Perlukah Membela “Tuhan Membusuk”?

Written by | Opini

Oleh: Akhmad Rofii Damyati*

10419423_756718411055065_1459083076992169656_nInpasonline.com-Kontroversi tema Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,yang digelar pada 28 hingga 30 Agustus lalu, kian menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Kecaman yang mengalir dari masyarakat, mau tidak mau memunculkan pembela-pembela yang menafsirkan judul tersebut.

Paling tidak Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas (Dema F), Rahmat, turun tangan menjelaskan maksudnya. Katanya, ‘Tuhan Membusuk’ yang dimaksud dalam tema Ospek Maba 2014 yang digelar fakultasnya, bukan Tuhan Zat Yang Esa, melainkan Tuhan-Tuhan yang tumbuh dalam diri manusia tanpa sadar menimbulkan kemusrikan (Musrik Mutasyabihat). Demikian penjelasan Ketua Dema Fakultas Ushuluddin sebagaimana dilansir www.merdeka.com per tgl.1 September 2014.

Sementara, di tempat yang lain, Jawa Pos edisi Jumat (05/09) menurunkan opininya yang berjudul “Memaknai Tuhan Membusuk” oleh Masduri, salah seorang akademisi teologi dan filsafat Fak Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Penulis artikel ini seakan bertindak sebagai juru bicara panitia, ia membeberkan tafsirannya dan menganggap panitia sudah dalam tindakan yang benar. Sebaliknya, ia menyalahkan pihak-pihak yang mengkritik atau mengecam judul tersebut.

Sejauh penilaian penulis, judul OSCAAR itu memang problem dan sangat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serius.Untuk menilai itu, sebenarnya, tidak diperlukan teori-teori yang rumit, cukupkita perhatikan, sebagai contoh“A telah membusuk”.Kalau subyeknya (“A”) diganti dengan, umpamanya: KH Hasyim Asy’ari, Gus Dur, Jokowi, Pancasila atau Indonesia, niscaya akan berimplikasi dan berkonsekuensi serius, dilihat berbagai sisi.

Seumpama kita melihat perilaku banyak orang di NU atau Muhammadiyah (sebagai contoh) yang korupsi atau melakukan kekerasan atas nama agama, apakah lantas bisa kita katakan NU membusuk atau Muhammadiyah telah mati? Mau berdalih bahwa yang dimaksud spirit NU atau Muhammadiyahnya yang membusuk atau mati, tetap saja kita akan menuai kecaman banyak orang. Niat baik yang tidak disertai dengan ungkapan yang baik menjadi buruk. Begitu juga sebaliknya, niat jahat yang diungkapkan dengan kata-kata manis juga buruk. Sebaiknya, niat dan artikulasinya haruslah sesuai.

Kasus seperti ini menggambarkan kurangnya ilmu (lack of knowledge) dan hilangnya adab (lost of adab). Ilmu yang semestinya memberikan penjelasan atas kebenaran (tabyin) malah menjadikannya kabur (talbis). Kata Tuhan menjadi kabur maknanya, tidak jelas referensinya. Para pembelanya mengatakan yang membusuk itu nilai-nilai ketuhanannya, bukan Tuhannya. Atau mencipta Tuhan-Tuhan baru dalam diri manusia yang tanpa sadar menimbulkan kemusrikan, katanya.

Padahal jelas-jelas tertulis kata Tuhan tanpa tanda apa-apa. Seandainya diberi tanda petik (‘…’), orang bisa memaklumi, ada maksud tertentu di sana. Kalau memang tujuannya untuk mengkritik orang-orang yang membusukkan ajaran agama, sebagaimana diklaim para pembelanya, maka sudah semestinya mengartikulasikannya secara tepat, apakah dengan istilah ‘pembusukan Tuhan’, ‘pembusukan nilai-nilai ketuhanan’ dan lain sebagainya. Itu lebih bijak (sophy) dari pada serampangan memilih kata-kata tanpa ilmu dan adab.

Ketidakmampuan memilih kata-kata yang tepat dan akurat menimbulkan hilangnya adab yang ditandai munculnya kata-kata yang sarkasme, apalagi kepada Tuhan. Hilangnya adab seperti ini biasa dianut pada ajaran post-modernisme. Ajaran anti nilai, anti kemapaman, subyektivisme, relativisme merupakan nadi yang sulit lepas dari post-modernisme. Bagi penganutnya, nilai pada kata-kata, ungkapan, proposisi, itu tidak penting. Yang terpenting bagi mereka substansinya (substantialism). Padahal secara ontologis, akurasi kata-kata itu mewakili substansi.

Oleh karena itu, penganut paham posmo (singkatan dari post-modernisme) biasanya suka bersikap nihilis model Friedrich Nietzsche yang mengatakan ‘tuhan telah mati’ (Bahasa Jerman: Gott ist tot). Namun Nietzsche memang nihilis sejati, tidak setengah-setengah seperti penafsir judul tersebut. Tidak heran kalau pada thn 1865-an ia menulis surat kepada saudara perempuannya Elisabeth, seorang yang religius, tentang keimanannya yang kosong. Ia menulis:

“Hence the ways of men part: if you wish to strive for peace of soul and pleasure, then believe; if you wish to be a devotee of truth, then inquire…” (Schaberg, William (1996), The Nietzsche Canon, University of Chicago Press, p. 32).

Jadi ungkapan ‘Tuhan telah mati’ yang ia gaungkan memang berangkat dari ke-ateis-annya. Jadi jika para pembela “Tuhan Membusuk” berdalih bermaksud mengkritisi busuknya nilai-nilai ketuhanan dari manusia, dengan merujuk kepada ungkapan Nietzsche, maka ini ada ketidaksempurnaan dalam memahami konteks dunia Nietzsche. Jangankan ingin kritik membangun, justru mengundang kebingungan baru bagi semua kalangan.

Karena mementingkan subyektivismenya, kaum yang anti nilai seperti mereka memaksakan penafsirannya sendiri. Yang penting bagi mereka substansi yang ada dalam benaknya itu yang benar, biarpun uangkapannya keliru tidak pernah peduli walau seribu orang lain mengatakannya salah.

Terlihat terlalu memaksakan dalam membela, ketika kasus judul ‘Tuhan Membusuk’ ini, dianggap cuma dibesar-besarkan oleh pihak-pihak tertentu, dengan alasan itu konsumsi internal mahasiswa bukan untuk umum. Padahal kalimat ‘Tuha Membusuk’ itu menjadi grand tema OSCAAR yang tersebar kemana-mana, termasuk kaos OSCAAR pun yang dibagi-bagikan kepada semua mahasiswa berterakan ‘Tuhan Membusuk’, seperti diberitakan http://www.hidayatullah.com (05/09). Diberitakan, salah satu orang tua siswa yang melihat kaos anaknya berterakan judul itu marah dan memintanya pindah kampus saja. Jika demikian adanya, judul itu memang disengaja disebarkan ke mana-mana.

Dikatakan, kebanyakan pengkritik terhadap judul itu hanya mengambil sepotong, ‘Tuhan Membusuk’. Sementara sub temanya tidak disertakan. Penulis berpendapat, biarpun sub tema, ‘Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan’, tetap saja lemah untuk menutupi kata-kata sarkasme pada grand temanya.

Jadi, hemat penulis, karena memang judul OSCAAR UIN Sunan Ampel itu sangat problem, maka membelanya juga akan menimbulkan problem. Sehingga tidak perlu juga pihak-pihak tertentu yang secara berlebihan membelanya tanpa juga menjelaskan problem-problemnya.

Penulis adalah Ketua STIU Al-Mujtama’ Pamekasan dan Kandidat Doktor bidang Filsafat dan Ilmu-Ilmu Agama di Süleyman Demirel Üniversitesi, Turki.

Last modified: 21/09/2014

One Response to :
Perlukah Membela “Tuhan Membusuk”?

  1. Masduri says:

    Yth.
    Akhmad Rofii Damyati
    Ketua STIU Al-Mujtama’ Pamekasan dan Kandidat Doktor bidang Filsafat dan Ilmu-Ilmu Agama di Süleyman Demirel Üniversitesi, Turki.

    Senang sekali tulisan saya “Memaknai Tuhan Membusuk” di Jawa Pos direspon oleh kandidat Doktor Filsafat. Saya ingin memberikan respon ulang secara sederhana: Tuhan adalah Zat Mahasuci yang juga Mukhalafatuhu Lilhawaditsi, maka saya berharap Tuhan tidak dianalogikan sama dengan manusia, seperti dalam tulisan ” sebagai contoh“A telah membusuk”. Kalau subyeknya (“A”) diganti dengan, umpamanya: KH Hasyim Asy’ari, Gus Dur, Jokowi, Pancasila atau Indonesia, niscaya akan berimplikasi dan berkonsekuensi serius, dilihat berbagai sisi”. Bagi saya pandangan ini hendak mengarahkan bahwa Tuhan kira-kira sama dengan manusia, jika Tuhan dianggap membusuk maka Kemahasucian Tuhan akan hilang, atau kira-kira Tuhan akan murka seperti halnya manusia. Bagi saya tidak begitu bapak kandidat doktor filsafat, Tuhan tidak bisa didekti manusia. Tuhan yang dipersepsikan oleh mansuia itu bukan Tuhan. Sebab Tuhan Mukhalafatuhu Lilhawaditsi. Jadi tak ada satupun makhluk yang bisa menggambarkan atau memberikan persepsi tentang Tuhan. Bahasa etis atau adab, itu adalah bahasa manusia. Bahasa etis Tuhan itu tidak sama dengan manusia, atau lebih tepatnya, saya tidak bisa menjawab apakah Tuhan juga memiliki bahasa etis atau tidak, atau ada bahasa lain bagi Tuhan, saya tidak bisa menjawab, sebab Tuhan tak bisa dipersepsikan oleh manusia, Tuhan itu berbeda dengan manusia. Tuhan adalah Zat Yang Mahasegalanya.

    Tentang kritik Bapak Akhmad Rofii Damyati (kandidat doktof filsafat) dalam memahami Nietzsche, saya juga ikut-ikutan bingung, saya sudah mendengar dari banyak pakar filsafat, bahwa kematian Tuhan dalam bahasa Nietzsche, itu bukan kematin Zat Tuhan, melainkan hanya kritik atas kematian nilai-nilai ketuhanan dalam hidup. Penasan dengan itu, saya juga membaca buku-buku dan sumber-sumber lain terkait bahasa Nietzsche tersebut, jawabannya sama. Barangkali Anda sudah membaca Thus Spake Zarathusra, atau dalam versi bahasa Indonesia diterjemah menjadi Sabda Zarathusra. Jika sudah membacanya, lalu mengapa Anda berkesimpulan berbeda dengan yang lain? Barangkali Anda juga perlu membaca ulasan tentang Gott ist tot dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_sudah_mati. Jika Anda masih merasa benar, barangkali tulisan tersebut perlu direvisi dan diganti dengan pandangan Anda tentang Gott ist tot Nietzsche. Saya kira wikipedia dibaca banyak orang, bila ulasan itu keliru pasti sudah sejak lama direvisi. Lalu yang bingung dan membingungkan siapa?

    Sebagai akademisi teologi dan filsafat, saya tetap menyampaikan terima kasih banyak dan penghormatan yang tinggi, atas dialektika keilmuan yang Anda hadirkan. Terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa persepsi tentang kebenaran itu jamak, tidak ada yang menjamin kebenaran itu, kecuali keyakinan masing-masing pribadi di antara kita. Maka tugas manusa adalah menghadirkan penghargaan yang tinggi atas kebebasan berpikir.

    #Salam
    MASDURI
    Mahasiswa Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *