Oleh : Dr. Kholili Hasib
inpasonline.com-Pada Ahad 16 Juli 2023, JMMI kampus ITS (Institut Sepuluh Nopember Surabaya) mengadakan haul pertama (peringatan wafat) Habib Abu Bakar al-Masyhur al-Adni (selanjutnya dikenal dengan imam al-Masyhur), di Masjid Manarul Ilmi. Menghadirkan dua narasumber; Dr. Faisal Hamud an-Najjar dan Syekh Samih al-Kuhali. Kedua narasumber menjelaskan konsepsi fiqih tahawulat dalam menghadapi perubahan zaman dan tanda-tanda akhir zaman dalam perspektif Islam.
Imam al-Masyhur, wafat pada 27 Juli 2022. Ia seorang ulama asal Hadramaut Yaman. Sering pula mendapat julukan mufakkir. Karena memiliki gagasan baru yaitu kosep fikih tahawulat.
Dr. Faisal Hamud an-Najjar dalam seminar tersebut menjelaskan maksud fikih tahawulat. Yaitu pengetahuan untuk memahami perubahan-perubahan zaman dan tanda hari kiamat.
Habib Abu Bakar al-Masyhur al-Adni sendiri menjelaskan gagasan fikih thawulat dalam karyanya An-Nubdzah As-Sughra, yaitu pemahaman terhadap hal-hal yang telah, sedang atau akan terjadi dari perubahan dalam kehidupan manusia dan alam semesta, dan hal-hal baru dalam ilmu teoritis ataupun aplikatif, kebudayaan, kejadian dan fitnah di tahap-tahap kehidupan manusia secara umum dan kehidupan umat nabi Muhammad secara khusus hingga hari Kiamat (Habib Abu Bakar al-Masyhur al-Adni, An-Nubdzah As-Sughra, 16).
Faidah mengetahui fiqih ini adalah; mengetahui sikap yang benar dalam menyikapi berbagai fitnah yang timbul disepanjang masa, dengan berdasarkan nas-nas syariat. Konsep fikih akhir zaman bukan sekadar mempelajari tanda-tanda hari Kiamat saja, tetapi bagaimana mensikapi tanda tersebut menjadi suatu rumusan dan kaidah agar dapat bersikap benar di tengah perubahan-perubahan.
Pada seminar ilmiah di ITS lalu, muncul pertanyaan dan pernyataan menarik. Bagaimana implementasi fikih tahawulat di dalam kampus, di dunia akademik. Saya tertarik untuk merenungkan pertanyaan ini. Prof. Dr. M. Masyhuri sempat melemparkan isu integrasi yang sedang dibincangkan dosen ITS. Dalam benak hati, saya spontan mengatakan; isunya harus dibawa ke problem epistemologis terlebih dahulu. Saya langsung menyimpulkan, harus islamisasi bukan sekedar integrasi.
Sesuai dengan definisi fikih tahawulat yaitu memahami perubahan-perubahan, penyebabnya dan bagaimana sikap yang tepat. Adapun perubahan yang sangat mencolok di era modern adalah perubahan epistemologis dalam sains dan ilmu pengetahuan secara umum.
Penjelasan Habib Abu Bakar al-Masyhur al-Adni tersebut sangat penting direnungkan dalam konteks zaman sekarang. Gagasan fikih tahawulat Habib Abu Bakar mengajak umat Islam untuk “melek” terhadap setiap perubahan-perubahan pemikiran, keyakinan, kultur, budaya manusia setiap masanya.
Hampir setiap masa memiliki tantangan yang berbeda. Pada abad ke-3 H misalnya, umat Islam mendapatkan fitnah paham mu’tazilah. Lahirlah Imam Abu Hasan al-Asy’ari menangkis secara logis fitnah mu’tazilah. Abad ke-5 H, sisa-sisa pemikiran mu’tazilah masih hidup bahkan berkembang. Para ahli falsafah (falasifah) yang dipengaruhi falsafah paripatetik memiliki pengaruh sangat kuat. Khususnya para cendekiawan baik yang sunni maupun yang mu’tazilah. Muncullah Imam al-Ghazali. Menulis kitab Maqashid Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Pemikiran umat menjadi normal kembali.
Pada zaman modern, perubahan-perubahan dalam bidang sains dan pemikiran terjadi sangat pesat. Pengaruh dalam dunia Islam sangat serius. Perkembangan itu diikuti pergeseran-pergeseran pemikiran. Baik pemikiran akidah, fikih, maupun akhlak.
Di zaman modern, sekularisme sebagai program falsafat harus dipahami secara kritis. Seperti dijelaskan oleh Prof. Syed Muhammad Naqib al-Attas (Prof. Al-Attas) sumber munculnya modernisme sebetulnya buah dari gerakan sekularisasi sebagai program filsafat.
Sekularisasi menggeser sistem pemikiran Islam yang telah pakem yang berbentuk elemen-elemen worldiview Islam. Sistem pemikiran tersebut mengeser konsep-konsep kunci dalam aqidah seperti konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep Nabi, konsep alam, konsep manusia, konsep ilmu, konsep kebahagiaan, dll.
Karakter utama pemikiran modernisme adalah; menghilangkan makna ruhani dari alam kejadian, membuang metafisika, menggeser dan membongkar struktur pemikiran Islam, dan penyamarataan manusia.
Modernisme bertumpu kepada fisika, tidak pada metafisika. Tumpuan ini merupakan hasil dari pemikiran menghilangkan makna ruhani dalam alam.
Akibat selanjutnya adalah ilmu pengetahuan itu terbatas kepada sumber rasional dan sumber inderawi. Paham penyamarataan manusia merupakan pandangan bahwa otoritas manusia dalam ilmu, etika dan agama sama.
Dalam konteks masalah ketuhanan (ilahiyyat), maka cara pandang menghilangkan makna ruhani pada alam kejadian ini, memastikan hukum sebab-akibat di alam dengan menghilangkan qudrah Allah dalam pengaturan alam kejadian. Sehingga, metodologi sains tidak pernah menyertakan peran Tuhan dalam kejadian-kejadian saintifik. Sains menghilangkan konsep Tuhan.
Ilmu pengetahuan dan sains modern sejatinya tidak netral. Karena falsafah sainsnya mengandung paham sekularisme. Spirit sekular yang telah mencengkram dan merajut dalam setiap sendi kehidupan manusia dan ilmu pengetahuan.
Narasi modernisme juga menggeser dan membongkar tradisi dalam Islam seperti; tradisi fiqih, hadis, tafsir, tasawuf, kalam, mantiq, filsafat Islam dan lain-lain. Beberapa pemikir kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, dan lain-lain menuduh bahwa tradisi-tradisi tersebut menciptakan kejumudan pemikiran Islam. Pemikiran tokoh-tokoh ini begitu popular di kalangan akademisi dan intelektual Muslim zaman ini.
Setidaknya beberapa karakter utama pemikiran modernisme yang harus dipahami. Kritis terhadap turath Islam. Ada yang kritis terhadap turats fiqih, tafsir, tasawuf dan kalam. Ada yang kritis terhadap turats utama; al-Qur’an dan hadis.
Memahami perubahan-perubahan pemikiran zaman modern ini tidak mudah. Para intelektual Muslim, ulama dan pendidik perlu mempelajari secara serius. Sebab, menjawab perubahan pemikiran ini serta solusi dan menentukan sikap yang tepat menuntut untuk memiliki pengetahuan yang anlitis, mendalam dan filosofis.
Terkait dengan itu, ada empat langkah yang diperlukan para cendekiawan dan akademisi; identifikasi, isolasi, integrasi, islamisasi. Produk akhirnya adalah islamisasi. Boleh juga disebut normalisasi ilmu pengetahuan dan pemikiran setelah adanya sekularisasi.
Identifikasi merupakan langkah pertama. Menemukan elemen-elemen baru termasuk konsep-konsep kunci yang bersemayam di dalam tubuh ilmu yang tidak sesuai dengan nilai Islam. Isolasi adalah membebaskan elemen-elemen serta konsep-konsep kunci yang asing itu yang tersemat-semayam di dalam ilmu. Setelah bebas dari konsep-konsep sekular, maka dilakukan internalisasi konsep-konsep kunci Islam yang sesuai dengan subjek ilmu pengetahuan. Langkah ini dapat disebut integrasi. Langkah terakhir, islamisasi yaitu memformulasi konsep-konsep kunci ke dalam disiplin inti ilmu pengetahuan.
Mempelajari problematika epistemologi pemikiran dan falsafat pemikiran modern dalam konteks fikih tahawulat ternyata sangat penting. Maka, fikih tahawulat yang digagas oleh Habib Abu Bakar al-Masyhur al-Adni ini harus disokong dengan pengkajian epistemologi. Agar faidah dan implementasinya dirasakan lebih meluas dari berbagai kalangan. Khususnya di dunia akademik dan ilmu pengetahuan yang memiliki pengaruh cukup besar bagi mengarahkan model pendidikan Islam di era modern.
Bangil, 17 Juli 2023