Siapa Menolak Fatwa Syiah Sesat?

Written by | Opini

 

Mengapa Berbeda?

Kita baca ulang suasana ketika fatwa itu baru saja dilahirkan. Ternyata, fatwa tentang kesesatan Syiah itu mendapat respon positif para alim-ulama di Jawa Timur. Dalam pertemuan bertajuk “Silaturrahmi Ulama-Umara, Menyikapi Berbagai Faham Keagamaan di Jawa Timur” yang dihadiri sekitar 50 ulama Jatim pada 06/03/2012, para ulama (termasuk wakil PWNU dan PW Muhammadiyah) tak menunjukkan perbedaan pendapat tentang kesesatan Syiah.

Di acara itu, NU Jatim dan Muhammadiyah Jatim bahkan mendesak Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo segera menindak-lanjuti rekomendasi para ulama. “Akhir-akhir ini di Jawa Timur terjadi keresahan sosial. Jika ini tidak dicegah, akan berimplikasi timbulnya perbuatan-perbuatan anarkis, yang pada gilirannya mengancam stabilitas nasional. Untuk itu, kami dari Pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur mendukung keputusan MUI Jatim tentang berbagai aliran sesat di Jatim dan mendorong pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur untuk selanjutnya mengambil langkah-langkah dan bersinergi dengan pemerintah pusat serta mengambil langkah-langkah lanjutan sebagai fungsi mencegah terjadinya (tindak) anarkis,” kata Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, Prof. Dr. Tohir Luth.

Sementara, menurut KH Agoes Ali Masyhuri yang mewakili PWNU Jatim, Jawa Timur adalah barometer nasional. Jika stabilitasnya terganggu, dampaknya juga akan merembet ke wilayah lain. “Saya atas nama PWNU Jawa Timur merespon positif langkah-langkah cerdas yang diambil oleh MUI Jawa Timur untuk menyikapi berbagai aliran sesat yang ada di Jawa Timur, karena Jatim adalah barometer nasional,” ujarnya (www.hidayatullah.com 07/03/2012).

Tetapi, bagaimana sikap sejumlah elit di Jakarta dari ormas keagamaan yang sama? Jika pada Maret 2012 ulama NU Jatim sependapat bahwa Syiah itu sesat, maka itu berbeda dengan Ketua Umum PBNU -Said Aqil Siradj- yang berkata: “Tidak sesat, hanya berbeda dengan kita.” (www.tempo.co 29/08/2012).

Jika pada Maret 2012, ulama Muhammadiyah Jatim sependapat bahwa Syiah itu sesat, maka itu berbeda dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Situs www.kompas.com 07/09/2012 menurunkan judul: “Din: Muhammadiyah Keberatan Fatwa Sesat Syiah”.

Lebih jauh, situs itu mengutip Din:  ”Atas dasar apa MUI Jatim mengeluarkan fatwa itu? Baik Sunni maupun Syiah adalah sama-sama Muslim karena masih berada di lingkaran syahadat. Menurut kami, yang mempercayai syahadat itu otomatis Islam, apapun mazhabnya.” Ia pun berharap fatwa tersebut dapat dicabut.

Jika benar Din Syamsuddin menggugat keberadaan Fatwa MUI Jatim tentang “Kesesatan Ajaran Syiah”, maka kepada dia patut disoal: Sudah membaca lengkapkah fatwa yang dimaksud?

Sikap Din itu aneh, sebab Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4 (1) tegas mengatur bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah”.

Alhasil, jika kemunkaran Syiah telah terang-benderang disingkap MUI Jatim (lewat fatwanya) maka mengapa Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berharap fatwa itu dicabut?

Memang, secara umum -terutama belakangan ini- terasakan bahwa ulama kerap dilawan. Indikasinya, fatwa ulama sering diremehkan dan otoritas ulama sering digugat. Misal, jika di sebuah kesempatan ulama memfatwakan sesat sebuah aliran maka dengan tak ragu-ragu sejumlah orang menanggapinya dengan sinis. Misalnya, dengan malah menyesatkan kriteria sesat yang dibuat ulama.

Bisa juga fatwa ulama itu direlatifkan dengan bersandar kepada induk ajaran liberalisme pemikiran yaitu relativisme. “Tak ada yang mutlak di dunia ini,” demikian biasanya mereka menyergah. Intinya, sejumlah penentang itu bersikap merelatifkan fatwa MUI.

Kaum liberal berusaha mengerdilkan otoritas ulama. Padahal, siapapun tahu, bahwa di lapangan hidup apa saja mesti ada otoritas dalam menilai sesuatu. Misalnya, di bidang kesehatan hanya dokterlah yang punya otoritas untuk menilai seseorang itu sakit atau tidak.

Begitu juga, di aspek keagamaan. Untuk Islam, yang memiliki otoritas menentukan fatwa (tentu saja termasuk menetapkan sebuah aliran itu sesat atau tidak) adalah ulama, yaitu ulama yang shalih dan bukan ulamaus-su’/ulama jahat. Sebab, “Ulama adalah ahli waris para Nabi” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Dengan posisi itu, ulama menjalankan fungsi kenabian seperti mendampingi umat menuju kehidupan yang Islami. Terkait itu, salah satu peran ulama adalah memberikan fatwa, baik diminta ataupun tidak.

Sikap Kita?

Sungguh, Allah mewajibkan setiap orang yang beriman untuk berdakwah beramar-ma’ruf dan bernahi-munkar. Perintah itu disampaikan-Nya dalam “satu tarikan nafas” dengan perintah shalat dan zakat.Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS At-Taubah [9]: 71).

Dengan dasar itu, kita harus bernahi munkar atas berbagai kemunkaran yang ada di sekitar kita. Jika kita abai terhadap aktivitas beramar ma’ruf nahi munkar maka sanksinya sangat berat, yaitu bencana (baca: azab Allah) akan turun. Jika di sekitar kita ada kemaksiatan / kemunkaran dan itu kita biarkan maka azab Allah bisa menimpa siapa saja, tak pandang bulu. Semua orang (seperti ulama, cendekiawan, pemimpin, bahkan termasuk rakyat awam) akan merasakan siksa-Nya. Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum” (HR Abu Dawud).

Jadi, sudah tepatkah sikap kita selama ini? []

Last modified: 20/09/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *