Umat Islam Ramah sekaligus Tegas

Tulisan Mundzar Fahman  berjudul “Kekerasan atas Nama Agama dan Ukhuwah” di halaman opini Jawa Pos 25 April 2012 tidak sepenuhnya menyajikan konsep kebebasan berkeyakinan. Bahkan, bukan saja masih kabur tapi juga tidak tepat menulis contoh sikap lemah lembut Nabi. Selain itu, nahi munkar terhadap Ahmadiyah – aliran yang sudah jamak diketahui melakukan penistaan terhadap Islam – sepertinya dinilai  sebagai bentuk kekerasan atas nama agama dan tidak toleran.

Lembut tapi Tegas

Kita harus hati-hati dan proporsional menyikapi. Kekerasan membabi buta adalah kriminil tapi bukan berarti Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap  penistaan agama. Terhadap aliran sesat, Islam memiliki aturan yang adil. Memang ada perintah bersikap ramah namun diperintah pula bersikap tegas. Dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad SAW pernah merobohkan masjid Dhirar yang dibangun oleh Abu ‘Amir Ar-Rahib.

Nabi SAW harus bertindak tegas, sebab masjid Dhirar dibangun dengan tujuan untuk menghasut umat Islam, membela kaum kafir dan berefek memecah belah para Sahabat. Rasulullah SAW pun mengirim beberapa orang untuk meruntuhkan masjid itu menjelang kedatangan beliau di Madinah.

Peristiwa itu direkam dalam al-Qur’an: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (QS. al-Taubah: 107).

Rasulullah SAW tidak mungkin membiarkan penyimpangan itu yang bisa mamantik perpecahan umat Islam. Pertimbangannya dua hal penting; Abu ‘Amir Ar-Rahib berpotensi melakukan penyesatan massal dan memancing permusuhan.

Yahudi bani Quinuqa’ dan bani Nadzir pernah diusir oleh Nabi Muhammad SAW dari Madinah. Gara-garanya, mereka mengkhianati perjanjian. Bahkan, beberapa orang Yahudi dari bani Quraidzah dieksekusi karena ganasnya mereka memusuhi dan mengancam fisik para sahabat. Kecuali wanita dan anak-anak, mereka dilindungi dan diperlakukan dengan lembut (Sirah Ibn Hisyam jilid 3). Beberapa di antara mereka juga dibiarkan hidup bebas di Madinah karena tidak tersangkut pengkhianatan. Nabi SAW dan para sahabat pun melindunginya. Ada pula yang masuk Islam seperti Amr bin Sa’ad. Amr tidak termasuk kelompok yang melanggar perjanjian. Ia melarikan diri dari kaumnya dan mendapat perlindungan dari Nabi (Ibn Hajar, Fathul Bari  jilid 7 penjelasan hadis no. 475).

Profil Abu Bakar al-Siddiq yang terkenal lembut dan ramah pernah bertindak tegas. Pada masa menjadi Khalifah pertama, nabi-nabi palsu seperti Tulaihah dan Musailamah diperangi. Musailamah terbunuh oleh seorang budak bernamaWahsyi atas perintah khusus Abu Bakar. Nabi-nabi palsu ini diperangi karena melakukan penyesatan opini dan menantang kaum muslimin.

Abu Bakar memang terkenal ramah dan rendah hati, namun beliau tidak lemah menyikapi pelecehan agama. Seorang Yahudi bernama Finhas pernah dipukul oleh Abu Bakar karena Finhas memperolok-olok Allah SWT. Di depan beliau, Finhas mengejek sambil berkata: “Bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia yang  memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya,  tetapi  Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak  memerlukan-Nya”. Sontak Abu Bakar memukul sekeras-kerasnya.

Tegas itu Juga Rahmah

Kisah-kisah ketegasan Nabi SAW dan para sahabat memberi inspirasi kepada umat Islam. Bahwa konsep rahmahtan lil ‘alamin tidak selamanya berisi perkataan lembut terus, namun juga tegas. Sikap tegas dilakukan jika berpotensi memantik konflik sosial dan membuat penistaan terhadap ajaran-ajaran sakral, demi melindungi keyakinan Islam yang suci.

Apa yang dilakukan Nabi SAW yang mengusir orang Yahudi, merobohkan masjid Dhirar dan Abu Bakar yang memerangi orang-orang yang menghina agama tidak dilakukan berdasarkan kebencian dan nafsu. Beliau juga tidak serta merta tanpa prosedur sebelumnya. Diberi peringatan terlebih dahulu dan diminta taubat kepada Allah SWT. Setelah itu baru ditindak. Sikap ini tegas, bukan keras.

Hal tersebut dilakukan karena Nabi SAW dan Abu Bakar mencintai umatnya. Menyelamatkan dari siksa neraka kelak lebih diprioritaskan daripada membiarkannya dengan tenang dalam kesesatan. Seorang ibu yang sayang kepada anaknya terkadang perlu sekali-kali menjewer anaknya jika si anak bandel bermain-main api yang bisa membahayakan fisiknya. Biar si anak jera, setelah berkali-kali dilarang. Ketegasan Nabi SAW dan Abu Bakar juga memberi pelajaran kepada musuh yang lainnya agar tidak meniru jejak kelompok yang membangkang. Di sini artinya, Nabi SAW masih sayang kepada musuh lainnya agar tidak ikut terjebak kepada kesesatan.

KH. Hasyim Asy’ari – pendiri NU – mewajibkan untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Qur’an, dan sifat-sifat Allah SWT, dan memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak  (al-Tibyan, hal. 33). Kyai Hasyim menyeru bukan karena benci kepada para penista agama itu, justru sayang kepada agama, pemeluk agama, dan para pembencinya agar berhenti melakukan penodaan. Sebab, jika terus-terusan menodai Islam hingga mati, pertolongan Allah tidak didapatkannya.

Toleransi yang Benar

Dalam interaksi muslim dengan non-muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua konsep penting; toleransi dan berdakwah. Toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.

Toleransi antarumat beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Mumtahanah: 8-9).

Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Kafir dzimmi itu dilindungi karena taat pada kepemimpinan Islam dan tidak menyebarkan kesesatan kepada umat Islam. Bahkan umat Islam dilarang mendzalimi ahl al-dzimmi ini.

Berbuat baik dan bersikap bijak dengan ahl al-dzimmi tidak menghalangi Islam untuk berdakwah. Mereka tetap kita dakwahi, tapi bukan bersifat memaksa. Namun tidak ada kompromi terhadap penyimpangan agama, penistaan atau pencampuradukkan agama atas nama toleransi. Jika ada penyimpangan dan penistaan – yang bisa memancing konflik sosial – Islam segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi SAW dan Abu Bakar dalam keterangan di atas.

Adapun keikutsertaan seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong-menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Ini bukan toleransi tapi bentuk sinkritisme. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedangkan kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat “Dan janganlah kamu campuradukkan yang haq dengan yang batil” adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan Islam.

Sekarang yang harus dipahami bersama, baik umat Islam atau umat non-muslim, Islam menjamin kebebasan beragama dan mengakui kemajemukan. Tempat ibadah non-muslim dan kepercayaan aliran lain tidak boleh diganggu. Islam juga terbuka membuka dialog-dialog cerdas. Namun, jika ada aktifitas dan gerakan publik menista kesakralan, aparat harus bertindak tegas. Sebab, masing-masing agama memiliki nilai kesakralan yang jika diusik memantik emosi pengikutnya. Segala bentuk penodaan dan pelecehan nilai-nilai sakral mestinya dilarang, apalagi jika digelar secara publik. Pengikut dari agama yang dinodai jelas memiliki hak untuk melakukan pembelaan. []

*Penulis adalah peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *