Oleh: A Saifuddin Syadiri
Inpasonline.com-Adanya pemimpin adalah sebuah keniscayaan. Sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Di mana ada sebuah komunitas, di situlah pasti ada pemimpin. Baik diangkat secara resmi atau terangkat secara alami. Coba lihat segerombolan anak kecil, pasti ada satu anak yang memegang kendali. Memimpin teman-temannya. Sehingga, mereka mematuhi keputusan-keputusannya.
Namun, masalah kepemipinan tidak sesederhana itu. Tiba-tiba jadi pemimpin. Tidak. Pemimpin adalah sosok pilihan yang akan bertanggung jawab pada semua anggotanya. Baik dan tidaknya sebuah komonitas, tergantung pemangku kendali. Dengan kata lain, pemimpin adalah sentral dalam kemajuan kelompok.
Adagium Arab mengatakan, “rakyat tergantung agama rajanya”. Secara tidak langsung, adagium itu mengatakan bahwa sebuah komunitas akan baik jika pemimpinnya baik, akan jelek jika pemimpinnya jelek. Tentu, ketergantungan rakyat kepada pemimpin mencakup segala hal. Kesejahteraan dunia dan kebaikan agama.
Tak heran jika Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Jika sebuah urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (HR. Imam Bukhari). Hadis ini bisa diartikan bahwa jika kepemimpinan disrahkan kepada orang yang tidak pantas menjadi pemimpin, hancurlah orang-orang yang dipimpinnya.
Dalam Islam, orang baik harus menjadi pemimpin, tapi tidak boleh cinta dan bernafsu untuk dijadikan pemimpin. Sederhananya tidak boleh gila jabatan. Hal ini sudah dicontohkan oleh para pemimpin Islam terdahulu. Contohnya, Umar bin ‘Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat menjadi khalifah (pemimpin umat Islam), beliau menangis dan mengatakan ‘Innalillahi wa Innalillahi raji’un’. Bukan ‘Alhamdulillah’. Sebab menurut beliau, menjadi pemimpin adalah musibah. Bukan nikmat.
Akan tetapi, tanggung jawab beliau pada tugasnya tidak diragukan lagi. Dalam waktu dua tahun beliau sudah bisa memperbaiki negara. Beliau sosok pemimpin yangn baik dan adil. Konon, karena keadilan beliau, kambing dan serigala menjadi teman. Ketika cucu Sayydina Umar bin Khattab itu meninggal, serigala menjadikan kambing sebagai makanan.
Karenanya, pemimpin muslim harus mencontoh pemimpin-pemimpin terdahulu. Tidak cinta jabatan, tapi kalau diberi tanggung jawab maka akan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Rasulullah saw. juga bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin. Seorang suami pemimpin keluarganya. Seorang istri pemimpin atas rumah suaminya dan anaknya. Maka setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Muttafaq Alaih).
Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya, al-Minhâj Syarh Sahîh Muslim bin al-Hujjâj, bahwa pemimpin harus adil. Harus melaksanakan tugas untuk kebaikan yang dipimpinnya. Baik yang berikaitan dengan dunia atau akhirat. Imam Ibnu Bathal juga mengatakan bahwa setiap orang yang mendapatkan amanah (menjadi pemimpin) harus mengerahkan kemampuan untuk menjaga amanah itu. Sebab, kelak akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang ada dalam amanahnya.
Dengan demikian, pemimpin yang tidak amanah adalah berdosa. Pemimpin yang tidak bertanggung jawab juga berdosa. Jika ada satu orang saja tidak baik, maka pemimpin kelak yang akan ditanya. Jika ada satu orang saja terlantar, tidak mendapatkan apa yang harus dia dapatkan, maka pemimpin yang akan mempetanggung jawabkannya di hadapan Allah.
Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda, “Seseorang yang dijadikan pemimpin, tapi tidak menjalankannya dengan baik, maka dia tidak akan mencium harumnya surga.” (HR. Imam Bukhari).
Mungkin karena itulah, Sayyidina Umar tidak mau anaknya diangkat menjadi pemimpin. Saat ada orang mengusulkan agar Abdullah bin Umar diangkat menjadi khalifah setelah beliau, beliau tidak mau. Beliau berkata, “Jika baik, kita sudah mendapatkannya (dengan Sayyidina Umar menjadi khalifah) . Jika jelek, kejelekan itu tidak menimpa kita (kedua kalinya). Cukuplah satu orang saja dalam keluarga Umar yang dihisab.”
Alakullihal, adanya pemimpin adalah sebuah keharusan. Islam pun memberi arahan-arahan tentang kepemimpinan. Menurut Islam, pemimpin harus baik. Harus memiliki jiwa kepemimpinan. Sebab, komunitas yang tidak dipimpin oleh ahlinya, maka tidak akan lama lagi kehancurannya. Islam juga mewajibkan pada siapapun yang menjadi pemimpin untuk bertanggung jawab. Menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ada satu orang pun yang terlantar. Jika tidak, maka dia berdosa. Kelak akan diminta pertanggung jawaban di hadapan-Nya.
Penulis adalah anggota Keluarga HMASS (Harakah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri) Surabaya