Persemaian dari kekeliruan epistemologi tampak dari pengenalan metode sosio-historis. Efek domino dari pengenalan metode ini adalah perombakan kurikulum PTAI. Alih-alih merekonstruksi bangunan pemikiran Islam, perombakan kurikulum ini malah mencederai niat, tujuan serta semangat para pendirinya. Semenjak mata kuliah berepistemologi Barat semacam Perbandingan Agama, Hermeneutika dan Civic Education diajarkan, out put pemikiran yang dihasilkan oleh civitas akademika PTAI kontraproduktif terhadap Islam sebagai agama sekaligus peradaban.
Bersamaan dengan diperkenalkannya metodologi baru dan disiplin ilmu baru, maka keterlibatan civitas akademika PTAI terhadap isu-isu kontemporer seperti gender, HAM, dan demokrasi makin intens. Galibnya Islam menjadi kerangka atau basis pemikiran dalam merespon beragam isu kontemporer tersebut, namun yang terjadi justru sebaliknya; beragam isu kontemporer tersebut dijadikan paradigma berpikir dalam memandang Islam. Penelitian-penelitian yang dihasilkan dari pemikiran seorang sarjana PTAI mengambil tema-tema seputar “Menggugat Otentisitas Wahyu”, “Pendidikan Syari’ah Berbasis HAM”, “Dekonstruksi Syari’ah”, “Pendidikan Berbasis Gender”, dan lain-lain yang lebih banyak bertumpu pada kekuatan nalar metodologi Barat dibanding menetapi kebenaran yang dibawa syari’ah Islam. Seringkali dengan mengatasnamakan “kaidah ilmiah”, berbagai pelecehan terhadap syari’ah mewarnai perjalanan PTAI.
Pada tahun 1997 terbit sebuah buku dengan judul yang cukup provokatif Pengalaman Belajar Islam di Kanada. Arti penting buku ini dapat dilihat dari kata sambutan yang diberikan oleh otoritas setempat yakni Duta Besar RI untuk Kanada serta direktur Indonesia Canada Muslim Higher Education Project.
Ditulis oleh dosen-dosen IAIN yang tengah menempuh studi master serta doktoral di Kanada, buku ini sekaligus menjadi lambang supremasi Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia yang digagas oleh Munawir Sjadzali pada akhir 1980-an. Munawir melakukan pengiriman dosen-dosen IAIN secara besar-besaran ke Universitas McGill di Kanada untuk menimba Islamic Studies.
Isi buku tersebut memberikan gambaran yang centang-perenang bahwa memang terjadi reduksi bahkan dekonstruksi akidah yang disadari atau tidak disadari telah merubah paradigma berpikir para sarjana Muslim yang belajar Islam di Barat. Profesor-profesor mereka di Barat ingin membalikkan adagium “Islam adalah agama yang final dan benar”, sehingga mempelajari Islam sama saja dengan mempelajari sistem ajaran lain seperti Hindu, Budha, Marxisme, dan Kapitalisme. Diceritakan juga dalam buku tersebut bagaimana para sarjana Muslim senantiasa memaklumi kebebasan berpikir para profesornya yang dibungkus oleh konsep intellectual exercises.
Dari niat, tujuan, dan semangat para tokoh Islam dalam pendirian PTAI seperti yang termaktub dalam buku Sewindu Institut Agama Islam Negeri – Al Djami’ah Al Islamiyah al Hukumiyah “Sunan Kalidjaga” Jogjakarta 1960-1968 tampak keinginan kuat untuk memperjuangkan Islam. Dalam acara peringatan Sewindu IAIN tahun 1968, Mantan Menteri Agama K.H.M. Dachlan menyatakan bahwa pendirian PTAI pada permulaannya merupakan suatu cita-cita yang selalu bergelora di dalam jiwa para pemimpin bangsa yang didorong oleh hajat-kebutuhan terhadap adanya sebuah perguruan tinggi yang dapat memelihara dan mengembangkan ajaran-ajaran syari’at Islam dalam corak dan bentuknya yang murni bagi kepentingan angkatan muda, agar kelak di kemudian hari dapat menghasilkan ulama-ulama dan sarjana-sarjana yang benar-benar mengerti serta mampu mengaplikasikan hukum Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dengan kata lain, kampus berbasis Islam bukan didirikan untuk membentuk intelektual yang mengalami kesalahan berpikir, memiliki kesombongan intelektual serta kegelisahan akademik, seperti yang sudah dan tengah berlangsung sekarang ini.
Orientasi pendidikan yang berbasis syari’ah yang selama ini diperjuangkan oleh para pendiri PTAI pada awalnya memang menemui kendala terkait rendahnya kualitas mahasiswa. Terlebih lagi di era kontemporer, selain harus menguasai ilmu-ilmu keislaman, para mahasiswa juga dituntut untuk “berlari” mengimbangi kecepatan putaran roda globalisasi. Untuk alasan itulah maka lmu-ilmu praktis juga harus diberikan kepada mahasiswa PTAI. Rendahnya kualitas mahasiswa PTAI pulalah yang dijadikan alasan kuat bagi Munawir Sjadzali ketika mengadakan Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia, yang dilanjutkan dengan masifikasi kerjasama PTAI dengan universitas-universitas lain di Barat. Namun, mengambil Islamic studies ke Barat pada kenyataannya bukan solusi tapi bagian dari masalah.
***
Saat hendak menggagas Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia, Munawir Sjadzali mengeluhkan rendahnya budaya ilmu di PTAI. Kemudian dia berpikir bahwa jika para sarjana Muslim ingin menikmati ketinggian budaya ilmu, maka mereka harus “menghadapkan wajah”nya ke Barat yang kuat budaya keilmuannya. Dia menginginkan terciptanya “ulama plus”, yakni dosen PTAI yang menguasai bahasa Arab dan Inggris sekaligus sehingga mampu menjawab tantangan zaman. Namun, obsesinya tersebut tidak diikuti oleh langkah yang tepat. Walhasil, yang didapatkan bukan “ulama plus” namun “ulama minus”, minus akidah. Mempelajari Islamic studies atau ilmu fardhu ‘ain sejatinya bukan ke Barat, tapi ke Timur-Tengah yang merupakan tempat diturunkannya agama Islam. Jika ingin studi ke Barat lebih baik untuk mempelajari ilmu fardhu kifayah seperti sains dan teknologi. Dari kesatuan ilmu farudhu ‘ain dan fardhu kifayah ini akan diperoleh kesatuan ilmu yang mampu mencetak individu Muslim yang paripurna.
Oleh karena itu, menerapkan program Islamisasi ilmu pengetahuan dalam kurikulum merupakan sebuah keniscayaan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi PTAI. Caranya yaitu dengan memasukkan mata kuliah agama Islam pada fakultas umum dan memasukkan mata kuliah umum pada fakultas agama Islam. International Islamic University (IIU) Islamabad di Pakistan merupakan salah satu contoh bagus dari penerapan sistem semacam ini.
Di IIU Islamabad kurikulum fakultas umumnya juga diajarkan mata kuliah Islam and Modern Technology, Computer Application in Qur’an and Hadith, Islamic Economics, Comparative Financial Management An Islamic Perspective, Environment in Islamic Perspective, Commercial Law in Islam, dan sebagainya. Proyek Islamisasi ini berkesuaian dengan visi misi IUU Islamabad, yakni menciptakan pola pikir intelektual Muslim dan membangun pondasi dasar sarjana-sarjananya dalam hal ideologi, moral, sosial, ekonomi, dan teknologi dengan mengacu pada prinsip dan nilai-nilai dasar Islam serta menciptakan metode pengajaran Islami di era modern.
Wallahu alam bishshawwab
*Penulis adalah peneliti di Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya