Oleh Kholili Hasib (Peneliti InPAS)
Pengantar
Problematika paling serius yang dihadapi kaum Muslim kontemporer sesungghunya mengerucut kepada problem sekularisasi ilmu. Syed M. Naquib al-Attas, menganalisis bahwa penyebab krisis tersebut adalah karena peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Syed al-Attas mengatakan: “Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh peradaban Barat ini. Saya berani mengatakan bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu…”[1].
Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat, namun peradaban Barat telah menyebabkan kerusakan pemikiran. Penyebabnya, ilmu Barat sekuler tidak dibangun di atas wahyu namun berdasarkan spekulasi filosofis. Relativisme dan skeptisisme diangkat menjadi metodologi ilmiah. Ironisnya, pandangan sekuler ini dianut sebagian cendekiawan Muslim dalam studi agama.
Dalam buku Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Abdul Munir Mulkan – dosen UIN Yogyakarta menanam paham relativisme. Ia menulis:
“Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin”.[2]
Paham antinilai (nihilisme) juga telah merusak ilmu-ilmu syariah. Sehingga orang yang belajar Syariah tidak lagi mengaitkan dengan akidah. Pada tahun 2005 Jurnal JUSTISIA yang diterbitkan oleh Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo mengangkat tema kontroversial “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Ditulis di dalamnya: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus “Nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalan terus kaum homoseks. Anda di jalan yang benar”[3].
Westernisasi Ilmu
Apa yang telah dialami para cendekiawan liberal tersebut disebabkan ilmu-ilmu yang digunakan berasal dari pandangan hidup (worldview) sekuler. Ciri-cirinya antara lain; rasionalisme, empirisisme, dikotomi, nihilisme, relativisme, anti-otoritas, equality, dan pluralisme.
Sains Barat menggunakan pandangan hidup tersebut dalam kerja-kerja ilmu. Sehingga salah satu ciri khas sains Barat adalah membatasi objek-objek ilmu pada bidang empiris dan rasional belaka. Sementara objek-objek non-empiris (metafisis) tidak menjadi acuan. Agama dinilai sebagai dogma non-empiris yang tidak bisa diverifikasi, sehingga tidak bisa menjadi acuan dalam aktivitas ilmu.
Faktor paling mendasar dalam sekularisasi ilmu pengetahuan di perguruan tinggi Indonesia karena masih dominannya filsafat ilmu sekuler di perguruan tinggi. Dr. Adian Husaini, MA mengatakan bahwa kuatnya dominasi sekularisme – yang menolak campur tangan agama – dalam bidang keilmuan kontemporer turut berpengaruh dalam perumusan konsep Filsafat Ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi saat ini.[4]
Adian Husaini memberi contoh buku Filsafat Ilmu yang ditulis oleh Jujun S Suria Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer yang mengutip pendapat August Comte yang membagi tiga tingkat perkembangan manusia, yaitu religius, metafisik dan positif. Teori Comte ini terkenal dengan teori positivisme. Adian mengkritik bahwa teori positivisme Comte dalam perspektif Islam jelas sangat bermasalah. Sebab ia meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang paling primitif dan akan punah saat manusia memasuki era positivisme atau empirisisme. Teori Comte ini tidak terbukti. Sebab, manusia – di Barat dan di Timur – di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap memegang kepercayaan kepada hal-hal yang metafisik dan juga agama.[5]
Bahkan Comte cenderung mengajarkan ateisme. Comte yang dikenal Bapak Sosiologi memandang kepercayaan kepada agama merupakan ciri keterbelakangan intelektual. Ia menolak agama sebagai acuan dalam pengembangan masyarakat intelektual. Manusia intelek ia anjurkan untuk meninggalkan agama. Pemikiran Comte tersebut diikuti oleh sejumlah filsuf Barat; Emile Durkheim dan Herbert Spencer.
Dalam bidang ilmu psikologi, Sigmund Freud yang dikenal Bapak Psikologi modern juga mengajarkan ateisme. Freud sendiri adalah seorang ateis. Berkeyakinan bahwa Tuhan itu memang tidak ada. Ia menganggap ritual keagamaan tidak mempunyai arti dan manfaat apapun dalam kehidupan ini. Ia menyatakan, agama yang dipraktikkan oleh banyak kalangan bisa dikatakan sebagai gangguan obsesi mental secara universal. Agama, bagi Freud, bukan menjadi obat hati, justru merusak mental[6]. Kritik paling dahsyat terhadap eksistensi Tuhan dilakukan oleh Friedrich Netzsche. Ia mengatakan: “God died; now we want the overman to live”.[7]
Dalam sejarahnya, agama di Barat (modern) dipisah dengan ilmu. Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh dasar-dasar filosofis. Dasar filosofis itu berangkat dari spekulasi yang berkaitan hanya dengan kehidupan sekular yang berpusat pada manusia sebagai diri jasmani dan hewan rasional, meletakkan ruang yang besar bagi kekuatan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh rahasia alam[8].
Syed al-Attas mengatakan: “Semangat penelitian dalam kebudayaan dan peradaban Barat berasal dari penghapusan keterpesonaan manusia terhadap agama sebagaimana yang difahami oleh peradaban tersebut. Agama dalam pengertian kita, sebagai din, tidak pernah mengakar dalam peradaban Barat karena kecintaannya yang berlebihan dan menyimpang kepada dunia dan kehidupan sekular manusia dan kesibukan memikirkan nasib sekularnya di dunia”[9].
Sekularisasi ilmu tersebut dipelopori pertama kali oleh Rene Descartes yang memformulasi prinsip: “Aku berfikir maka aku ada” (cogito ergo sum). Descartes menjadikan rasio sebagai satu-satunya criteria untuk mengukur kebenaran. David Hume mengusung metode empirisisme dan skeptisisme (keragu-raguan).
Setelah itu datang Immanuel Kant mengkritik Hume. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berlandaskan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transcendental. Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis[10].
Pemikiran tersebut sangat jelas menafikan kebenaran Ilahi. Karena ajaran-ajaran agama itu banyak yang tidak empirik, sehingga tidak memiliki nilai ilmu. Maka, dari sinilah kemudian timbul dualisme kebenaran. Ada kebenaran saintifik ada kebenaran agama. Problem serius muncul ketika sejumlah ajaran Kristen Barat yang tidak sesuai dengan kebenaran saintifik.
Secara umum, sistem ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat melahirkan ateisme. Yang paling nyata, mengubah secara mendasar agama Kristen. Para filsuf Barat berpendapat bahwa Kristen harus disesuaikan dengan padangan hidup Barat yang sekuler. Dalam konteks keilmuan Islam, paradigma ilmu pengetahuan Barat sekular tersebut jelas tidak memberikan tempat bagi konsep tauhid. Jika diterapkan dalam studi Islam, jelas akan membongkar pokok-pokok agama.
Seperti sikap skeptisisme (keragu-raguan). Menggugat orisinalitas wahyu. Apa benar wahyu yang turun ke Nabi Muhammad saw itu seratus persen kalam Allah. Relativisme dengan pernyataan bahwa kebenaran itu tidak tunggal hatta kebenaran agama. Tidak ada yang disebut salah. Semua benar.
Krisis yang serius dalam pemikiran Islam berangkat dari adopsi terhadap konsep ilmu pengetahuan Barat. Sikap imitatif ini menyebabkan kerancuan, kebingungan intelektual dan kaum Muslim kehilangan identitas diri, harga diri. Maka, usaha menggali system ilmu dalam Islam sangat medesak saat ini.
Ilmu Perspektif Islam
Ilmu dalam Islam menempati posisi sangat penting. Salah satunya al-Qur’an menyebut kata ‘ilm dan deravasinya sebanyak 750 kali. Sehingga orang berilmu menempati posisi mulia. Allah swt berfirman; “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Mujadalah: 11). Dalam satu hadis, mencari ilmu juga mendapatkan tempat yang mulia; “Barang siapa yang mencari ilmu maka ia di jalan Allah sampai ia pulang” (HR. Tirmidzi).
Wahyu pertama yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw berkaitan dengan perintah membaca (iqra’). Tetapi, sejak awal, sudah diingatkan bahwa proses membaca tidak boleh dipisahkan dari ingat kepada Allah Swt. Harus dilakukan dengan mengingat nama Allah Swt (Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). Konsepsi Ilmu dalam Islam tidak memisahkan secara dikotomis antara iman dan ilmu pengetahuan. Tidak memisahkan unsur dunia dan unsur akhirat. Karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dipelajari bermuara pada satu tujuan penting, mengenal Allah, beribadah kepada-Nya dan kebahagiaan di akhirat.
Sehingga dalam Islam, ilmu terkait dengan akidah. Syeikh Abdul Qohir al-Baghdadi mengatakan; “Pilar pertama (dari ciri akidah Ahlussunnah wal Jama’ah) adalah menetapkan realitas dan ilmu. Menyesatkan orang yang menolak ilmu seperti kaum Sufastoiyyah”[11]. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan “Mengawali akidah (yang disusun oleh al-Nasafi) dengan pernyataan yang jelas tentang ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat penting, sebab Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Penyangkalan terhadap kemungkinan dan objektifitas ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya dasar yang tidak hanya menjadi akar bagi agama, tetapi juga bagi semua jenis sains”[12].
Orang yang bertambah ‘informasi pengetahuannya’, namun tidak bertambah imannya, maka orang tersebut dijauhkan dari petunjuk Allah swt. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka tidak akan bertambah kecuali dia akan makin jauh dari Allah swt” (HR. al-Dailami). Beriman mensyaratkan untuk berilmu. Seperti firman Allah swt, “Hanya orang-orang berilmu (ulama’) yang betul-betul takut kepada Allah” (QS Al-Fathir: 28).
Iman, menurut al-Attas di atas ilmu. Yang namanya beriman adalah usaha melaksanakan amanah yang dibebankan kepada manusia sebagai perintah Tuhan kepadanya, bukan sekedar ikrar dengan lisan. Tapi harus mengakui kebenaran (tasdiq) dengan hati dan melaksanakan amalan. Pengakuan kebenaran ini dikenal seorang Muslim melalu ilmu. Kejahilan tidak mampu mengetahui kebenaran[13].
Sementara kaum sofis berkeyakinan bahwa mengetahui hakikat sesuatu itu tidak mungkin. Dalam konteks beragama, manusia tidak mengetahui hakikat yang benar itu. Dalam Islam, pandangan ini ditolak. Manusia secara lahir, batin, mental dan spritiual diberi kemampuan untuk mengetahui. Dalam Islam, mengetahui itu tidak mustahil. Persoalannya, – yang membedakan dengan Barat – darimana kita mengetahui? Inilah persoalan sistem, dan kaidah mengetahui.
Dr. Syamsuddin ‘Arif dalam tulisannya Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam, sumber ilmu dalam Islam ada; persepsi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqqul), intuisi sehat (qalb) dan khabar shadiq. Syamsuddin Arif menulis:
“Persepsi inderawi meliputi yang lima (indera pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), daya ingat atau memori (dzahkirah), penggambaran (khayal) dan estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nadzar) dan alur pikir (fikr). Dengan alur pikir kita bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan isyarat ilahi, fath, ilham, kasyf dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar shadiq, yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sumber khabar shadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman”[14].
Dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu yang primer karena ia berkaitan langsung dengan realitas absolute, yaitu Allah Swt. Bahkan penggalian ilmu pengetahuan dapat ditemukan di dalam wahyu. Hal ini berbeda dengan Barat yang menolak sama sekali wahyu sebagai sumber ilmu. Wahyu tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Dalam konteks epistemologi, sebenarnya konsepsi Islam lebih komprehensif daripada Barat yang membatasi pada ranah empirik saja.
Dari sisi ontologis, Tuhan merupakan aspek sentral dalam ilmu pengetahuan Islami. Pengetahuan Tuhan yang absolut ini dibutuhkan ketika indera dan akal manusia tidak mampu menerjemahkan realitas non-fisik. Maka di sini diperlukan pemahaman tentang konsep Tuhan yang benar.
Pemahaman yang keliru tentang konsep Tuhan beserta aspek-aspek teologis lainnya berimplikasi terhadap epistemologi. Jika Tuhan yang diyakini itu hanya aspek transenden saja yang memiliki sifat absolut, sedangkan Tuhan itu tidak immanen, maka tidak akan menghasilkan apa-apa terhadap ilmu pengetahuan Islam. Sebab, Tuhan diyakini tidak lagi berhubungan dengan realitas empirik di dunia dan pengetahuan sosial dan empiris.
Secara aksiologis, pemahaman tentang konsep Tuhan, wahyu, agama dan lainnya dijadikan sebagai sumber nilai. Sistem nilai tidak diambil dari pengalaman manusia atau fenomena sosial yang selalu berubah-ubah. Nilai dalam Islam tidak ‘on going proces’. Ia bersifat tetap dan harus termanifestasikan dalam setiap kerja-kerja ilmiah. Sehingga, Ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan harus memiliki visi nilai. Nilai ini membimbing ilmuan dari kedzaliman. Ia mengontrol kerja-kerja ilmiahnya dari tujuan dasar dari berpengetahuan adalah untuk kebahagian dunia akhirat.
Karena teologi mengimplikasikan epistemologi, maka teologi beserta aspek-aspeknya mempengaruhi proses berpikir seorang ilmuan. Teologi yang benar akan menghasilkan sistem epistemologi yang tepat pula sesuai dengan nilai Islam.
Klasifikasi Ilmu
Kategorisasi ilmu dalam Islam bersifat hierarkis tidak dikotomis. Dilihat dari kegunaannya bagi manusia, ilmu pengetahuan dibagi menjadi ilmu yang baik (al-mahmudah) dan tidak baik (al-madzmumah). Ilmu madzmumah seperti ilmu perbintangan atau ilmu-ilmu pemikiran sesat. Menurut al-Ghazali, kendatipun ilmu ini tidak baik, hendaknya ada sekelompok ilmuan Muslim untuk mempelajarinya. Bukan untuk mengamalkan ilmu tersebut, tetapi untuk menjaga orang awam dari kerancuan[15].
Kategorisasi utama dari segi kewajiban mencari ilmu adalah pembagian ilmu menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi tiap-tiap individu muslim mengetahuinya. Mencakup ilmu yang berkenaan dengan i’tiqad (keyakinan). Ilmu-ilmu yang menyelamatkan dari keraguan (syakk) iman. Tujuan ilmu ini untuk menghilangkan kekeliruan iman, dan bisa membedakan antara yang haq dan bathil. Dimensi lain – dari ilmu fardhu ‘ain – adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan perbuatan yang wajib akan dilaksanakan. Misalnya, orang yang akan berniaga wajib mengetahui hukum-hukum fiqih perniagaan, bagi yang akan menunaikan haji wajib baginya memahami hukum-hukum haji. Dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang harus ditinggalkan seperti sifat-sifat tidak terpuji dan lain-lain.
Sedang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab kefardhuan untuk menuntutnya (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin jilid 1).
Dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardlu kifayah sangat signifikan menunjang pembaharuan pendidikan yang lebih beradab. Dalam perspektif Imam al-Ghazali, pengajaran yang baik itu bukan bersifat juz’i (parsial) tapi kulli (komprehensif). Kulli maksudnya, kurikulum yang membentuk kerangka utuh yang menggabungkan seluruh ilmu agama seperti tauhid, tasawuf, dan fikih. Menggabungkan antara ilmu agama dengan keterampilan duniawi. Tujuan kurikulum ini adalah membentuk mental ilmuan yang holisitik – pakar di bidang ilmu aqli sekaligus tidak buta ilmu syar’i[16]. Kekeliruan dalam pendidikan, menurut al-Attas disebabkan oleh ketimpangan dalam memahami ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Sehingga menyebabkan kekacauan intelektual.
Al-Attas menyatakan bahwa fardhu ‘ain bukanlah suatu kumpulan ilmu pengetahuan yang kaku tertutup. Cakupan fardhu ‘ain sangat luas sesuai dengan perkembangan dan tanggung jawab spiritual, sosial dan professional sesesorang. Hal ini berarti bahwa Muslim diwajibkan menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu dan ketrampilan membaca, menulis dan menghitung. Sedang ilmu fardhu kifayah al-Attas membagi menjadi delapan disiplin ilmu; ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu teknologi, perbandingan agama, ilmu kebudayaan Barat, ilmu linguistik dan ilmu sejarah[17].
Penutup
Secara umum, ilmu dalam Islam tidak memisahkan antara ilmu, iman dan amal. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hazm, ilmu dan iman berasal dari Tuhan untuk tujuan yang sama, yaitu menerima secara totalitas kebajikan sebagaimana ditentukan Tuhan dalam al-Qur’an dan Hadis. []
[1] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme terj. Khalif Muammar, (Bandung : PIMPIN, 2011), hal. 165
[2] Abdul Munir Mulkan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana: 2002), hal. 44
[3] Pengantar Redaksi Jurnal JUSTISIA IAIN Walisongo Semarang tahun 2005
[4] Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Bogor: UIKA Bogor, 2013), hal. 1
[5] Ibid, hal. 2
[6] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 97-98
[7] Adnin Armas, Sekularisasi Ilmu dalam Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam hal.22
[8] Syed Muhmmad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ….hal. 167
[9] Ibid, hal. 168
[10] Adnin Armas, Sekularisasi Ilmu dalam Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam hal. 20
[11] Abdul Qohir al-Baghdadi, Al-Farqu Bainal Firaq,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hal. 249
[12] Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat, dalam Jurnal Islamia No. 5 Thn II April-Juni 2005, hal. 52
[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengamalannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2005), hal. 6
[14] Syamsuddin Arif, Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam dalam Jurnal Islamia No. 5 Thn II April-Juni 2005, hal.
[15] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. (Bandung: Mizan,2003), hal. 270
[16] ibid
[17] Ibid, hal. 282