Oleh Kholili Hasib, Peneliti InPAS
Kasus Syiah di Sampang Madura masih berbuntut panjang. Pihak Syiah, yang dalam hal ini diwakili ormas ABI (Ahlul Bait Indonesia), melaporkan upaya relokasi pengungsi Syiah di Sampang kepada DPR pada Selasa 14/5/2013. Sebagaimana yang telah berjalan, pemerintah setempat merelokasi sementara para penganut Syiah karena dikhawatirkan terjadi lagi bentrok dengan umat setempat, seperti yang sudah terjadi hingga dua kali.
Kasus Syiah ini menyeret Tajul Muluk, pemimpin Syiah Sampang, ke meja pengadilan. Ia dihukum dua tahun penjara karena telah terbukti melakukan penodaan agama. Sehingga menyebabkan terjadinya bentrok antara warga yang mayoritas Nahdhliyyin dengan penganut Syiah.
Upaya-upaya penyelesaian telah diupayakan oleh para ulama’ dan pemerintah Provinsi Jawa Timur. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Jatim mencegah dengan upaya edukatif, menerbitkan fatwa tentang Syiah. Surat fatwa bernomor 01/SKF-MUI/JTM/I/2012 berisi kesesatan ajaran Syiah. Sementara Gubernur Jatim menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur.
Baik fatwa maupun Pergub Jatim diterbitkan untuk mencegah umat Islam Jatim melakukan tindakan tercela yang bisa memicu chaos. Upaya edukatif ini berusaha mewujudkan umat yang beradab, memahami etika beragama dan bermu’amalah antarsesama. Bahwa tindakan menghina ajaran lain bisa memantik konflik sosial. Dengan diterbitkannya dua surat keputusan tersebut, diharapkan di Sampang maupun di daerah-daerah lain tidak adalagi umat yang terinfiltrasi ajaran-ajaran ‘aneh’ dengan menghina Sahabat Nabi, istri Nabi dan lain-lain. Pemerintah bertanggung jawab dalam pembinaan penganut agama.
Berdasarkan hal itu, Pemkot Sampang-pun berjanji membiayai anak-anak Syiah untuk dikirim ke pondok pesantren Ahlussunnah. Pencegahan dini harus dilakukan. Sebab, jika anak-anak tersebut dibiarkan jadi menganut ajaran penistaan terhadap Sahabat, maka Sampang akan terus membara lagi kelak.
Upaya-upaya aparatur pemerintah, ulama dan pihak keamanan harus didukung. Solusi mereka menyentuh akar utama penyebab konflik. Bahwa, penistaan terhadap Sahabat dan Istri Nabi yang dilakukan secara publik yang menjadi sebab bentrok. Menutupi akar utama, apalagi memotongnya justru akan memelihara konflik menjadi lebih besar lagi.
Karena itu, gugatan terhadap fatwa MUI Jatim justru kontra-produktif. Teguh Sugiharto, sang penggugat asal Jakarta, baru-baru ini menggugat lima hal terkait dengan kasus Sampang. Di antaranya, mendesak memulangkan kembali seluruh pengungsi Sampang ke kampung halamannya kembali. Kedua, penuntut meminta mencabut Fatwa MUI Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syiah. Ketiga, penuntut juga meminta mencabut Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Terakhir juga meminta pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) (hidayatullah.com 15/5).
Jika saja fatwa dan Pergub dicabut, maka sama saja menyulut api konflik lagi di Sampang. Akar kedamaian makin sulit diurai. Gerakan Syiahisasi bisa merajalela, tidak hanya di Madura tapi juga di Jawa Timur.
Fatwa dan Pergub tersebut sesuai prosedur, bersifat edukatif dan konstruktif. Penerbitannya telah melalui proses yang tidak gegabah. Sebelumnya, diadakan penelitian mendalam, baik observasi lapangan, tabayyun kepada penganutnya, maupun studi pustaka induk Syiah. Semuanya menyimpulkan, terdapat ajaran penodaan agama oleh aliran Syiah.
Fatwa dan Pergub ini mengedukasi masyarakat, agar menjadi warga Negara yang taat beragama. Menjunjung tinggi adab. Ketua MUI Jatim, Abusshomad Buchori, menghimbau agar pelaku tindak kekerasan, baik dari Syiah maupun Ahlussunnah harus dihukum.
Dalam konteks Negara Indonesia, ajaran-ajaran takfir dan dakwah politik Syiah patut jadi catatan pemerintah. Perlu ada penelusuruan lebih dalam lagi. H. As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU, pernah mengatakan bahwa terdapat jaringan militansi Syiah. Dalam tulisannya berjudul “Gerakan Syiah di Indonesia”, di nuonline.com pada 30/5/2011, As’ad berpendapat bahwa terdapat jaringan yang berupaya membuat lembaga bernama Marja’iyyat al-Taqlidi seperti di Iran. Pemicunya adalah doktrin kemutlakan imamah berdasarkan politik.
Karena itu, penanganan secara edukatif sangat diperlukan. Fatwa dan Pergub perlu di-breakdown dalam bentuk sosialisasi penguatan akidah Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) di pesantren. Wawasan Aswaja di lembaga pendidikan Islam mungkin saja masih lemah. Pesantren yang lebih cenderung fiqih oriented akan menjadi integratif konsepnya jika konten kurikulumnya ditambah dengan pengenalan akidah serta tantangannya secara mendalam.
Semangat meneliti ajaran-ajaran menyimpang bukan secara emosional bertujuan ‘berperang’ menghabisi penganutnya. Namun, bermotivasi mengentas penganut aliran sesat atau masyarakat awam secara luas dari keterlibatan dengan ajaran-ajaran yang menodai kesucian agama. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan umat, maka dia bukan golonganku”.
Urusan umat ini adalah kerusakan akidah, dan begitu bebasnya orang melakukan penodaan agama secara publik. Kedamaian takkan terwujud selama kelompok yang menodai agama bebas menyebarkan fitnahnya di tengah-tengah umat yang religius. []