Oleh : Ahmad Kholili Hasib
inpasonline.com – Tahun 2016 ini sepertinya panggung media banyak diisi oleh berita-berita tentang isu gerakan umat Islam. Mulai terorisme, penistaan agama oleh Ahok, hingga fatwa MUI. Terkait fatwa MUI, yaitu tentang larangan umat Islam merayakan Natal dan penggunaan atribut Kristen.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap menjelang pergantian tahun, media banyak menyebarkan isu toleransi. Tidak bisa dipungkiri dengan gencarnya isu ini ada kesan, umat Islam Indonesia belum bisa toleran, sehingga harus ditekan sana ditekan sini, supaya toleran terhadap hari raya Kristen Natal. Padahal, umat Kristen aman-aman saja. Tidak dijaga oleh Banser pun Gereja aman sebenarnya.
Sampai-sampai pada akhir Desember tahun lalu (2016), Menteri Agama ikut-ikut arus mainstream dengan mengeluarkan statemen bahwa fatwa MUI tidak mengikat. Statemen tersebut dampaknya bukan biasa-biasa saja. Sepertinya ada upaya melemahkan fatwa MUI. Bahwa, taat ulama tidak wajib. Memprihatinkan.
Toleransi ala Liberal
Saya melihat, sikap itu tidak mendidik masyarakat Indonesia. Bila ada gerakan kampanye melemahkan fatwa ulama, maka ke depan masyarakat tidak patuh pada ulama. Jika sudah tidak patuh pada ulama, lalu patuh pada siapa?. Masyarakat bisa rusak parah. Sebab, ulama selama ini menjaga akhlak masyarakat. Tinggal menunggu masyarakat menjadi anti agama, selanjutnya komunisme mudah merasuk.
Mengikuti perayaan atau ritual agama lain itu sudah sangat terang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dalam kamus Islam, toleransi bukanlah mengikuti ritual agama lain dengan segala atributnya. Harap diingat, arti toleransi berada pada wilayah sosial, bukan pada akidah atau melebur pada aspek fundamental. Toleransi adalah menghormati tanpa mengakui keimanan non-Muslim.
Sejauh ini, agama yang cukup jelas membahas toleransi itu hanya Islam. Bahkan surat al-Kafirun itu isinya bagaimana batas-batas toleransi. Sedangkan agama Kristen, Budha dan Hindu belum memiliki konsep baku dan terang tentang toleransi ini dalam kitab-kitab sucinya. Jika pun mereka mengamalkan toleransi, sebetulnya bukan atas hujjah kitab suci. Patokanya, bisa HAM atau undang-undang negara.
Karena itu, umat Islam semestinya tidak perlu kebingungan apa itu toleran dan tidak. Justru harusnya umat agama lain perlu membaca diktum-diktum dalam kitab suci agama Islam tentang konsepsi toleransi.
Toleransi juga seringkali dikaburkan dengan kebebasan ala liberal. Ini namanya kemungkaran pemikiran. Kaum liberal, menjustifikasi ‘toleransi’ versinya dengan menyodorkan al-Qur’an surat al-Baqarah: 256 yang berbunyi: “Laa Ikraha fi al-Dien” (tidak ada paksaan dalam beragama). Atas dasar ayat ini, maka tidak ada hukum memvonis non-Islam. Bahwa, dalam versi liberal, Islam memberikan kebebasan yang mutlak untuk beragama, mencampur agama atau pun tidak beragama. Bebas untuk beragama Islam, atau tidak beragama.
Padahal, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan maksud ayat tersebut. Bahwasannya seseorang dilarang untuk dipaksa masuk agama Islam. Sebab kebenaran Islam itu sangat jelas, terang dan bukti-buktinya gamblang. Menurut Ibn Katsir, sebagaimana cukup jelas dalam ayat di atas bahwa percaya kepada Islam merupakan kebenaran. Sedangkan ingkar terhadap Islam adalah kesesatan. Orang yang masuk Islam adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah, sedangkan orang non-Islam adalah orang-orang yang buta hatinya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim).
Jadi, seorang bisa menjadi Muslim kaffah sekaligus toleran. Toleransi tidak perlu dengan ikut-kutan mengikuti ritual agama lain. Yang mewajibkan toleransi dengan cara sinkritis seperti itu orang liberal. Sumbernya dari cara pikir Barat sekuler.
Sedangkan, sejarah sekuler Barat tidak kenal toleransi agama. Sebab, dalam sejarahnya mereka ‘memusuhi’ agama. Bagaiamana mungkin berkampanye toleransi agama, pada saat yang sama memusuhi agama itu sendiri. Ini jelas tidak logis. Toleransi dengan makna membenarkan dan menyamakan agama ini adalah toleransi terbaratkan (westernized).
Kemungkaran Paling Berat
Sudah menjadi kewajiban tiap muslim untuk menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran (al-amru bil ma’ruf wa nahy anil munkar). Imam al-Ghazali kemungkaran menjadi dua; kemungkaran makruh dan kemungkaran mahdzur. Diam terhadap kemungkaran makruh hukumnya makruh. Sedangkan diam terhadap kemungkaran mahdzur hukumnya haram (Imam al-Ghazali,Ihya’ Ulumuddin 2,hal. 364).
Tingkatan kemungkaran mahdzur lebih berat daripada kemungkaran makruh. Karena itu haram bagi orang yang berilmu atau yang punya kuasa untuk diam. Kemungkaran mahdzur ini juga bermacam-macam. Ada yang bentuk kemungkaran amaliyah dan ada kemungkaran I’tiqadiyah.
Praktik minum-minuman keras adalah kemungkaran. Tetapi pemikiran yang meyakini bahwa miras itu tidak haram di daerah dingin adalah kemungkaran. Namanya kemungkaran pemikiran (I’tiqadiyah).
Kemunkaran pemikiran atau I’tiqadiyah jauh lebih dahsyat dari kemunkaran di bidang amal. Dosa orang yang mengingkari kewajiban salat lima waktu, lebih besar daripada dosa orang yang meninggalkan salat karena malas, tetapi masih meyakini kewajiban salat. Pornografi adalah munkar. Tetapi, pemikiran yang menyatakan, bahwa pornografi adalah tindakan mulia, merupakan kemunkaran yang lebih besar. Menghadiri hari raya agama lain adalah dosa, tetapi pemikiran yang meyakini bahwa hadir dalam perayaan agama lain itu boleh karena toleransi merupakan kemungkaran pemikiran yang dosanya lebih besar.
Kemungkaran ini lebih berat akibatnya, karena mengingkari kebenaran. Inkar/munkar maknanya adalah tidak mengakui kebaikan yang diberikan. Dalam pengertian yang lain munkar artinya tidak mengakui sesuatu padahal ia mengetahuinya. Jadi, kemungkaran i’qtiqad ini maksudnya mengetahui sesuatu keyakinan tetapi ia tolak atau tidak mengakuinya karena sebab-sebab tertentu.
Kenapa ada fenomena sekompok masyarakat cenderung kepada pemikiran liberalisme, karena pemikiran ini merasuk ke sendi-sendi pikiran para cendekiawan melalui pendidikan.
Karena itu, Prof. Naquib al-Attas berpendapat bahwa bagi ilmuan wajib hukumnya mengetahui seluk beluk kebudayaan Barat. Supaya bisa membedakan mana mungkar dan mana yang ma’ruf. Kemungkaran yang berat pada zaman ini kemungkaran yang berasal dari kebudayaan Barat itu dalam bentuk pemikiran dan ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah pendidikan dan dakwah. Dakwah-dakwah Islam perlu memperhatikan penyakit yang sedang diderita umat. Da’i dan pendidik adalah seorang dokter. Tugasnya mendiagnosa, menganalisis dan memberi obat dengan dosis yang tepat. Seorang dokter tidak boleh diam menyimpan obatnya.
Ilmu Wajib Disampaikan
Seseorang mempelajari ilmu memiliki dua kewajiban, islah al-dzat dan islahu ummah. Pertama, untuk memperbaiki dirinya. Kedua, ilmu wajib disampaikan untuk memperbaiki orang lain. Jadi, di samping ada kewajiban individual, juga ada kewajiban sosial.
Karena itu, dalam petunjuk agama sebagaiaman yang termaktub dalam teks-teks al-Qur’an, Hadis dan kitab para ulama, seseorang yang yang memiliki ilmu wajib menyampaikan kepada orang yang tidak tahu. Sebaliknya, menyembunyikan ilmu dan kebenaran hukumnya haram. Nabi Saw bersabda: “Sampaikan dariku walaupun satu ayat dan ceritakanlah tentang kaum bani Israil karena yang demikian itu tiada dosa. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiaplah tempatnya di Neraka” (HR. Bukhari).
Kewajiban menyebarkan kebenaran itu dibebankan kepada siapa saja yang memiliki pengetahuan. Ilmu dan kebenaran tidak boleh didiamkan, namun harus diamalkan. Sebagaimana tidak boleh berdiam atas berbagai kemungkaran.
Allah Swt mengancam siapa saja yang menyembunyikan ilmu dan kebenaran sebagaimana dalam sabda Nabi Saw: “Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu pengetahuan lalu ia menyembunyikannya maka pada hari kiamat kelak Allah Swt akan mengikatnya dengan ikatan api neraka” (HR. Ahmad dan Abu Hurairah).
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, ketika orang-orang bodoh tidak mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan agama, maka orang berilmu wajib mengajarinya dan haram hukumnya berdiam. Lebih-lebih di zaman ini banyak yang tidak mengetahui haqi itu kebenaran (Abdullah bin Alwi al-Haddad,Ad-Da’wah al-Tammah wa al-Tadzkir al-‘Ammah,41 dan 42).
Lebih-lebih bila kemungkaran itu dalam bentuk kemungkaran akidah. KH. Hasyim Asy’ari menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan agama.
Ibnu Hajar dalam kitab al-Shawaiq al-Muhriqahi mengutip hadis Nabi Saw: “Apabila telah Nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia”.