Pluralisme Agama Bisa Picu Problem Sosial

Written by | Nasional

Inpasonline, 6/7/11

Selama ini pluralisme baik secara terminologi maupun kandungan ideologinya ternyata masih banyak disalah pahami. Secara simplitis dan gegabah pluralisme hanya disinonimkan dengan kata toleransi. Penyamaan ini biasanya hanya mengambil dari salah satu arti pluralisme secara etimologis, bukan epistemologis.

Padahal secara etimologis ada beberapa arti pluralisme, yaitu  toleransi, paham yang meyakini tidak ada pendapat yang benar, dan semua keyakinan adalah sama-sama benar (lihat Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy). Mengambil salah satu makna, adalah tidak adil dan menyesatkan.

Pemaknaan kata pluralisme yang tidak epistemologis menurut Dr. Anis Malik Thoha akan menyesatkan (misleading), menciptakan kebingungan (confusion). Lantas bagaimana seharusnya memaknai istilah secara epistemologis itu? “Istilah pluralisme itu jelas-jelas istilah teknis yang berasal dari luar yang merangsek ke dalam bawa sadar kita bersamaan dengan masuknya ideology lain seperti demokrasi, humanism, liberalism dan lain sebagainya dari peradaban Barat”, tegas Dr. Anis dalam Seminar Nasional Problem Epistemologi Pluralisme Agama di STAIN Ponorogo kemarin (04/07).

Karena itu istilah itu harus dikembalikan kepada asalnya dan pakarnya, dan tidak seenaknya saja mengartikan menurut selera dan asumsi pribadi kita. Ini merupakan metode yang logis dan adil. Dr. Anis menyayangkan sebagian orang yang salah paham dan seenaknya saja menggunakan istilah-istilah asing tanpa peduli bagaimana para pencipta istilah itu menggunakannya.

Secara doktrinal, paham pluralisme agama kenyataannya berpaham relativisme, bukan toleransi. Para pengusung paham ini berpendapat bahwa agama-agama itu berbeda akan tetapi memiliki kesederajatan iman dan kita tidak boleh menyalahkan keyakinan mereka. Dalam doktrin pluralisme, ‘haram’ hukumnya mengatakan bahwa ajaran agama lain menyimpang dan salah.

Respon pendukung pluralism juga cenderung curiga terhadap doktrin agama dan emosional dalam menyikapi fatwa para ulama’. Contohnya respon emosional pengusung pluralisme agama terhadap fatwa haram MUI terhadap haramnya pluralisme, liberalism dan sekularisme. MUI dihujat bahkan diantara mereka mengeluarkan kata-kata tidak sopan terhadap MUI.

Ini menunjukkan inkonsistensi paham pluralisme agama. Ternyata ia intoleran dan bisa cenderung eksklusif. Slogan inklusif dan toleran ternyata hanya manis di mulut tapi, dalam realita sosial tidak semanis di mulut. Ada semangat membara dalam paham ini untuk mendiskualifikasi agama dari doktrin orisinilnya.

Oleh sebab itu, kandungan ideologi pluralism agama itu sesungguhnya tidak toleran, tidak inklusif tapi eksklusif. Dr. Anis yang menulis buku Tren Pluralisme Agama,Tinjauan Kritis dalam kesempatan seminar kemarin, memperingatkan bahwa salah satu karakter dan watak pluralisme agama adalah eksklusif.

Anis Malik yang juga ketua PCI NU Malaysia ini mengungkap, bahwa banyak orang yang gagal mengindentifikasi dan memahami watak atau ciri eksklusif ini. Hal ini disebabkan selama ini ajaran pluralisme agama ini disebarluaskan sebagai anti-eksklusivisme.

Paham ini sering menyugughkan dirinya sebagai ajaran yang ‘tampak’ ramah dan menghormati keberbedaan (the otherness) dan menjunjung tinggi kebebasan. Tapi pada hakekatnya, dia sebetulnya telah merampas kebebasan pihak lain dan menginjak-injak serta memberangus ke-berbedaan. Ketika paham ini mendeklarasikan diri dan mengklaim sebagai pemberi tafsir atau teori tentang kemajemukan agama-agama yang absolute benar, bahwa semua agama sama. “Jadi sesungguhnya ia telah merampas dan melucuti agama-agama dari doktrin orisinil dan absolutnya. Selanjutnya absolutnya dimonopoli sendiri oleh paham pluralisme agama”, tegas peniliti INSISTS ini.

Dengan doktrin seperti itulah, pluralism bisa memancing kontra agama-agama. Sebab ia paham yang memusuhi agama-agama di dunia. Jika ia ‘menyerang’ doktrin orisinil dan memaksa untuk dilucuti, maka ini bisa menjadi problem baru.

Klaim kebenaran agama, merupakan hak asasi individu yang beragama dan sesuatu yang alami. Jika hak asasi itu dipaksa dilucuti, maka penganut agama jelas keberatan. Jika masing-masing merespon secara emosional seperti yang pernah dilakukan saat fatwa haram pluralisme dikeluarkan MUI 2005 lalu, maka bisa menjadi chaos.

Jika seperti itu, maka pluralism agama akan menjadi pemain baru, bukannya mendamaikan. Jika benar-benar menganut kebebasan, mestinya pluralisme membiarkan apa adanya doktrin-doktrin agama, tidak perlu direduksi atau dilucuti ajarannya.

Islam itu agama toleran, jadi tidak perlu diajari toleransi. Pluralism itu bukan toleran tapi justru intoleran. “Kami menghimbau kepada para pengusung paham pluralisme Agama agar tidak menciptakan masalah baru, sebab akan menambah problem sosial” pungkas Dr. Anis dalam seminar kemarin. (Kholili Hasib)

 

 

 

Last modified: 06/07/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *