Oleh M. Anwar Djaelani
Jujur adalah sikap yang sangat terpuji. Tetapi, di negeri ini, menjadi orang jujur justru mendatangkan situasi yang tak nyaman yaitu dipandang aneh bak ‘orang asing’.
Disalahkan, Dimusuhi!
Dua contoh berikut memang tak baru karena telah terjadi pada 2011. Tetapi karena terjadi di dunia pendidikan, maka dua kasus ini sangat fenomenal. Bahwa, di dunia pendidikan yang pasti mengajarkan tentang kemuliaan orang yang memiliki sifat jujur, ternyata justru dirusak oleh berbagai praktik curang di saat pelaksanaan Ujian Nasional (Unas).
Dua kasus yang dimaksud adalah apa yang dialami Alif Ahmad Maulana dan ibunya (yaitu Siami) di Surabaya dan Muhammad Abrary Pulungan dan ibunya (yaitu Irma Winda Lubis) di Jakarta.
Alkisah, Siami tak rela bahwa Alif Ahmad Maulana –anaknya- dijadikan sumber contekan teman-temannya sesama peserta Unas. Ceritanya, di SDN Gadel II, Tandes, Surabaya -tempat Alif Ahmad Maulana bersekolah- terjadi contek massal dan wali kelas-lah yang merancangnya. Si wali kelas meminta Alif Ahmad Maulana memberikan contekan ke kawan-kawannya. Untuk keperluan itu, bahkan pada H-1 Unas 2011 sempat diadakan simulasi cara menyontek.
Atas kecurangan itu Siami tak rela. Dia yang selama ini telah mendidik anaknya dengan sepenuh hati dalam hal kejujuran, merasa terluka. Siami lalu melaporkan kasus itu ke beberapa pihak seperti ke Kepala Sekolah dan Komite Sekolah. Tapi, laporan itu tak mendapat sambutan yang memadai. Baru setelah masalah tersebut sampai ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan di-blow up media, lalu banyak pihak yang memberikan perhatian yang serius.
Begitu praktik memalukan itu meledak, banyak pihak seperti guru dan orangtua siswa rekan Alif sendiri yang tak bisa menerimanya. Warga di sekitar Siami bertempat-tinggal pun tak bisa menerimanya. Alasan mereka –antara lain- karena Siami-lah tiga guru mendapat sanksi, yaitu sang Kepala Sekolah dan dua wali kelas VI.
Siami-pun menuai akibat tak enak. Pada 09/06/2011, banyak warga yang mengusir Siami. Tentu saja, Siami tak pernah membayangkan bahwa niat tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya malah menuai petaka. Siami -warga Gadel Sari Barat, Karangpoh, Tandes, Surabaya- sempat terusir dua pekan dari rumahnya sendiri. Dia diusir warga di sekitarnya dan mengungsi ke rumah orangtuanya di Benjeng – Gresik.
Aneh, memang. “Kita mau jujur kok dibilang sok,” kenang Siami. Dan, contoh serupa seperti yang dialami Siami dan Alif tak sedikit. Jika di Surabaya ada Alif dan ibunya, maka di Jakarta ada Abrary dan ibunya.
Kasusnya sama, yaitu contek massal saat Unas di SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada 2011. Sang pembongkar adalah Muhammad Abrary Pulungan, siswa yang diminta salah seorang guru memberikan contekan kepada teman-teman sekelasnya. “Kita dikumpulkan, disuruh merahasiakan dari orangtua atau saudara sampai dewasa,” kenang Abrary (Jawa Pos 07/04/2013).
Secara umum, apa yang dialami Abrary dan ibunya saat Unas SD 2011 nyaris sama dengan Alif dan ibunya. Bedanya, meskipun diperintah gurunya memberikan contekan, Abrary melawan perintah tersebut. Dia tidak mau memberikan contekan kepada teman-temannya. Atas sikap tersebut, teman-teman sekelas Abrary berang dan memusuhinya. “Saya tidak diajak ngobrol, diawas-awas, dan disoraki,” kata Abrary (www.jpnn.com 18/06/2011).
Merasa tak nyaman dengan perlakuan tersebut, Abrary lalu menyampaikan kepada sang ibu bahwa teman-teman sekelasnya telah menyontek bersama-sama pada hari pertama Unas. Mendengar laporan itu, Irma –ibu Abrary- tidak terima. Dia khawatir budaya kejujuran yang sudah dibangun di lingkungan keluarganya akan terkikis. Akhirnya, dia melapor ke berbagai pihak.
Sayang, kasus contek massal pada Unas 2011 tidak ditangani tuntas oleh pemerintah (Jawa Pos, 07/04/2013). Padahal, tujuan si pembongkar kecurangan itu mulia. Dengarkanlah kata Abrary kepada ibunya: “Bunda, saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Nanti Indonesia bisa roboh.”
Jadilah ‘Si Asing’!
Bersama setidaknya dua kasus itu terbentang kisah tentang orang-orang jujur yang sekaligus berani menegakkan kejujuran. Tapi, di tengah-tengah masyarakat yang rusak, justru orang-orang jujur itu menerima perlakuan yang menyakitkan.
Terkait fakta ini, ingatlah kita sebuah kabar dari Nabi Muhammad SAW, bahwa: “Sesungguhnya Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka thuuba (beruntunglah) orang-orang yang asing” (HR Muslim).
Islam datang pada masa jahiliyah dan dianggap asing. Sementara, sekarang ini, telah terasa datangnya sebuah keadaan di mana Islam dirasakan asing pula justru oleh pemeluknya. Kini, di tengah-tengah masyarakat, umat Islam banyak yang telah meninggalkan syariat agamanya. Terkait itu, jika ada yang tetap teguh menegakkan syariat Islam maka justru orang itu dianggap sebagai ‘orang asing’ atau ‘orang aneh’.
Tampak bahwa ‘orang asing’ atau ‘orang aneh’ adalah orang-orang yang tetap berbuat kebajikan ketika manusia lainnya banyak yang rusak. ‘Orang asing’ atau ‘orang aneh’ adalah orang-orang shalih yang berada di antara orang-orang yang buruk. Di saat itu, orang yang menyelisihi ‘orang asing’ atau ‘orang aneh’ lebih banyak ketimbang yang mendukungnya.
Alhasil, marilah kita berupaya agar tetap menjadi manusia yang teguh di atas agama Allah dengan jalan terus memurnikan tauhid kita dan mengikhlaskan ibadah kita hanya kepada Allah. Taatilah Allah dan Rasul-Nya serta janganlah sekali-kali mengikuti orang kebanyakan yang telah rusak. “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al-An’aam [6]: 116).
Jadi, tetaplah teguh dalam berislam termasuk dalam hal menegakkan kejujuran seperti yang telah ditunjukkan oleh Alif dan ibunya di Surabaya serta Abrary dan ibunya di Jakarta! []