Kehendak Tuhan Islam VS Tuhan Yunani
Atau ada juga yang percaya Tuhan seperti Empedokles tapi dengan pemahaman Tuhan yang berbeda dengan Islam. Konsep Tuhan dalam Yunani dikenal dengan “unmoved mover” yaitu penggerak yang tidak bergerak. Meski mereka mengakui adanya Tuhan, namun kehendak Tuhan tidak mutlak.
Berbeda dengan islam yang meyakini bahwa kehendak Allah itu mutlak adanya. Gagasan mengenai kehendak (masyi’ah) banyak sekali diterangkan dalam al-Qur’an. Allah seringkali menegaskan diri-Nya mempunyai masyi’ah dalam hubungan-Nya dengan manusia. Misalnya, “Dia menurunkan kemuliaan-Nya kepada hamba yang dikehendaki-NYa.” (Al-Baqarah:90). Selain ayat ini masih banyak lagi ayat yang menerangkan tentang kemutlakan kehendak Allah. Diantaranya surat al-Baqarah: 253, Ali Imron:40, Al-An’am:112, Yunus: 99, Hud:118 dan banyak lagi lainnya.
Ayat-ayat di atas dan semisalnya menunjukkan penolakan terhadap orang atau kelompok yang menafikkan kehendak Allah secara keseluruhan serta menafikan kehendak Allah dari perbuatan, gerakan, petunjuk, dan kesesatan manusia.
Suatu ketika Allah Azza wa Jallah memberitahu bahwa semua yang ada di alam ini menurut kehendak-Nya. Pada kesempatan yang lain juga mengatakan bahwa apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi. Selain itu juga memberitahu bahwa jika Dia menghendaki, niscaya menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah ditaqdirkan dan ditulis-Nya. Jika Dia menghendaki, niscaya tidak akan ada orang yang durhaka kepada-Nya dan dijadikan semua umat manusia ini menjadi satu umat.
Keterangan tersebut menunjukkan secara jelas bahwa realitas kehidupan yang ada ini wujud menurut kehendak-Nya. Sedangkan apa yang tidak ada di alam ini dikarenakan tidak ada kehendak dari-Nya.
Itulah hakekat ketuhanan dalam Islam yang berbeda dengan Yunani. Dan itu pula makna kedudukan Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam. Tidak ada penciptaan, rezki, pemberian, larangan, kematian, kehidupan, kesesatan, petunjuk, kesejahetraan dan kesengsaraan kecuali setelah adanya izin dari-Nya. Dan semua itu bergantung pada kehendak-Nya. “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (al-Qashas 68)
Masyi’ah disebut sebagai sifat azali (tidak berawal) Allah tanpa diketahui bagaimana caranya. Semua perbuatan manusia itu terjadi dengan kehendak-Nya.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa kehendak itu adalah iradah Allah, sebagaimana firman-Nya,” Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (at-Takwir:29)
Ayat ini menjelaskan bahwa kehendak itu milik Allah dan tidak dimiliki oleh mahluk-Nya. Kehendak mahluk tidak pernah ada kecuali dikehendaki-Nya. Karena itulah Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mengatakan,’Apa yang dikehendaki Allah dan dikehendaki si fulan.’Tetapi katakanlah,’Apa yang dikehendaki Allah, lalu dikehendaki si fulan.” (HR Abu Dawud, Ahmad dalam Musnadnya)
Dalam dunia ini tidak ada keharusan dan tuntunan selain masyi’ah (kehendak) Allah SWT . Apa yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi, dan apa yang tidak, pasti tidak akan terjadi. Yang demikian itu merupakan universalitas tauhid yang tidak mungkin berdiri kecuali beredasarkan pada-Nya. Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa apa yang keberadaannya dikehendaki Allah pasti akan terjadi, dan apa yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh-Nya, tiada akan pernah terjadi.
Para Rasul yang diutus oleh Allah ke dunia ini juga diantaranya mengajarkan kepada manusia tentang sifat Allah satu ini. Nabi Syu’aib pernah berkata dalam firman Allah SWT yang artinya,” Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (Al-A’raf 89).
Demikian juga apa yang dikatakan Yusuf kepada orang tuanya: “Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapanya dan dia berkata: “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah(jika Allah menghendaki) dalam keadaan aman.” (Yusuf 99)
Begitulah sikap para Nabi memahami kehendak Allah, yang berbeda dengan para filosof Yunani.
Bantahan Terhadap Kelompok Rasionalis
Meski konsep tentang masyi’ah dalam islam sudah jelas, namun ada sebagian dari umat ini yang terpengaruh pemikiran filosof Yunani. Sebagai contoh, ada orang yang mengaku bahwa ia tidak percaya dengan kalimat “Seandainya Allah Menghendaki”.
Ia memberi contoh, sepasang suami istri yang hidup bersama selama bertahun-tahun, tidak akan punya keturunan jika keduanya tidak melakukan hubungan suami istri. Menurunya, punya anak atau tidak tergantung pada kehendak kedua orang itu,bukan kehendak Allah.
Logika dangkal ini sungguh menggelikan. Darimana ia tahu bahwa kehendak kedua orang itu berbeda dengan kehendak Allah. Apa karena si istri tidak hamil kemudian dikatakan bahwa kehendak Allah tidak berpengaruh pada mereka. Kalau ia meyakini seperti itu, berarti ia merasa lebih tahu daripada Allah tentang kehendak-Nya. Pikiran sempit ini tidak beda dengan logika yang dibangun oleh filosof Yunani.
Dalam melihat fenomena tersebut orang beriman meyakini bahwa kehendak kedua orang itu, yang tidak mau melakukan hubungan suami istri, tidak lepas dari kehendak Allah. Sebab kehendak Allah sifatnya mutlak berdasar keadilan dan kebijakan-NYa. Dan kehendak itu meliputi kehendak manusia. Derajat kehendak Allah jauh lebih tinggi dan besar dibanding kehendak mahluk. Kehendak kedua orang itu ada karena dihendaki oleh Allah. Jadi kalau kedua orang itu memilih sikap seperti itu, karena sudah dikehendaki oleh Allah.
Tidak sepatutnya seorang yang mengaku Allah sebagai Tuhan-nya mensejajarkan kehendak-Nya dengan kehendak manusia. Apalagi sampai menilai kehendak manusia itu mutlak, lepas dari kehendak Allah sebagaimana logika para folosof Yunani. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafutul Falasifah dengan tegas menjelaskan bahwa orang yang mengikuti logika para filosof Yunani dalam masalah ini, termasuk kafir. Semoga kita dijauhkan dari pemikiran yang sesat tersebut. Amin