Ujian Kejujuran Bernama Unas

Oleh M. Anwar Djaelani*

 “Bocoran Kunci Unas Bersliweran,” demikian berita utama Jawa Pos 17/04/2012. Berita setahun lalu itu mungkin akan lama hilang dari ingatan kita. Terlebih karena kabar yang semisal itu kerap kita dapatkan di sekitar pelaksanaan Ujian Nasional (Unas atau UN) beberapa tahun terakhir ini.

Banyak yang terlibat –langsung atau tidak- dalam praktik curang itu. Misal, saat murid berbuat curang cenderung didiamkan oleh guru (pengawas). Bahkan, dalam sejumlah kasus, kecurangan justru diprakarsai sang guru. Sungguh, ini kenyataan yang sangat pahit. Bahwa pelaksanaan Unas yang sering diwarnai ketidakjujuran menyempurnakan potret kita sebagai bangsa yang sakit parah lantaran praktik korupsinya yang terus meningkat di berbagai lini kehidupan.

Pertanyaannya, jika murid dan guru –dua elemen bangsa yang perannya sangat strategis- telah juga tercemari dengan penyakit tak jujur, bisakah kita berharap tegaknya sebuah Indonesia yang jaya dan bermartabat?

 

Khianati UU

Sebagai bangsa kita cemas atas terus berulangnya praktik ketidakjujuran murid dan guru dalam pelaksanaan Unas. Bacalah ulang sejumlah berita setahun lalu, antara lain: “UN Diwarnai Kecurangan Sistematis” (www.antikorupsi.org 19/04/2012). “UN 2012 Masih Penuh Kecurangan” (www.waspada.co.id 29/04/2012).

Kesedihan kian bertambah sebab orang-orang di sekitar kita telah kehilangan akal sehat. Simaklah ini: “Pelapor Kecurangan UN Kerap Diancam” (www.kompas.com 26/04/2012). Adakah contohnya?

Lihat kejadian di pelaksanaan Unas 2011. Siami termasuk orang yang berpengalaman buruk saat menegakkan kejujuran. Kala itu, Siami membongkar praktik curang di sekolah anaknya yang justru diskenario oleh guru.

Siami tak rela bahwa Alif Ahmad Maulana –anaknya-  dijadikan sumber contekan teman-temannya sesama peserta Unas. Ceritanya, di SDN tempat Alif Ahmad Maulana bersekolah terjadi contek massal dan wali kelas-lah yang merancangnya. Si wali kelas meminta Alif Ahmad Maulana memberi contekan ke kawan-kawannya. Untuk keperluan itu, bahkan pada H-1sempat diadakan simulasi cara menyontek.

Atas kecurangan itu Siami tak rela. Dia yang merasa selama ini telah mendidik anaknya dengan sepenuh hati dalam hal kejujuran, merasa terluka. Siami lalu melaporkan kasus itu ke beberapa pihak seperti ke Kepala Sekolah dan Komite Sekolah. Tapi, laporan itu tak mendapat sambutan memadai. Baru setelah masalah tersebut sampai ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan di-blow up media, lalu banyak pihak yang memberi perhatian serius.

Begitu praktik memalukan itu meledak, warga di sekitar Siami tinggal malah tak bisa menerimanya. Alasan mereka –antara lain- karena Siami-lah tiga guru mendapat sanksi, yaitu sang Kepala Sekolah dan dua wali kelas VI. Siami-pun menuai akibat tak enak. Pada 9/6/2011, banyak warga yang mengusir Siami. Tentu saja, Siami tak pernah membayangkan bahwa niat tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya malah menuai petaka.

Siami -warga Gadel Sari Barat, Karangpoh, Tandes, Surabaya- sempat terusir dua pekan dari rumahnya sendiri. Dia diusir warga di sekitarnya dan mengungsi ke rumah orang tuanya di Benjeng – Gresik. Tragis!

Kisah Siami melengkapi berbagai keanehan di sekitar kita. Lihatlah! Guru –kapanpun- memiliki tugas pokok yaitu mendidik muridnya berakhlak mulia. Maka, ajaib, jika di “saat-saat akhir” ketika si murid akan lulus sang guru malah menciderai sendiri tugas mulia tersebut.

Atas fakta buruk di dunia pendidikan itu, siapapun yang masih memiliki hati nurani akan prihatin. Kita sedih karena telah gagal menghidupkan UU No. 20 /2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di UU itu disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.

Perhatikanlah amanat ini: Murid “Memiliki kekuatan spiritual keagamaan”, Sementara, jujur adalah spirit keagamaan yang paling pokok. Dalam Islam –misalnya-, Nabi Muhammad SAW bahkan bergelar sebagai Al-Amin (Si Jujur yang Terpercaya).

Di UU yang sama, juga disebutkan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.

Berakar pada nilai-nilai agama,” jelas punya makna bahwa proses pendidikan harus selalu didasarkan kepada ruh ajaran agama. Di dalam Islam, misalnya, ada ajaran mulia ini: “Sesungguhnya kejujuran akan menuntun kepada kebaikan dan kebaikan akan menuntun kepada surga. Sesungguhnya dusta akan menuntun kepada kejahatan dan kejahatan akan menuntun kepada neraka” (Muttafaq ‘Alaihi). Tetapi, jika melihat pelaksanaan Unas yang kerap diwarnai praktik ketidakjujuran itu, maka mana hasil pendidikan kita?

 

Dua Nasihat

Alhasil, ada baiknya renungan berikut ini kita seksamai. Pertama, kepada para guru. Secara umum, jangan khianati tugas utama dari guru yaitu “Ing Ngarso Sung Tulodo” yang bermakna bahwa guru (sebagai pemimpin) harus mampu memberikan teladan bagi murid-muridnya. Kejujuran adalah sesuatu yang harus diteladankan oleh guru. Adapun secara khusus, guru harus selalu ingat bahwa tugas dia adalah mewujudkan tujuan pendidikan nasional terutama agar murid “Memiliki kekuatan spiritual keagamaan” dengan indikator “berakhlaq mulia”.

Kedua, kepada segenap murid. Sampai kini tak terbantahkan ungkapan bahwa ”Student today leader tomorrow (Sekarang pelajar, esok akan menjadi pemimpin)”. Terkait ini, para murid harus kritis. Mereka harus bisa menyeleksi bahwa hanya hal-hal yang benar dan baik sajalah yang perlu diambil dari guru. Guru juga manusia biasa yang bisa salah, maka sebagai murid kita harus berani menolak jika ada guru (apapun alasannya) mengajak bersekongkol berbuat curang dalam pelaksanaan Unas.

Mari, songsong tegaknya sebuah Indonesia yang jaya dan bermartabat dengan selalu bersikap jujur dalam urusan apapun, terutama di ranah pendidikan. Jadikan Unas sebagai ujian kejujuran kita. []

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *