“Tuhan Membusuk” dan Wajah PTAI

Oleh M. Anwar Djaelani

A_iain sbyInpasonline.com – Tuhan Membusuk. Itulah tema OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat – Universitas Islam Negeri (FUF-UIN) Surabaya. Publik bereaksi keras atas ketidakpatutan yang luar biasa itu. Rektor UIN Surabaya lalu meminta maaf. Tapi, sejumlah pihak tetap melaporkan kasus ini ke polisi.

 

Lagu Lama

Foto-foto OSPEK di FUF-UIN Surabaya (termasuk spanduk bertuliskan Tuhan Membusuk) beredar di masyarakat di sekitar akhir Agustus 2014. Gambar-gambar tak simpatik itu membuat publik terperangah terutama pada ungkapan Tuhan Membusuk.

Seperti yang bisa kita akses beritanya di media, banyak yang geram. Misalnya, Hartono Ahmad Jaiz –yang di tahun 2005 menulis buku ‘Ada Pemurtadan di IAIN’- menyatakan bahwa kalimat itu “Ditulis oleh orang yang tidak menggunakan otak, masih pula menolak kebenaran, sekaligus menghina Allah Ta’ala”. Tokoh lain yaitu Ketua Lajnah Majelis Mujahidin Indonesia -Irfan S Awwas- bilang bahwa ini “Membuktikan kegagalan dunia pendidikan mendidik generasi muda yang cerdas, berkarakter dan berakhlak mulia”.

Terkait kasus ini, Rektor UIN Surabaya -Abd A’la- menyatakan, “Kami atas nama UIN Sunan Ampel memohon maaf atas kejadian ini” (www.okezone.com 01/09/2014). Atas perkembangan ini, memang, memaafkan itu hal mudah. Tapi, bisakah kita mengambil pelajaran?

Sanksi yang menjerakan perlu didapat oleh semua pihak yang terlibat dalam OSPEK itu. Maka, Koordinator Forum Silaturrahim Pejuang Ahlus Sunnah wal Jamaah Garis Lurus -KH Lutfi Bashori (dari Malang)- melaporkan perkara ini ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Begitu juga, FPI Surabaya dan FPI Jatim melaporkannya ke polisi.

Tindakan penjeraan diperlukan, terlebih karena, pertama, hal yang serupa –yaitu bisa ‘menggoyang’ aqidah- juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Jawa Pos 03/09/2014 menurunkan kesaksian Ahmad Nizar, mahasiswa perbandingan agama UIN Surabaya. Bahwa –kata dia- di tahun sebelumnya mahasiswa baru dijejali kalimat “Selamat Datang di Kampus Tak Bertuhan”. Sebelumnya lagi, lanjut Nizar, ada kalimat “Tuhan-pun Aku Tantang”.

Terkait kemungkinan ancaman ‘goyangan’ aqidah ini, ada mahasiswa baru yang diminta mundur dari UIN Surabaya oleh orang-tuanya. Ceritanya, usai mengikuti OSCAAR (khusus di UIN Surabaya, OSPEK disebut OSCAAR yaitu Orientasi Cinta Akademik dan Almamater), mahasiswa itu pulang ke Tuban. Di rumah dia berbaju kaos OSCAAR yang bertuliskan Tuhan Membusuk. Dia-pun dimarahi sang bapak. “Saya dimarahi Bapak. Saya disuruh pindah (kuliah), pokoknya harus pindah,” ungkap dia. Dan, Sabtu 02/08/2014 dia langsung meninggalkan UIN Surabaya (www.hidayatullah.com 05/09/2014).

Kedua, ada ‘pengerdilan’ syariat. Bacalah tabloid Nurani September II, Tahun 2012, yang menurunkan judul: “Ada Pendangkalan Aqidah di OSCAAR IAIN”. Bahwa pada OSCAAR di IAIN (nama lama UIN) Surabaya, 3-5 September 2012, ada kejadian ini: a).Di susunan acara terjadwal waktu shalat dhuhur dan makan 1 jam. Kenyataannya, ada fakultas yang hanya memberi 15 menit. “Pilih shalat atau makan, terserah. Setelah itu harus kembali. Kalau tidak, dihukum,” ungkap seorang peserta OSCAAR. Tak sedikit yang lebih memilih makan ketimbang shalat. b).Saat adzan maghrib berkumandang, OSCAAR terus berlangsung. Bahkan, ketika shalat maghrib ditegakkan di Masjid Kampus yang tak jauh dari lokasi OSCAAR, mereka tetap ramai dengan yel-yel dan ledakan petasan. Saking kerasnya ledakan, ada mobil yang diparkir dekat lokasi alarm-nya berbunyi.

Ketiga, ada ‘demonstrasi’ akhlaq yang tak elok. Rupanya, kecuali kekerasan dalam bentuk pemikiran, ada juga peserta OSCAAR yang mendapatkan kekerasan bentuk lain. Seorang mahasiswi jurusan perbandingan agama mengaku disekap di sebuah ruang dan dibentak-bentak dengan perkataan kasar seperti ‘Kamu bodoh’ dan perkataan kotor lainnya. Itu terjadi karena dia berani membantah para senior yang membentak-bentaknya. “Saya berani melawan, karena saya dilindungi Undang-undang yang melarang OSCAAR yang seperti ini. Saya saat itu berpuasa, namun saya dianggap mengada-ada agar saya tidak diberikan sanksi,” kata dia. Ketika www.voa-islam.com menurunkan berita ini pada 01/09/2014, dia terbaring sakit dan mengalami gangguan psikis sehingga perlu perawatan intensif.

Kejadian di UIN Surabaya ini, mau tak mau, membuat kita ingat atas berbagai ‘lagu lama’. Banyak kisah sejenis di IAIN/UIN/STAIN yang lain. Sekadar untuk menyebut contoh, pada 2004, di Fakultas Ushuluddin IAIN Bandung, mahasiswa baru disambut slogan: Selamat bergabung di area bebas tuhan. Bahkan, Presiden Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat berteriak mengajak: “Kita dzikir bersama, anjing-hu akbar!”

Lalu, bagaimana dengan dosen-dosennya? Ini, antara lain contohnya: Di UIN Surabaya, pada 2006 (saat masih bernama IAIN Surabaya) seorang dosen menginjak lafadz Allah dengan sepatu. Di STAIN Jember, pada 2012 seorang dosen menghapus lafadz Allah dengan sepatu. Kedua kejadian itu di ruang kuliah. Sementara, di UIN Jakarta sejumlah dosennya ‘berkampanye’ bolehnya pernikahan beda agama. Padahal, pada 1980 MUI telah memfatwakan haramnya pernikahan beda agama.

 

Dampak Serius

Kita layak menangisi semua ini. Di kampus Islam Tuhan dihina. Jika di kampus yang darinya kita berharap lahir ulama/pemimpin/tokoh Islam yang mumpuni dan ternyata pikiran dan sikapnya nyeleneh seperti paparan di atas, maka apa yang bisa kita dapatkan kecuali kehancuran? Lihatlah, mahasiswa yang baru masuk sudah dikondisikan untuk menghina Tuhan.

Atas semua itu, pertama, (para) penanggungjawab negeri ini harus segera bersikap. PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) kita sungguh sangat bermasalah. Adalah kesalahan yang tak terbayangkan besarnya jika membiarkan hal ini terus berlangung karena menyangkut rusaknya aqidah, berantakannya syariat, dan runtuhnya akhlaq.

Kedua, sejauh belum ada perubahan yang signifikan, para orang-tua harus berpikir serius atas dampak buruk yang akan terjadi sebelum merekomendasikan atau mengizinkan anaknya untuk belajar di PTAI seperti di IAIN, UIN, STAI, dan yang sejenisnya. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *