Pertarungan antara yang haq dengan yang bathil akan berlangsung abadi. Maka, kita harus aktif melibatkan diri dalam pertarungan itu dengan memilih untuk selalu berada di barisan kaum beriman yang aktif bernahi-munkar dan beramar-ma’ruf. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah” (QS Ali-‘Imraan [3]: 110).
Pada 2/1/1970 Nurcholish Madjid menggagas sekularisasi lewat sebuah makalah berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Sejak itu, benih-benih liberalisasi pemikiran Islam tumbuh. Fenomena itu terasa makin berkibar mulai 2001, yang ditandai dengan besarnya dukungan dari sejumlah pihak (termasuk dari sejumlah media massa). Kalangan liberal –sebut saja begitu- aktif ‘menjual’ sekularisme, pluralisme, liberalisme, HAM (Hak Asasi Manusia), demokrasi, kesetaraan gender, dan lain-lain.
Terkait kesetaraan gender, misalnya, mereka nyatakan bahwa “Korban pertama jika syariat Islam ditegakkan adalah wanita”. Lalu, mereka kampanyekan “Pembangunan berwawasan gender”, “Politik berwawasan gender”, “Pendidikan berwawasan gender”, “Fiqih berwawasan gender”, “Tafsir berperspektif gender”, dan sebagainya. Intinya, mereka menolak hegemoni laki-laki.
Kini, seperti telah disebut di muka, telah hadir RUU KKG. RUU ini sudah mulai dibahas secara terbuka di DPR. Komisi VIII DPR yang membidangi masalah agama, sosial dan pemberdayaan perempuan mulai menjaring aspirasi publik.
Atas isi RUU tersebut, mulai terjadi aksi penolakan. Pada Ahad 8/4/2012, di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, diselenggarakan Tabligh Akbar “Menolak RUU Gender Liberal”. Kala itu, Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) -Bachtiar Nasir- mengajak umat Islam bersatu melawan faham liberalisme. “Kita sedang menabuh genderang perang melawan liberalisme dan isme-isme destruktif lainnya. Di antara faham-faham liberalisme itu, ada RUU gender yang hendak dipaksakan menjadi sebuah sistem di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,” gugat Bachtiar (www.hidayatullah.com 9/4/2012).
Di kesempatan yang sama, Dr. Ahmad Zain Annajah, lulusan Dirasat Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo, juga mengajak umat Islam bersatu melawan faham liberalisme. Ahmad Zain menggugat kelancangan aktivis gender liberal ekstrim yang berani melawan peraturan Tuhan. Dia bilang, “Yang berhak membuat peraturan, mestinya yang menciptakan. Karena yang menciptakan manusia adalah Allah, maka Allah-lah yang berhak membuat aturan. Bukan manusia. Sejak kapan DPR menciptakan manusia?”
Turut berorasi pada Tabligh Akbar itu Dr. Adian Husaini (dosen Program Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor), Henri Salahuddin, MA (pakar gender INSISTS), Jeje Zainuddin (Pakar Hukum Islam PERSIS), dan Muhammad Zaitun, MA (Ketua Umum Wahdah Islamiyah). Tampak hadir di acara itu antara lain Dr Marwah Daud Ibrahim (aktivis dan politisi) serta Asri Ivo (dulu artis, kini pegiat dakwah).
Sementara, di situs pribadinya –www.adianhusaini.com– Dr Adian Husaini menulis “RUU KKG dalam Perspektif Islam”. Dia katakan bahwa menyimak draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011, maka sepatutnya umat Islam MENOLAK RUU ini. Sebab, secara mendasar, berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam.
Kata Adian, kesalahan mendasar berawal dari definisi gender itu sendiri. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Definisi gender seperti itu -simpul Adian- keliru, tidak sesuai dengan pandangan Islam. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya. Ada peran yang berubah dan ada yang tidak berubah. Yang menentukan peran bukanlah budaya tetapi wahyu Allah, yang telah dicontohkan pelaksanaannya oleh Nabi Muhammad SAW. Ini karena memang Islam adalah agama wahyu, yang ajaran-ajarannya ditentukan berdasarkan wahyu Allah, bukan berdasarkan konsensus sosial atau budaya masyarakat tertentu.
Konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dari Allah sungguh beresiko, karena terkategori sebagai membangkang Allah.
Dalam konsep Islam, ada pembagian peran antara laki-laki dan wanita terkait tugas, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Sebagai contoh, di sebuah keluarga, suami (laki-laki) adalah pemimpin dan kepala keluarga. Dia berkewajiban mencari nafkah keluarga. Sementara, istri (wanita) adalah pemimpin di rumah saat suami berada di luar dan menjadi pendidik utama bagi anak-anaknya. Dalam hal ini, sekalipun perannya berbeda, tetapi di depan Allah keduanya sama.
Sungguh, menyelisihi secara sadar ketentuan Allah adalah sebentuk keangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum.
Jangan Tergoda!
Kita jangan terpesona dengan ‘jualan’ kaum liberal. Sebab, mereka tidak memandang bahwa ketaatan seorang istri terhadap suaminya adalah sebentuk ibadah kepada Allah.
Aktivitas perempuan sebagai istri pendamping suami dan pendidik anak-anaknya di rumah, oleh kaum liberal tidak dinilai sebagai sebentuk partisipasi dalam pembangunan. Tidak ada gambaran di kalangan kaum liberal, bahwa betapa bahagianya seorang Muslimah yang dengan niat menaati Allah dan Rasul-Nya menaati pula suaminya.
Jadi, sungguh, jangan tergoda dengan isu kesetaraan gender! Tolak RUU KKG! []