Beramal Shalih Tanpa Pamer

Written by | Opini

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

islam_027Inpasonline.com-Amal shalih dilakukan sebagai persembahan kepada Allah Swt. Tidak ada tujuan kecuali kepada Yang Maha Kuasa. Karenaa itu, manusia bukan tempat tujuan. Maka tidak ada hak bagi makhluk sebaga tempat tujuan ibadah.

Islam tidak memberi tempat pameran amal baik. Karena itu, hamba Allah Swt harus pandai menarik simpati Allah Swt dalam beramal. Allah Swt tidak menaruh simpati amal baik hamba Allah Swt bila amal itu dilakukan demi menarik perhatian makhluk.

Ketulusan dan kemurnia beramal baik dinamakan al-Shidqu. Seorang ahli hikmah menjelaskan makna al-Shidqu, yaitu menyimpan ibadah. Hamba yang tulus (al-Shadiq) adalah hamba Allah yang beribadah berdasarkan cinta (mahabbah).

Syekh Ahmad bin Abi al-Hawari mengatakan: “Barang siapa yang menyukai kebaikannya selalu disebut-sebut orang atau dikenali orang, maka dia melakukan “syirik” dalam ibadah. Karena siapa saja yang beribadah kepada Allah Swt didasarkan atas cinta kepada Allah Swt, maka dia tidak suka penghambaannya diketahui orang lain kecuali diketahui Allah Swt” (Abdullah bin Muhammad al-Randi,Ghaits al-Mawahib al-Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-Athoiyyah, hal.201).

Maka riya (pamer amal), itu kata Syaikh Abdullah al-Qursyi adalah bila setiap hamba yang tidak puas ibadahnya diketahui oleh Allah saja.

Jika kita menduakan-Nya dalam tujuan-tujuan ibadah, maka kita sama saja dengan membunuh amal ibadah kita sendiri. Riya’ dan tidak ikhlas itu mesin pembunuh yang meruntuhkan seluruh pengabdian kita kepada Allah.

Salah satu cobaan orang beramal baik adalah tidak tahan amalnya itu dalam ruang sepi. Nafsu manusia mendorong agar amalnya dibawa ke ruang keramaian. Bila dalam ruang sepi itu dia sedih, sedang di ruang keramaian itu senang, maka dia jatuh pada riya’.

Dalam hal ini Syaikh Ibnu Athoillah al-Sakandari sangat rinci membedakan antara al-shidqu dan al-riya’. Kata beliau, hati yang merasa senang ketika amalnya dikenali orang itu sudah menjadi tanda ketidak tulusan dalam beramal. Dalam petikan al-Hikam-nya, dikatakan: “Keinginanmu agar manusia mengetahui kelebihanmu (dalam ibadah) merupakan tanda ketidaktulusanmu dalam beribadah”.

Jadi, bila hati memiliki keinginan atau senang bila kehebatannya dikenali orang itu bukan al-shidqu. Kemudian, apabila keingingan itu dipraktikkan dalam bentuk pameran amal shalih, maka telah jatuh pada riya atau syirik kecil.

Menutup amal sunnah yang baik berat dilakukan karena nafsu terus mendorong supaya diadakan ‘festival’ amal shalih. Ibnu Abbas mengatakan: “Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.” (HR. Bukhari). Rambut diminyaki maksudnya dengan tujuan puasanya tidak diketahui oleh orang lain.

Dikisahkan dahulu ada ulama yang berpuasa sunnah selama puluhan tahun tidak diketahui oleh orang lain, bahkan istrinya pun tidak tahu.

Imam al-Ghazali memberi peringatakan dini bahwa orang beramal itu harus dengan ilmu. Khususnya ilmu al-sirr (ilmu hati). Dijelaskan oleh imam al-Ghazali, ilmu sir itu hukumnya wajib diketahui setiap hamba Allah Swt, seperti; ikhlas, sabar, qana’ah, tawakkal dan lain-lain (Imam al-Ghazali,Minhajul ‘Abidin, hal. 4). Orang bermala dzahir tanpa ilmu batin, rawan amal ibadahnya diambil alih oleh nafsu.

Salah satu kritik imam al-Ghazali kepada ilmuan ahli hukum adalah memandang ilmu secara sempit. Yakni menilai cukup dengan ilmu dzahir saja. Padahal, kata beliau manusia itu akan menolak apa yang tidak ia ketahui.

Terutama yang dikecam oleh imam al-Ghazali adalah orang-orang yang mencari kemulian dengan cara memakai pakaian-pakaian agama tetapi hatinya kotor. Sifat demikian melahirkan sifat dengki dan hasud.

Dicontohkan sifat riya’ yang melahirkan dengki adalah ketika seseorang menyebarkan manfaat kepada orang banyak, lalu ada ulama yang juga melakukan hal sama, maka timbul dalam benaknya kebencian secara diam-diam kepada ulama itu.

Bila memang tujuannya adalah semata murni untuk Allah Swt, maka tentu dia merasa senang dan bahagia pada saat ada orang lain yang melakukan hal yang sama. Imam al-Ghazali menyebut tipologi ini dengan al-maghrur (tertipu dengan amalnya). Pertikaian atar ilmuan dimulai dari sifat buruk ini.

Kerusakan hati yang disebabkan oleh ketiadaan ikhlas, berdampak pada tiga hal; menyebabkan retaknya persatuan sesama jama’ah, amalnya sia-sia tidak mendapat balasan sebaliknya mendapat siksa, dan orang lain akan menjauhi model orang yang tidak terpuji ini. Kita bisa menangkap, bahwa ukhuwah Islamiyah terbangun atas pondasi keikhlasan berjuang. Sebaik apapun tingkat intelektualitas kita, jika hati terkotak-kotak dan terbungkus akhlak tercela tak akan terwujud persatuan dan kekuatan itu.

Maka, setelah menunaikan ibadah, jagalah tetap hati, jangan sampai tertipu rayuan-rayuan berupa riya dan bangga diri, sebab hal itu bisa  menghabiskan amal yang susah payah kita laksanakan.

Last modified: 16/01/2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *