Oleh Kholili Hasib
Dalam buku Buku Putih Madzhab Syiah yang diterbitkan oleh ormas Syiah ABI (Ahlul Bait Indonesia) pada Agustus 2012, Syiah yang dipresentasikan ormas ABI melayangkan tawaran untuk merakit persatuan umat. Dikemukakan dalam pengantarnya: “Buku putih ini, dan upaya merakit persatuan umat, adalah dua hal yang menyatu. Buku Putih Mazhab Syiah ini memuat uraian-uraian untuk kesefahaman demi kerukunan umat Islam. Tidak akan ada persatuan dan kerukunan, kalau tidak ada kesefahaman,” tulis Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam pengantarnya.
Ajakan berdamai antara Ahlussunnah dan Syiah seperti tertulis dalam buku tersebut diharapkan diungkapkan sepenuh hati, bukan sekedar retorika taqiyah. Kata kunci tawaran damai itu adalah “kesefahaman antara Sunni-Syiah”. Persoalannya, bagaimana dengan buku-buku Syiah yang berisi doktrin radikalisme, fitnah, laknat dan cacian terhadap Sahabat dan kaum Muslimin? Syiah Indonesia berapologi bahwa ajaran itu tidak mewakili mayoritas dan jumhur Syiah.
Pada rentang tahun 1984 sampai 1985, publik Indonesia ramai dengan berita pengeboman gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan Candi Borobudur Megelang Jawa Tengah. Pelakunya adalah pemuda Syiah, yaitu Jawad dan Husein al-Habsyi. Keduanya ditangkap dan diadili. Dalam pengakuanya, Husein mengatakan ingin menjadi imam di Indonesia seperti Khomeini di Iran. Pada ceramah-cerahmahnya terekam, Husein kerap meniru ucapan Khomeini: “ … tidak Timur dan tidak Barat, tidak Sunni dan tidak Syiah, tetapi pemerintahan Islami …”.
Radikalisme pemuda tersebut disulut oleh gerakan Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini. Apalagi Khomeini pernah menulis dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah bahwa penegakan pemerintahan Islam (pemerintah berdasarkan Imamah Syiah) menjadi keharusan hingga saat ini (baca Ayatullah al-Khumainy, al-Hukumah al-Islamiyah, hal. 26).
Ayatullah Khomeini merupakan tokoh Syiah kontemporer yang menjadi rujukan Iran dan Syiah Imamah di dunia hingga kini. Kenyataannya, radikalisme ajaran Khomeini tidak memiliki perubahan signifikan dengan para pendahulu Syiah.
Khomeini dalam bukunya Tahrir al-Washilah mengatakan, “Dan pendapat yang kuat bahwa al-nasibi (Sunni) didudukkan sebagai musuh dalam peperangan. Harta bendanya halal diambil sebagai ghanimah dengan menyisihkan seperlimanya. Bahkan jelas sangat dibolehkan mengambil hartanya di manapun berada dengan cara apapun serta kewajiban mengeluarkan seperlimanya” (Ayatullah al-Khomeini, Tahrir al-Washilah, I/hal. 352).
Henry Shalahuddin dalam Jurnal ISLAMIA Vol. VIII No. 1 tahun 2013 menulis artikel berjudul “Syiah, Gerakan Takfiri”. Diulas oleh Henry bahwa fitnah keji dilemparkan oleh Khomeini kepada para Sahabat Rasulullah saw. Khomeini berpendapat bahwa Aisyah, Talhah, Zubair dan Mu’awiyah serta orang-orang sejenis yang menjadi pengikutnya secara lahiriyah tidak najis, tapi mereka menurut Khomeini lebih buruk dan menjijikkan daripada anjing dan babi. Ia mengatakan, “wa inkanu akhbas min al-kilab wa al-khanazir”. (Ayatullah Khomeini, Kitab al-Thaharah, III/hal. 457).
Sedangkan ulama’ Ahlussunnah disebut telah keluar dari jalur al-Qur’an dan al-Sunnah. Tokoh Syiah bernama Muhammad al-Tijani mengatakan, “Anna a’immatal madzahibi al-arba’ah min ahlis sunnah hum aidhan khalafu kitaballahi wa sunnatinnabiy” (sesungguhnya empat imam madzhab Ahlussnnah juga telah menyalahi al-Qur’an dan hadis). Lebih keji lagi imam Abu Hanifah dan Imam Malik telah berbuat bid’ah dalam madzhabnya dan meninggalkan imam pada zamannya (Muhammad al-Tijani,al-Syiah hum Ahlussunnah, hal. 88).
Fakta-fakta pustaka Syiah yang berbau radikal dan takfir seperti tersebut di atas cukup melimpah. Apalagi jika kita menelaah karya tokoh-tokoh klasiknya yang cenderung lugas dan blak-blakan daripada yang kontemporer yang cenderung bersiasat dengan taqiyah. Meskipun agak tertutup, tokoh kontemporer pada akhirnya tidak bisa menyembunyikan ajaran aslinya, seperti Ayatullah Khomeini.
Kampanye Khomeini untuk mengekspor revolusi Syiahnya kabarnya disambut oleh sejumlah pemuda Syiah Indonesia dengan berupaya membangun jaringan militansi. Laporan As’ad Said Ali -Wakil Ketua Umum PBNU- di web resmi NU www.nu.or.id pada 30 Mei 2005 dalam bentuk artikel berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia” menulis bahwa Syiah Indonesia sedang membangun lembaga Marja’iyyat Taqlid seperti di Iran. Dalam laporannya, As’ad menyatakan bahwa jaringan militansi Syiah yang mengusung kemutlakan kekuasaan politik Imamah meluas dalam bentuk pengkaderan. Para alumni Qom Iran mendirikan yayasan, melakukan mobilisasi opini, dan penyebaran kader ke sejumlah parpol.
“Dewasa ini Syiah Indonesia sedang berupaya membuat lembaga yang disebut marjaiyyad al-taqlidi, sebuah institutsi kepemimpinan agama yang sangat terpusat, diisi oleh ulama Syiah terkemuka dan memiliki otoritas penuh untuk pembentukan konstitusi Islam,” tulis As’ad.
Sehingga dengan data-data seperti ini, patut ditanyakan kesefahaman seperti apa yang dimaksud Syiah Indonesia? Jika ingin membangun kesefahaman untuk berdamai dengan Ahlussunnah, maka Syiah harus terlebih dahulu menyelesaikan keanehan dan radikalisme ajaran para tokoh-tokoh mereka. Jika menolak dan apalagi membela para ulamanya tersebut, maka cukup rasional dikatakan bahwa tawaran untuk saling memahami dan berdamai tidak lebih dari retorika taqiyah belaka.
Tawaran damai dan saling membangun kesefahaman harus dimulai dari Syiah dulu, dengan membuang ajaran-ajaran penistaan, fitnah terhadap para Sahabat Nabi saw dan ulama’ yang termaktub dalam kitab induk mereka, baik yang klasik maupun kontemporer.
Selain itu, persoalan Syiah (termasuk di Indonesia) tidak bisa disederhanakan, misalnya Syiah ini perbedaan madzhab fikih. Di samping adanya perbedaan akidah, konsep imamah (kekuasaan mutlak baik secara politis maupun keagamaan harus di bawah para imam) di Syiah sangat rentan menjadi pemicu terjadinya benturan dalam kerangka Negara kesatuan Indonesia. Sebab, konsep imamah yang mutlak ini memiliki cita-cita untuk mewujudkan sebuah sistem pemerintahan Syiah. Sehingga, tawaran damai dan upaya membangun kesefahaman oleh Syiah makin sulit dinalar. []