Berbeda, antara Penafsiran dan Penistaan Agama

Yang terbaru, dinyatakan bahwa kasus Ahmadiyah dan Syiah adalah perbedaan penafsiran agama, bukan penodaan agama. Pernyataan tersebut disampaikan Ulil Abshar Abdalla dalam diskusi “Memberitakan Isu Keberagaman” yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), AJI Cabang Surabaya, dan The Asia Foundation di Surabaya pada Sabtu (24/11). “Saya kira, apa yang disebut penodaan agama itu lebih pada `hate speech` (syiar kebencian), karena itu kasus Ahmadiyah, Syiah, dan lainnya lebih merupakan perbedaan tafsir dan perbedaan tafsir itu bukanlah penodaan agama,” katanya (antarenews.com 24/11/2012).

Pernyataan di atas mengusung logika relativisme. Ajarannya, “Pemikiran manusia itu relatif dan yang absolut hanya Tuhan”, “Pemikiran keagamaan itu relatif sedangkan agama itu mutlak”. Hampir sama dengan kalimat tersebut, pernyataan “Agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari”.

Doktrin relativisme adalah ajaran bahwa tidak ada lagi nilai yang memiliki kelebihan dari nilai-nilai agama. Satu keyakinan tidak boleh mengklaim memiliki kebenaran absolut yang paling benar.

Penafsiran agama dalam pernyataan-pernyataan tersebut di atas belumlah jelas. Dalam konsep Islam terdapat metodologinya. Harus dibedakan antara bidang ushul (pokok-pokok agama) dengan furu’. Perbedaan penafsiran tidak pernah terjadi dalam bidang ushul. Karena persoalan ushul (i’tiqad) sudah selesai dalam Islam. Dalilnya disebut qathiyyat.

Sedangkan perbedaan penafsiran pendapat itu terjadi dalam ranah ijtihadiyah dalam teks-teks yang bersifat dzaniyyat. Perbedaan ini dapat pula disebut tanawwu’ (variatif) (Ibn Taimiyah, Iqtida’ Shirat al-Mustaqim,h.124). Sedangkan dalam doktrin relativisme, tidak ada pemetaan bidang-bidang tersebut antara ushul dan furu’.

Logika relativisme memukul rata antara ushul dan furu’. Dalam arti semua disamakan dengan memasukkan pada ruang furu’. Mengangkat persoalan ushul ke dalam bidang furu’ inilah yang akan merusak kebenaran. Produk logika relativisme hanya satu, menghapus ‘benar dan salah’. Tidak ada yang paling benar. Tidak ada yang salah. Jika benar, benar seluruhnya.

Pendapat bahwa semua agama adalah sama benar itu bukan ijtihad dan  bukan perkara furu’, akan tetapi sudah ditetapkan oleh dalil yang jelas bahwa hanya Islam agama yang benar. Keyakinan sebagian kelompok yang meyakini bahwa agama Yahudi dan Nasrani adalah agama keselamatan, misalnya, dan tidak mengkafirkan dua agama tersebut tidaklah bisa disebut ijtihad.

Sedangkan persoalan Ahmadiyah dan Syiah bukan lagi perbedaan furu’, tapi persoalan ushul. Bahkan lebih dari itu, masuk kategori penodaan agama. Kategori penodaan agama sangatlah jelas.

Ahmadiyah menganggap sesat orang-orang yang tidak mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ini bukan tafsir namanya. Tapi tadlil (penyesatan). Persoalannya, mereka mengaku sebagai Muslim. Andai tidak mengaku Islam, mereka bisa saja selamat dari kasus pendodaan agama Islam. Fatwa ini didukung ulama sedunia, diterbitkan pada tahun 1974 oleh Rabithah Alam Islami, diikuti oleh fatwa of Shariah Council Inggris, fatwa of Islamic fiqh Council Afrika Selatan.

Lebih terang lagi kasus Syiah. Penistaan Syiah terhadap sahabat Nabi saw, bukan rahasia lagi saat ini. Selain buku-buku, rujukan utama mereka dan penganut Syiah sendiri sudah tidak segan lagi mencaci Sahabat. Kitab al-Kafi, yaitu kitab hadis Syiah yang menjadi rujukan primer dalam akidah, menulis bahwa sejumlah Sahabat telah kafir setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang manjadi murtad semua, kecuali tiga”. Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab: “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi” (Al-Kafi juz 8 halaman 245).

Siapa saja yang tidak mengakui keimamahan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya divonis kafir. Barang siapa yang mengenalnya (Ali bin Abi Thalib), maka ia mu’min. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia jadi kafir, barangsiapa yang tidak mengetahuinya berarti ia tersesat, barangsiapa yang mengangkat seseorang bersama dia, maka ia musyrik, dan barangsiapa yang datang dengan meyakini keimamahannya maka dia masuk surga” (al-Kafi, juz I, halaman 437). Kaum Ahlussunnah, disebut nawashib, yang halal darah dan hartanya.

Imam Khomeini, dalam bukunya Kasfu al-Asrar menuduh Umar bin Khattab ra menentang al-Qur’an karena Umar membawa riwayat tentang keharaman nikah mut’ah. Abu Bakar ra dituduh tidak memberikan warisan tanah fadak kepada Fatimah. Bahkan Khomeini membuat cerita palsu bahwa Fatimah tidak menyapa mereka berdua hingga wafat. Dua khalifah ini dinista dengan sebutan ‘dua berhala Quraisy’.

Jalaluddin Rakhmat, ketua Dewan Syura Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) membuat tuduhan-tuduhan merendahkan sahabat. Di antaranya, buku Sahabat dalam Timbangan al-Qur’an, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan, di halaman 6, dikatakan Umar bin Khattab meragukan kenabian Nabi Muhammad saw.

 

 

Ini di antara kasus-kasus penodaan terhadap agama. Literatur seperti tersebut cukup melimpah. Bahkan kasus-kasus seperti tersebut di atas memenuhi kategori Ulil Abshar Abdalla, yang disebut ‘syiah kebencian’.

Tafsir-tafsir kebencian tersebut tidak dapat dikatakan hasil kreatif murni ijtihad, namun penistaan agama. Jika penistaan diangkat dengan baju ‘penafsiran atau ijtihad’, maka ini akan bisa memicu chaos. Sebab, tiap individu bebas sebebas-bebasnya mencaci, menista tokoh-tokoh kelompok lain cukup dengan alasan ‘perbedaan penafsiran’.

Wal-hasil, penafsiran itu diakui adanya dengan syarat tidak kontradiktif, tapi variatif. Sedangkan penodaan agama dipastikan akan memicu kekacauan sosial. []

Penulis Alumni Pascasarjana ISID Gontor, Peneliti InPAS Surabaya

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *