Potret Mengerikan

Unas dan UN pada paragraf pertama di atas adalah kependekan dari Ujian Nasional. Ujian itu berupa ujian akhir yang harus dilalui setiap murid dengan sebaik-baiknya agar dapat dinyatakan lulus dari sebuah jenjang pendidikan, baik dasar maupun menengah.

Sayang, nyaris setiap tahun berita tentang pelaksanaan unas yang dipenuhi berbagai aksi kecurangan selalu terulang. Di tahun 2011, misalnya, negeri ini dihebohkan oleh apa yang disebut sebagai “contek massal”. Saat itu, di salah sebuah SD di Surabaya, atas ‘skenario’ yang dirancang gurunya sendiri, seorang murid yang dikenal pandai di sekolah itu diminta membocorkan kunci jawaban ke teman-teman sekelasnya.

Di unas tahun 2012 berbagai kasus kecurangan kembali terungkap. Modus yang paling banyak ditemukan adalah kunci jawaban yang beredar dari ponsel ke ponsel lewat SMS atau pesan pendek. Di Kediri, beredar kunci jawaban lewat SMS. Di kota ini, murid bisa membawa ponsel ke ruang unas, meletakkan di atas mejanya dan –astaghfirullah– bebas membuka-buka kunci jawaban yang ada di dalamnya. Di Jombang SMS berisi kunci jawaban juga beredar dan diyakini 66 persen benar. Di kota ini pun terjadi jual-beli soal dengan harga Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. Di Kota Mataram beberapa murid menyalin kunci jawaban yang mereka peroleh lewat SMS ke kertas kecil. Siapa pengirim SMS? Di Sidoarjo, pengirim SMS yang berisi jawaban itu adalah seorang guru (Jawa Pos 17/4/2012).

Rasanya, keprihatinan kita sudah di puncak yang tertinggi. Lihatlah proses sebelum hari pelaksanaan unas yang tampak sudah diusahakan sangat ketat! “Mantapkan Hati, Jangan Percaya Bocoran”. Itu judul berita utama Jawa Pos 16/4/2012 dan disertai foto besar yang menggambarkan seorang polisi mengawasi seorang pekerja yang sedang memeriksa kardus-kardus berisi soal-soal unas bertuliskan “Dokumen Negara” untuk didistribusikan.

Di edisi yang sama tapi di halaman berbeda, koran tersebut juga menurunkan feature berupa “Cerita dari Para Pencetak Soal Unas yang Enam Minggu Dikarantina” di salah sebuah percetakan di Surabaya. Sebelum bekerja mereka disumpah agar tak membocorkan soal-soal yang dicetaknya.

Bagi sebagian orang, kisah mereka yang dikarantina untuk waktu yang sangat lama itu cukup ‘heroik’. Hal itu -antara lain- karena pekerjaan tersebut mengharuskan mereka berpisah dengan keluarganya selama 40 hari. Dan, selama itu pula, mereka tak boleh berkomunikasi sama sekali dengan dunia luar.

Dua paragraf terakhir di atas menunjukkan bahwa sejak awal proses pembuatan soal unas sudah dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga kemungkinan bocor.

Unas yang dulunya cukup diurusi oleh guru dan petugas kependidikan lainnya, sekarang -kecuali memerlukan kehadiran polisi- ternyata di sejumlah sekolah juga menyediakan kamera pengintai untuk memastikan ada atau tiadanya kecurangan. Tentang ini, Republika 17/4/2012 menulis berita/ilustrasi seperti di bawah ini:

Terkait unas, ada polisi yang menjaga gudang berisi soal-soal. Ada polisi yang mengantar soal ke tujuan. Ada polisi yang menyamar di lingkungan sekolah. Di samping itu, ada sekolah yang sampai menggunakan kamera pengintai untuk berperan ‘mengawasi’ peserta unas. Misal, di SMAN I Cimahi ada 16 kamera pengintai. Sementara, di SMAN I Bogor, ada 40 kamera pengintai.

Kisah di atas terkait pelaksanaan unas SMA. Bagaimana dengan pelaksanaan unas SMA? Bacalah judul ini: “Beredar, Kunci Jawaban Unas” dengan sub-judul “Dua Siswa Tepergok Bawa Sontekan”. Dikabarkan, bahwa di Magetan, di hari kedua unas diwarnai beredarnya kunci jawaban yang tingkat kebenarannya nyaris 90% (Jawa Pos 26/04/2012). 

Membaca itu semua, kita tertunduk dan dengan lirih berkesaksian: mengerikan! Betapa besarnya ‘kekuatan’ yang harus dikerahkan untuk menegakkan kejujuran. Tetapi, hasilnya? Bocoran kunci jawaban mudah ditemukan. Murid saling contek banyak diberitakan. Guru tak maksimal dalam mengawasi telah menjadi rahasia umum. Mengecewakan!

Membaca semua praktik ketidakjujuran di sekitar unas itu, tampak bahwa sebagian dari kita terjebak ke dalam sikap “menghalalkan segala cara”. Agar lulus, murid berbuat curang. Supaya mendapat penilaian baik (yaitu siswanya lulus semua), guru membiarkan muridnya mencontek. Bacalah Metropolis-Jawa Pos 18/4/2012 dengan berita utama: “SMS Jawaban Unas Meluas”. Sub-judul dari berita itu: “Pengawasan Longgar, Siswa Leluasa Menyontek”.

          Memang mencemaskan! Ketidakjujuran berlangsung di berbagai aspek kehidupan kita: sosial, politik, dan –astaghfirullah– juga di pendidikan. Khusus di dunia pendidikan, sesungguhnya praktik ketidakjujuran murid bukan hal yang baru. Pada paruh terakhir 2008, banyak sekolah yang mendirikan Kantin Kejujuran (KK). Sebagaimana kantin pada umumnya, KK adalah sebuah tempat di sekolah yang menjual makanan dan minuman. Tapi, hal pokok yang membedakan KK dengan kantin biasa adalah tiadanya penjaga kantin atau kasir sehingga si pembeli bisa mengambil sendiri makanan dan minuman yang diinginkannya, lalu menyelesaikan sendiri pula pembayarannya. Si pembeli meletakkan uang tepat sejumlah rupiah yang harus dibayarkannya di kotak uang. Jika uangnya lebih besar daripada harga yang harus dia bayar, uang kembali dia ambil sendiri dari kotak uang itu.

Pendek kata, KK diniatkan sebagai ajang pembelajaran bagi generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri. Diharapkan, kegiatan itu pada akhirnya akan bermuara kepada lahirnya generasi yang menghormati kejujuran sekaligus memunculkan generasi antikorupsi.

Di saat-saat awal pendiriannya, disadari bahwa KK akan merefleksikan tabiat para murid yang ada di sekolah itu. Jika KK tak bertahan lama karena bangkrut, bisa dipastikan murid di sekolah itu tak berlaku jujur. Sebaliknya, KK akan semakin maju saat semua murid memegang tinggi asas kejujuran dalam kesehariannya. Lalu, bagaimana faktanya di kemudian hari?

Sekitar setahun setelah pencanangan KK, www.aksindo.org 5/9/2009 menulis bahwa “80% Kantin Kejujuran Bangkrut”. Disebutkan bahwa dari 617 KK di Kota Bekasi yang diresmikan Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin pada Oktober 2008, tinggal 20 persen yang tetap eksis. Sebanyak  80 persen tutup akibat bangkrut karena ketidakjujuran pembeli. Lalu, situs www.neraca.co.id 17/7/2011 menurunkan judul “Kantin Kejujuran Banyak yang Bangkrut”. Dikabarkan bahwa banyak Kantin Kejujuran yang tersebar di Jawa Barat yang bangkrut.

Di Jogjakarta juga mirip. Di kota ini beberapa kantin kejujuran juga perlahan mati karena kondisinya terus merugi. Kepala Dinas Pendidikan Kota Jogja, Edy Heri Suasana menyatakan bahwa matinya beberapa Kantin Kejujuran di Kota Jogja terjadi karena perilaku jujur yang diharapkan dimiliki oleh para siswa belum sepenuhnya ada. “Kantin Kejujuran di Sekolah Mati karena Perilaku Tidak Jujur,” tulis

173 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi” (www.republika 23/04/2012). Dikabarkan, bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hingga 2012 ada 173 kepala daerah yang tersangkut berbagai kasus korupsi. Para kepala daerah itu tersangkut dengan berbagai status yang melekat pada mereka, mulai dari saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpidana.

Disebutkan, di Pulau Sumatera saja ada tujuh gubernur yang tersangkut kasus korupsi. Jika dilihat, dari provinsi yang ada di Sumatera, hanya Jambi dan Bangka Belitung (Babel) saja yang gubernurnya tidak tersangkut kasus korupsi.

Kecuali di Sumatera, gubernur di luar wilayah lain juga ada yang tersangkut kasus serupa. Sementara untuk tingkat Kabupaten/Kota, bupati dan walikota juga banyak yang terlibat.

One Comment

  1. geli sendiri lihat negeri ini…
    kapan bisa berubah (lebih maju)???
    mari kita renungkan sendiri…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *