Ainul Yaqin
Inpasonline.com-Tujuan pendidikan nasional Indonesia telah dirumuskan sangat baik dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (SISDIKNAS) Pada pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan tersebut lengkap dan koprehensif, yang mencerminkan suatu keinginan dan harapan agar bangsa ini menjadi bangsa yang beradab, bangsa yang bermartabat, yakni bangsa yang tidak saja berilmu, cakap, dan kreatif, tetapi yang lebih mendasar dari itu adalah bangsa yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Rumusan ini sejalan dengan rumusan dasar negara Pancasila yang telah dibuat oleh para pendiri negara ini, yang meletakkan aspek ketuhanan pada sila pertama dan kemanusaan yang adil dan beradab pada sila kedua.
Beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia bila dilihat dari perspektif Islam adalah satu kesatuan. Iman adalah suatu keyakinan yang melekat dalam hati bahwa ada Dzat Sang Pencipta yang senantiasa mengetahui segala tingkah laku manusia, dan bahwa ada kehidupan sesudah mati yang disanalah segala yang dikerjakan di dunia harus dipertanggungjawabkan. Keyakinan inilah yang melahirkan taqwa yaitu sikap hidup yang senantiasa penuh kehati-hatian agar dapat senantiasa melaksanakan perintah dan mejauhi larangan Allah. Buah dari taqwa akan melahirkan perilaku spontan sesuai dengan tuntunan Agama. Perilaku spontan inilah yang disebut akhlak. Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang mampu mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan ini.
Sayangnya dalam implementasinya masih banyak ditemukan hal-hal yang belum searah dengan rumusan tujuan pendidikan seperti yang ada pada UU Sisdiknas tersebut. Dalam rumusan UU Sisdiknas yang telah disebutkan, pendidikan bersifat integratif antara aspek keimanan dan ketaqwaan, akhlak, pengetahuan kecakapan, kreatifitas, dan kemandirian, namun kenyataannya kurikulum pendidikan masih berkutat dari pandangan yang dikotomis terhadap ilmu. Ilmu agama dipisah dengan ilmu umum dan ilmu umum tidak dijiwai oleh agama. Pandangan dikotomis ini lebih lanjut diikuti dengan sikap minor terhadap pelajaran agama, suatu pandangan yang memposisikan bahwa agama bukanlah ilmu. Sikap minor berimplikasi pada munculnya sikap diskriminatif bahwa agama tidak menjadi ukuran untuk menentukan kelulusan siswa. Ini terjadi beberapa waktu lalu ketika ujian nasional menjadi ukuran yang sangat dominan dalam menentukan kelulusan siwa. Saat ini telah dikoreksi namun masih saja diskriminatif. Sikap diskriminatif ini sedemikian kuat mempengaruhi opini publik sehingga ketika ada sekolah yang menegakkan sanksi kepada siswa yang kedapatan melanggar moral seperti yang hamil diluar nikah, sekokah harus menghadapi serangan dan tuduhan telah melanggar HAM.
Masih berkaitan dengan cara pandang yang dikotomis, tanggungjawab untuk menginternalisasikan nilai-nilai agama termasuk akhlak seolah-olah hanya tanggung jawab guru agama. Implikasinya banyak guru bahkan dosen non mata pelajaran agama menjadi acuh dan masa bodoh terhadap tanggung jawab untuk menginternalisasikan nilai agama dan akhlak pada anak didik. Bahkan sudah sering terjadi oknum guru atau dosen yang perilakunya tidak patut menjadi teladan dari perspektif agama, misalnya ada dosen yang menjadi tokoh homoseksual tidak dianggap sebagai suatu masalah. Demikian pula ada guru yang terlibat selingkuh, bahkan tertangkap basah, hanya dipindah tugas saja.
Sikap yang mencerminkan belum diutamakannya pendidikan Iman dan Taqwa juga dapat dicermati pada tahap rekruitmen tenaga guru atau dosen yang hampir-hampir (untuk tidak mengatakan sama sekali) tidak mengindahkan aspek akhlak/agama. Padahal semestinya perhatian terhadap kriteria akhlak harus sudah dimulai sejak tahapan seleksi calon mahasiswa atau siswa sekolah guru.
Problem lain ada pada muatan materi pelajaran agama (Islam) yang cenderung direduksi hanya pada ritual, sementara hal yang paling mendasar yaitu masalah aqidah kurang menjadi penekanan. Selain itu, ada indikasi bahwa materi pendidikan agama secara terselubung kemasukan misi idiologi sekular liberal seperti ajaran yang menganjurkan bersikap toleran terhadap aliran sesat, menolak penerapan syariah dan sebagainya.
Hal yang semakin memprihatinkan justru terletak pada metode studi agama (Islam) terutama diperguruan tinggi. Studi Islam yang semestinya menjadi pondasi malah terhegemoni oleh metode studi Barat yang sekuler dan liberal.Akibatnya pendidikan Islam yang semestinya menghasilkan manusia-manusia yang bertaqwa, yang terjadi malah menciptakan orang-orang yang ragu pada ajaran agama sendiri.
Kasus yang baru-baru ini muncul merupakan contoh saja, sekelompok mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dalam rangka menyambut mahasiswa baru membuat spanduk yang dengan bangga menuliskan kalimat “Tuhan Membusuk”. Kasus serupa pernah terjadi beberapa waktu yang lalu, mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati Bandung membuat spanduk dengan menuliskan kalimat “Selamat Datang di Area Bebas Tuhan”. Koran Tempo memberitakan bahwa peristiwa ini terjadi saat acara OSPEK mahasiwa baru yang diselenggarakan tanggal 24-28 Agustus 2004. Pada salah satu sesi acara itu pula, enam mahasiswa melakukan orasi di hadapan 2.000 mahasiswa baru dan kembali memekikkan kalimat, “Selamat datang di area bebas Tuhan.” Kemudian, beberapa mahasiswa lain mengajak mahasiswa baru melakukan zikir, tetapi yang diucapkan bukanlah kalimah thayyibah namun kalimat yang melecehkan dzikir yakni ucapan “anjing hu akbar. Kata Anjing hu akbar dimaksudkan untuk melecehkan kalimah takbir Allahu Akbar.
Menanggapi munculnya kalimat-kalimat di atas,ada yang melakukan pembelaan bahwa hal itu merupakan bentuk kelatahan mahasiswa belaka. Bahkan ada yang mencoba membela dengan mengatakan bahwa secara akademik hal ini wajar-wajar saja bagi mahasiswa yang menempuh studi ilmu filsafat atau pemikiran Islam. Padahalharus disadari, kelatahan itu merupakan kelatahan yang serius yang tidak bisa dipandang remeh karena dapat mengeluarkan orang dari ikatan Islam (murtad). Jika yang bersangkutan tiba-tiba mati dalam keadaan murtad siapa yang yang berdosa.
Perlu ada pertanyaan kritis, apakah untuk memahami sebuah pemikiran filsafat agar obyektif mahasiswa harus diajak membebaskan diri dari agama terlebih dahulu.Pembenaran terhadap hal ini merupakan sesat pikir. Kenyataannya seperti yang disampaikan Syed Naquib Al Attas maupun Islami Al Faruqi, tidak ada pemikiran yang bebas nilai. Artinya tidak ada satupun pemikiran yang benar-benar obyektif. Ketika seseorang diminta untuk melepaskan diri dari ikatan dengan nilai tertentu untuk memahami suatu pemikiran, hakikatnya ia bukan menjadi obyektif, tetapi yang terjadi ia berpindah dari satu nilai ke nilai yang lain. Maka tidak sepatutnya seorang muslim dengan dalih agar obyektif, hurus melepaskan Islamnya dulu ketika belajar memahami pemikiran yang lain. Justru seharusnya ilmuwan muslim perlu terus mengasah agar mampu bersikap kritis terhadap pemikiran yang baru dan lembaga pendidikan Islam terutama perguruan tinggi seyogyanya memberikan fasilitasi kepada para mahasiswanya agar mampu membedah secara kritis berbagai pemikiran baru tersebut.
Ada pandangan yang salah kaprah yang muncul dari sindroma inferioritas lalu memposisikan Barat segala-galanya sehingga menganggap bahwa Barat mempunyai kelebihan dalam hal metodologi, sehingga dipandang tidak ada salahnya umat Islam mengadopsi metodologi tersebut.Pandangan seperti ini perlu dikritisi, sebab sebuah metodologi tidak bisa dilepaskan dari worldview. Metodologi lahir dari paradigma, sedangkan paradigma lahir dari woldview.Belajar dengan menggunakan cara-cara (metodologi) orientalis dengan menjadikan keraguan (doubt) sebagai sarana epistemologi untuk mencapai kebenaran tidak akan sampai pada kebenaran dan malah menjadi itelektual pecundang.
Sebuah contoh saja seorang intelektual muslim tanpa perlu menyebut nama di sini, dengan latah mengatakan bahwa al-Qur’an itu problematik dan otentisitasnya diragukan. Dengan bangga ia menyampaikan argumennya bahwa al-Qur’an itu dulu ditulis tanpa titik dan harakat dan baru di kemudian hari dibuatkan titik dan harakat. Lalu, katanya apakah tidak mungkin terjadi kekacauan misalnya kata yaqushshu (ص, ق, ي) dibaca yaqudhdhu (ض, ق, ي). Terhadap pernyataan si intelektual ini perlu ada pertanyaan balik apakah pernyataan si intlektual ini ilmuah. Tentu konyol menyebut pernyataan si intelektual ini ilmiyah karena ia hanya membebek dengan pernyataan orientalis Arthur Jeffery. Dalam bukunya Material for the History of the Tex of the Qur’an, Jeffery memang mengatakan bahwa kekurangan tanda titik dalam mushaf Utsmani merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna yang ia fahami.
Sarjana muslim yang intelektual sejati tidak sepantasnya hanya membebek dengan ucapan orientalis, tetapi sebaliknya ia akan bersikap kritis dengan pernyataan orientalis. Dengan memahamai secara teliti sejarah al-Qur’an, akan bisa ditemukan kelemaham logika Jeffery. Sejarah al-Qur’an membuktikan, sekalipun al-Qur’an awalnya ditulis tanpa ada titik dan harakat, tetapi transmisi al-Qur’an yang utama tidak berbasis pada tulisan, namun melalui pengajaran lisan oleh para qurra dan huffahz. Ketika Utsman mengirimkan naskah Mushaf Ustmani ke berbagai daerah tidak hanya berupa pengiriman naskah saja, tetapi diserta dengan pengawalan oleh para qari’. Maka sekalipun dalam naskah tidak tercantum titik dan harakat, pembacaan al-Qur’an tidak salah karena berbasis pada pembacaan lisan ini. Cara-cara kritis seperti ini yang semestinya ditanamkan pada para mahasiswa muslim, bukan malah sebaliknya.
Akhirnya sebagai penutup tulisan ini, melihat berbagai masalah yang bermunculan seperti krisis moralitas yang terus meluas dan massif, serta munculnya intelektual-intelektual bermasalah yang diakibatkan oleh penerapan sistem pendidikan yang bermasalah pula, maka sudah saatnya menata ulang kurikulum pendidikan nasional agar tidak justru semakin jauh dari tujuan yang telah di cita-citakan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam UU SISDIKNAS, mencetak manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Penulis adalah Peneliti InPAS, Anggota MUI Jawa Timur