan sikap diskriminatif bahwa agama tidak menjadi ukuran untuk menentukan kelulusan siswa. Ini terjadi beberapa waktu lalu ketika ujian nasional menjadi ukuran yang sangat dominan dalam menentukan kelulusan siswa. Saat ini telah dikoreksi namun masih saja diskriminatif.

Lebih jauh lagi masih berkaitan dengan cara pandang yang dikotomis, tanggungjawab untuk menginternalisasikan nilai-nilai agama termasuk akhlaq seolah-olah hanya tanggung jawab guru agama. Implikasinya banyak guru bahkan dosen non mata pelajaran agama menjadi acuh dan masa bodoh terhadap tanggung jawab untuk menginternalisasikan nilai agama dan akhlaq pada anak didik. Bahkan sudah sering terjadi oknum guru atau dosen yang perilakunya tidak patut menjadi teladan dari perspektif agama dan akhlaq. Misalnya, ada dosen yang menjadi tokoh homoseksual tidak dianggap sebagai suatu masalah. Demikian pula ada guru yang terlibat selingkuh, bahkan tertangkap basah, hanya dipindah tugas saja. Lebih dari itu akar masalahnya terletak pada tahap rekruitmen tenaga guru atau dosen yang hampir-hampir (untuk tidak mengatakan sama sekali) tidak mengindahkan aspek akhlaq/agama. Padahal semestinya perhatian terhadap kriteria akhlaq harus sudah dimulai sejak tahapan seleksi calon mahasiswa atau siswa sekolah guru.

Masalah lain yang berkaitan dengan problem pendidikan adalah berkaitan dengan orientasi pendidikan yang lebih dominan mengejar aspek kognitif kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotor. Bahkan pada tahap evaluasipun yang dievaluasi juga hanya aspek kognitif.

Lebih dari itu materi pelajaran agama juga masih berorientasi pada ritual, sementara hal yang paling mendasar yaitu masalah aqidah kurang menjadi penekanan. Bahkan lebih problematis lagi ketika muncul indikasi bahwa beberapa materi pendidikan agama secara terselubung kemasukan misi kepentingan ideologi kaum liberalis pluralis seperti sikap mentolerasi terhadap aliran sesat, menolak penerapan syariah dalam bidang politik, dan sebagainya.

Dalam menyikapi masalah di atas, maka rumusan tujuan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas yang sudah komprehensif perlu ditindaklanjuti dengan perbaikan kurikulum, mekanisme pembelajaran dan sistem evaluasinya. Saat ini Kemendiknas sedang menggarap rencana pembenahan kurikulum. Tapi pembenahan kurikulum saja tidak cukup jika tanpa adanya pembenahan terhadap mekanisme pembelajaran dan sistem evaluasinya, karena kedua hal tersebut juga bermasalah.

Bila dikaitkan dengan Islam, kurikulum pendidikan harus mencakup dua misi, pertama menanamkan pemahaman Islam secara komprehenship agar peserta didik mampu mengetahui ilmu-ilmu Islam sesuai dengan kebutuhannya, sekaligus mempunyai kesadaran untuk mengamalkannya. Misi yang pertama ini berkaitan dengan muatan pendidikan agama yang menjadi pondasi bagi perilaku anak didik. Pendidikan agama tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam secara teoritik lebih-lebih hanya bersifat ritualistik dan disajikan dengan hapalan saja, sehingga hanya menghasilkan seorang islamolog, tetapi pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang islami dengan kata lain membentuk manusia Islamist.

Dengan pendidikan agama diharapkan peserta didik bisa mengaplikasikan bagaimana etika dan tata cara seorang muslim berhubungan dengan Allah, bagaimana berhubungan dengan sesama manusia dan berhubungan dengan lingkungannya bahkan sampai hal yang praktis misalnya bagamana seorang muslim berlalu lintas.

Berkaitan dengan misi yang pertama, pendidikan agama dan etika seharusnya bukan semata-mata tanggung jawab guru agama, tetapi menjadi tanggung jawab semua guru. Setiap guru bertanggung jawab menginternalilasikan nilai-nilai agama kepada peserta didik. Hal ini tidak berati bahwa semua guru harus mengajarkan materi agama, tetapi semua guru harus bisa menjadi contoh bagaimana menjadi seorang beragama yang baik. Dengan demikian rekruitmen tenaga guru termasuk dosen, harus memperhatikan aspek moral dan kepribadiannya. Orang yang moralnya bermasalah seperti guru atau dosen yang homoseksual tidak patut diangkat menjadi guru atau dosen. Demikian pula guru yang kedapatan melakukan perbuatan asusila seperti berzina atau selingkuh harus dipecat, tidak cukup dipindah kerja. Dalam kaitannya dengan ini, proses seleksi akan sangat baik apabila dimulai sejak dini yaitu pada tahapan seleksi calon siswa atau mahasiswa sekolah yang mencetak calon guru.

Yang Kedua, misi pendidikan adalah memberikan bekal kepada peserta didik agar nantinya dapat berkiprah dalam kehidupan masyarakat yang nyata, serta survive menghadapi tantangan kehidupan melalui cara-cara yang benar. Dalam hal yang kedua ini pembelajaran tentang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berdiri sendiri, tetapi harus dikaitkan dengan kesadaran bahwa dalam penerapannya harus memperhatikan kaidah-kaidah norma yang benar. Dengan demikian, ilmu yang diajarkan bukanlah ilmu yang sekular liberal, tetapi ilmu yang dijiwai oleh semangat yang menjunjung tinggi akhlaqul karimah, dan ilmu yang dijiwai nilai-nilai agama.

Evaluasi keberhasilan pendidikan harus dinilai secara komprehensif antara aspek pembentukan manusia yang bertaqwa dan berakhlaq dengan aspek pembentukan manusia yang berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Dengan demikian ukuran keberhasilannya tidak hanya dilihat dari nilai matematika, IPA, IPS dan Bahasa Indonesia saja, tetapi juga akhlaq dan perilakunya. Maka anak didik yang kedapatan hamil di luar nikah jelas-jelas tidak dapat diluluskan sekalipun nilai matematika, IPA dan IPS nya seratus.

Saat ini memang ada upaya untuk membangun opini bahwa sekolah-sekolah yang memberikan sanksi kepada anak didiknya yang kedapatan hamil di luar nikah dituduh melakukan pelanggaran HAM. Opini seperti ini sengaja diciptakan oleh agen-agen liberalis, karena itu tidak boleh dibiarkan dan harus dilawan dengan mendudukkan konsep HAM secara benar yang tidak berbenturan dengan nilai-nilai agama, moral dan etika.

2. Menggalakkan Pendidikan Non Formal di Masyarakat.

Pendidikan non formal seperti Taman Pendidikan al-Qur’an, Madrasah Diniyah, dan Majelis Ta’lim perlu digalakkan. Khususnya Majelis Ta’lim, dalam Undang-Undang RI Tahun 2003 nomor 20 Bab VI pasal 26 ayat 4 secara eksplisit menyebutkan Majelis Taklim sebagai bagian dari pendidikan non formal. Hal ini menunjukkan bahwa Majelis Taklim merupakan salah satu bagian penting dari sistem pendidikan nasional. Penyelenggaraan Majelis Ta’lim selama ini dilakukan dengan melaksanakan kegiatan ceramah umum atau pengajian Islam. Kegiatan ini banyak dilakukan di Masjid, Musholla atau juga di kantor-kantor, baik kantor pemerintah maupun swasta dan di tempat lain. Selama ini materi kajian di Majelis Ta’lim masih cenderung berorientasi tentang ritual dan belum terkurikulum. Ke depan materi kajian Majelis Ta’lim perlu dikurikulumkan sehingga lebih terarah dan lebih efektif. Materi Majelis Ta’lim perlu juga diorientasikan untuk membentengi umat dari faham-faham yang salah, menumbuhkan kepekaan masyarakat terhadap fenomena kemungkaran, memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mampu melakukan pencegahan terhadap kemungkaran yang ada di sekelilingnya dan membentengi keluarganaya sendiri dari pengaruh-pengaruh yang merusak.

3. Menggalakkan Kegiatan Da’wah dan Penanggulangan Munkarat

Dengan model pendekatan 3 (tiga) kriteria dakwah, yaitu dakwah billisan, bil hal, dan bil qolam. Namun untuk mengatasi problem sekarang, selain da’wah bil lisan, maka dawah bil hal harus lebih ditingkatkan, karena ruang lingkup dawah bil hal pada dasarnya adalah menyangkut semua persoalan yang berhubungan dengan pemecahan kebutuhan pokok (basis needs) orang-seorang atau masyarakat, terutama yang menyangkut peningkatan kesejahteraannya. Da’wah bil hal, antara lain meliputi pengembangan kehidupan dan penghidupan masyarakat, dalam rangka peningkatan taraf hidup yang lebih baik, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Karena itu harus ada upaya-upaya:

a. Mencerdaskan kehidupan masyarakat.

b. Memperbaiki kehidupan ekonomi.

c. Meningkatkan kualitas kemampuan dalam menghadapi tantangan zaman.

d. Memberi arah orientasi yang mengintegrasikan iman dan taqwa kepada Allah SWT, dengan kemampuan integritas sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini.

4. Pemberdayaan Peran Pesantren.

Pesantren merupakan tempat untuk pendalaman ajaran agama (ber-tafaqquh fi al-din) dan sekaligus lembaga perjuangan. Peran ini harus tetap dipertahankan. Ketika pesantren tergoda dan merubah fungsinya tidak menyelenggarakan pendidikan untuk ber-tafaqquh fi al-din atau menurunkan tensinya sebagai lembaga pendidikan ber-tafaqquh fi al-din hanya karena menuruti pasar, justru semakin melenyapkan jati diri pesantren itu sendiri. Pesantren harus tetap berperan sebagai penyeleksi berbagai budaya maupun pemikiran yang masuk, baik yang bersifat lokal seperti aliran-lairan sempalan maupun yang bersifat global seperti fenomena liberalisme. Untuk itu, para santri di samping dibekali dengan kemampuan untuk menyerap pemikiran para ulama terdahulu melalui kitab-kitab klasik, juga perlu dibekali kemampuan lebih untuk peka, cermat dan kritis membaca berbagai fenomena budaya, ide, dan pemikiran yang berkembang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus secara sitimatis mampu memberikan jawabannya. Misalnya, ketika mencermati sebuah tayangan iklan di televisi para santri seharusnya mempunyai kepekaan bahwa ternyata ada tayangan iklan yang secara tidak langsung menyusupkan faham sekular bahkan ateis. Contoh, sebuah iklan produk air minum dalam kemasan menyebutkan bahwa air yang diproduksi adalah merupakan kebaikan alam. Kata ‘kebaikan alam” sebenarnya merupakan kata yang bernuansa sekular bahkan ateis. Kenapa si pembuat iklan tidak mengatakan dengan kalimat ‘kebaikan Tuhan’ atau lebih eksplisit kebaikan Allah, atau karunia Allah. Penyebutan kata ‘kebaikan alam’ berarti menafikan eksistensi Tuhan yang berada di balik eksistensi alam semesta.

5. Pentingnya Sinkronisasi Kerangka Berfikir Keagamaan dan Kebangsaan.

Saat ini memang ada kecenderungan yang ingin dibangun oleh beberapa fihak yaitu sikap yang alergi pada agama (khususnya Islam) yang bisa diistilahkan dengan sikap islamophobia. Sikap ini tercermin dari sikap anti-syari’ah dan sengaja diopinikan bahwa perjuangan syari’ah itu primordial dan sektarian. Maka ketika ada ide untuk melarang pornografi lewat Undang-undang, dituduhlah itu sebagai primordial dan sektarian. Lebih jauh lagi, saat ini ada yang sengaja menghubung-hubungkan antara syari’ah dan terorisme. Celakanya, banyak orang Islam sendiri yang terpengaruh. Padahal orang Islam seharusnya yakin ketika syari’ah itu diadopsi sebagai aturan, akan membawa pada kebaikan. Munculnya berbagai carut marut adalah karena orang Islamnya banyak yang menjauh dari syari’at. Hal ini adalah janji Allah Swt. Misalnya dalam Surat al-A’raf [7]: 96 Allah berfirman:

وَلَوْ أنَّ أَهْلَ الْقُرى أمَنُوْاوَاتَّقَوْالَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاء وَاْلاَرْضِ وَلكِنْ كَذَّبُوْافَاَخَذْنَا هُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Jikalau sekitarnya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Demikian pula firman Allah Swt Surat al-Isra’ [17] ayat 16:

وَاِذَااَرَدْنَااَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَامُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنهَا تَدْمِيْرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.

Berangkat dari pemikiran di atas, yang perlu dilakukan bukan justru menjauh dari agama tetapi bagaimana melakukan sinkronisasi antara pemikiran kebangsaan dan keagamaan. Akan sangat problematis ketika penduduk Indonesia yang mayoritas Islam kemudian dipola dengan cara islamophobia. Dalam hal ini, Ijtima Ulama MUI II di Gontor Ponorogo, 26 Mei 2006 telah mengeluarkan keputusan perlunya sinkronisasi antara kerangka berfikir kebangsaan dan keagamaan (Islam). Agama seharusnya dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaidah penuntun di dalam kehidupan berbangsa dan benegara, bukan malah dijauhkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Keputusan Ijtima Ulama MUI II ini dipertegas lagi dengan keputusan Ijtima Ulama MUI III di Padang Panjang, 26 Januari 2009 yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara merupakan ideologi terbuka. Dalam rangka mewujudkan amanah dasar negara dan konstitusi, maka agama harus dijadikan sumber hukum, sumber inspirasi, dan kaidah penuntun dalam sistem kehidupan berbangsa dan berbegara, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berfikir keagamaan dan kerangka befikir kebangsaan. []


[1] SEKRETARIS MUI PROV. JATIM

 

Last modified: 18/12/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *