Seperti Asing
Jujur termasuk sifat utama orang bertaqwa. Sayang, kini kejujuran telah banyak dicampakkan. Perilaku ketidakjujuran malah menjadi kenyataan yang mudah kita temui dalam keseharian. Praktik ketidakjujuran berlangsung di berbagai lini kehidupan. Jejaknya terekam di berbagai aspek, seperti sosial, politik, dan pendidikan.
Kecintaan kepada kesenangan duniawi yang antara lain ditandai dengan kerakusan terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan menyebabkan manusia menjauh dari sifat fitrinya yang menyukai nilai-nilai kejujuran. Akibat paling ekstrim dari itu semua adalah keterjebakan manusia kepada sikap “menghalalkan segala cara”.
Lalu, banyaklah orang yang tak memedulikan cara-cara halal dalam mencapai kesenangan. Beredarlah ungkapan-ungkapan sesat dan menyesatkan seperti: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Ada pula, ”Si jujur akan hancur”, atau ”Jika ‘lurus’ akan kurus”, atau “Siapa ikhlas akan tergilas”.
Tentu, hidup di tengah-tengah masyarakat dengan performa seperti tergambarkan di atas akan beresiko. Misal, orang jujur malah dianggap makhluq aneh. Lantaran orang yang tidak jujur sedemikian banyak, maka mereka yang jujur justru akan dianggap semacam makhluq asing. Mereka –yang jujur itu- akan dimasukkan ke kelompok ‘orang aneh’. Bahkan –lebih dari itu- mereka akan dimusuhi oleh orang-orang yang sudah menjadikan ketidakjujuran sebagai ‘pakaian’ sehari-hari.
Lihat, apa yang dialami Siami saat –Mei-Juni 2011- mengungkap praktik contek massal. Siami tak rela Alifa’ Ahmad Maulana –anaknya- dijadikan sumber contekan teman-temannya sesama peserta UN.
Seperti yang ramai dipublikasikan media –lokal dan nasional- di SDN tempat Alifa’ Ahmad Maulana bersekolah telah terjadi contek massal. Masalah ini ‘menarik’, karena justru sang wali kelas-lah yang merancangnya. Si wali kelas meminta Alifa’ Ahmad Maulana –yang kerap menjadi juara kelas- memberi contekan ke kawan-kawannya. Untuk keperluan itu, bahkan pada H-1sempat diadakan simulasi cara mencontek (baca, misalnya, Jawa Pos 3/6/2011 yang menurunkan judul: “Satu Sekolah Nyontek Massal”).
Atas kecurangan itu, Siami yang merasa selama ini telah mendidik anaknya dengan sepenuh hati -terutama dalam hal penanaman kejujuran- merasa terluka dan tak bisa menerimanya. Siami-pun melaporkan kasus itu ke beberapa pihak seperti Kepala Sekolah dan Komite Sekolah. Tapi, laporan itu tak mendapat sambutan yang memadai. Baru setelah masalah tersebut sampai ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan di-blow up media, lalu banyak pihak yang memberi perhatian serius.
Kejadian itu menurut Prof. Daniel M. Rasyid (pengamat pendidikan dari ITS) adalah “Kecurangan terburuk yang pernah saya dengar”. Tapi, aneh sekali, begitu praktik memalukan itu terbongkar, warga di sekitar Siami tinggal malah tak bisa menerimanya. Siami diusir dan sempat dua pekan mengungsi. Baru setelah dimediatori sejumlah pihak, ibu yang sangat menomorsatukan kejujuran itu kembali ke rumahnya.
Puasa dan Kejujuran
Puasa (siyam) Ramadhan wajib kita tunaikan. Di dalamnya banyak hikmah. Salah satunya, bisa membangun sikap jujur. Maka, di tengah situasi yang penuh dengan praktik ketidakjujuran, puasa Ramadhan harus kita tegakkan dengan sebaik-baiknya agar semua hikmah di dalamnya bisa kita raih.
Puasa Ramadhan diprogram untuk menghasilkan orang-orang bertaqwa. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS Al-Baqarah [2]: 183). Adapun ciri paling menonjol orang bertaqwa adalah selalu bersikap berhati-hati, yaitu berhati-hati agar selalu bisa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Di antara yang diperintah Allah (dan Rasul-Nya) adalah agar kita suka bersikap jujur. Kita diminta untuk mewujudkan masyarakat yang pro- kejujuran. Dengan demikian, kita sangat beruntung karena untuk mewujudkannya tersedia sarana untuk berlatih yaitu dengan berpuasa Ramadhan.
Keistimewaan puasa Ramadhan antara lain karena ibadah itu bersifat sirriyah (rahasia). Disebut demikian karena yang mengetahui seseorang berpuasa atau tidak, hanyalah yang bersangkutan dan Allah saja.
Lewat puasa Ramadhan kita dilatih berlaku jujur. Sekalipun kita memiliki kesempatan untuk makan dan minum di tempat terlindung, misalnya, tapi itu tidak akan kita lakukan karena kita sedang berpuasa dan yakin bahwa perbuatan apapun pasti dilihat Allah.
Saat berpuasa, kita dilatih untuk menyadari bahwa Allah selalu hadir di manapun kita berada. Jika kesadaran seperti itu terbangun, maka jujur akan menjadi ‘pakaian’ keseharian kita. Tentu, kita bisa membayangkan, jika sebuah negeri dihuni oleh orang-orang yang terdidik untuk selalu bersikap jujur. Sungguh, alangkah akan indah.
Di tengah banyaknya warga masyarakat yang suka bersikap tak jujur, maka kehadiran orang jujur –seperti Siami- akan sangat bernilai tinggi. Bila sifat jujur telah melekat pada diri seseorang, maka segenap amanah yang ditanggungnya akan diselesaikannya dengan sepenuh tanggung-jawab. Dia pasti tidak akan mau mengambil resiko untuk –misalnya- menyelewengkan berbagai amanah itu. Guru –sekadar menyebut contoh- tak akan mengajari muridnya suka mencontek.
Ayo, ‘Bersekolah’!
Ketika Ramadhan akan datang, kita persiapkan –fisik maupun psikis- agar bisa berpuasa Ramadhan sesuai dengan sunnah Nabi SAW. Lalu, setelah Ramadhan bersama kita, berlatihlah di dalamnya untuk merasa selalu dalam pengawasan Allah. Berlatihlah untuk selalu bersikap jujur.
Jika hal di atas bisa kita jalankan dengan baik, insya-Allah kita akan menjelma menjadi insan yang bertaqwa. Dan, bukan tak mungkin, kisah Siami yang ‘gagah’ memerjuangkan kejujuran bisa menjadi salah satu inspirasi agar kita tekun berlatih jujur di Sekolah Kejujuran bernama “Madrasah Ramadhan”. []