Oleh M. Anwar Djaelani
Simak tiga ‘berita terbaru’ ini: Di Surabaya, pejabat Rutan Medaeng ditangkap karena membawa ratusan gram sabu-sabu. Di Papua, Aiptu Labora ditahan karena rekening gendut Rp 1,5 T. Di Malang, mahasiswa tertangkap saat menjadi joki Seleksi Masuk Perguruan Tinggi. Alhasil, mana kejujuran itu? Jika kejujuran sudah tak ada, bagaimana cara mengembalikannya?
Cerita Pelengkap
Dikabarkan, Kepala Sub Seksi Kepegawaian Rutan Kelas I Surabaya Made Yoga ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) pusat pada 21/05/2013. Dia kedapatan membawa 700 gram sabu-sabu (SS) yang nilainya diperkirakan mencapai Rp 1 miliar.
Lalu, di Papua, Aiptu Labora Sitorus ditetapkan sebagai tersangka. Dia dijerat dengan Undang-undang nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU nomor 22/2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan nomor 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Diketahui pula, rekening yang dimilikinya Rp 1,5 triliun, sebuah angka supergendut untuk seorang polisi berpangkat bintara.
Sementara, di Malang, pada 13 Mei 2013 terjadi kasus perjokian di Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Diberitakan, 31 orang tertangkap di saat melakukan perjokian di ujian masuk Fakultas Kedokteran UMM. Perjokian adalah praktik curang, dimana ada joki yang berperan memberi jawaban ke calon mahasiswa.
Di mana kejujuran? Di tiga contoh praktik ketidakjujuran di atas itu semuanya dekat dengan motivasi uang. Apakah hanya itu? Tidak! Lihatlah judul berita ini: “Dua Hari Rapat Paripurna Dewan Sepi”. Intinya, Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta dihadiri kurang dari separo anggotanya.Tercatat, di rapat pada 22/05/2013 itu dihadiri hanya 28 orang. Padahal, keseluruhan anggotanya 96 orang. Kenyataan itu semakin mengenaskan jika melihat ketidakseriusan mereka yang hadir, sebab mereka asyik dengan ponselnya atau mengobrol dengan sesamanya (Jawa Pos 23/05/2013).
Pemandangan serupa dengan yang di Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta itu cukup sering kita saksikan. Mulai dari DPRD di berbagai daerah sampai di DPR pusat. Cermatilah, pada pertengahan Mei 2013 BK-DPR memublikasikan daftar anggota DPR yang kerap tidak hadir alias bolos di Rapat Paripurna!
Bolos kerja adalah contoh perilaku yang paling mudah untuk menunjukkan modus pengabaian atas amanat yang diterima oleh seorang pekerja. Bolos kerja (seperti anggota DPR/D yang tak mengikuti berbagai agenda kerja termasuk Rapat Paripurna) adalah sebentuk praktik ketidakjujuran.
Dua Teladan
Pelajaran bisa kita ambil dari berbagai sumber. Riwayat di masa lalu juga berharga untuk kita ‘putar ulang’. Maka, tersebutlah Umar bin Khaththab RA. Sebagai pemimpin, dia memiliki kebiasaan yang patut dicontoh. Dia kerap berkeliling ke pelosok negeri untuk mencari tahu perkembangan kesejahteraan –lahir dan bathin- dari rakyatnya. Saat melakukan aktivitas itu dia menyamar.
Di sebuah kesempatan, Umar bin Khaththab RA bertemu seorang hamba sahaya yang tugasnya menggembalakan kambing. Kambing yang digembalakannya sangat banyak.
“Wahai Kawan, sudilah jual beberapa kambing untukku,” pinta Umar bin Khaththab RA.
“Maaf, Tuan, kambing-kambing ini tidak saya jual, karena semuanya milik juragan saya,” tolak si penggembala.
“Ayo, juallah kepadaku beberapa ekor. Bukankah juraganmu tak akan pernah tahu jika hewan yang engkau gembalakan berkurang sekadar beberapa ekor,” desak Umar bin Khaththab RA.
“Sekali lagi, mohon maaf, saya sedikitpun tak punya hak untuk menjual,” tegas si penggembala.
“Saya memahami alasan Anda. Tapi, bukankah tak ada yang melihat kita,” desak umar bin Khaththab untuk kali ketiga.
“Fa aina Allah? Lalu, di manakah Allah? Bagaimana dengan pengawasan Allah,” tukas si penggembala tegas.
Umar bin Khaththab RA terkesiap! Hebat betul kejujuran si penggembala itu.
Sementara di kesempatan lain ada cerita serupa. Saat berkeliling Madinah di malam hari, tak sengaja Umar bin Khaththab RA mendengar dialog dari dalam sebuah rumah yang sangat sederhana. Sebuah percakapan antara seorang ibu yang berprofesi sebagai penjual susu dengan anak gadisnya. Hari itu rupanya susu hasil perahan kambing mereka tak banyak, sehingga jika dijual tak cukup untuk membeli berbagai keperluan hariannya.
“Anakku, campurlah susu itu dengan air,” pinta si ibu. Tentu saja itu dimaksudkan agar susu menjadi lebih banyak sehingga bisa mendapat lebih banyak uang.
“Bagaimana aku bisa melakukannya, sebab bukankah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab RA melarang yang demikian,” tolak sang anak gadis.
“Orang-orang lain juga mencampurnya. Ayo, campurlah, karena siapa yang akan memberi tahu Umar bin Khaththab tentang hal ini? Bukankah dia tak melihat kita?” Demikian, si ibu terus mendesak.
“Wahai Ibu, jika Umar bin Khaththab RA tak melihat, namun -ketahuilah- Tuhan yang memiliki Umar bin Khaththab RA pasti melihat kita,” tegas sang anak gadis.
Umar bin Khaththab RA terkesiap! Hebat betul kejujuran putri dari si penjual susu itu.
Mau, Maukah?
Tokoh di kedua kisah di atas -si penggembala dan putri dari si penjual susu- itu, cukup mewakili figur rakyat kecil yang bermartabat. Sekalipun dihimpit kesulitan ekonomi, mereka sedikitpun tak hendak menggadaikan kejujuran.
Mereka –rakyat kecil itu- sadar betul bahwa hidup di dalam ketidakjujuran sungguh tak enak karena pasti akan selalu dikejar-kejar perasan bersalah. Mereka paham, bahwa tak akan ada kebahagian jika cara yang ditempuh untuk mencapainya di atas jalan ketidakjujuran.
Mari berubah! Kisah penggembala dan putri si penjual susu di atas itu bisa menjadi cermin tempat kita meraup hikmah: Jujurlah, kapanpun! Jujur itu akan membawa kebahagian. Lihatlah! Di akhir cerita, si penggembala itu lalu dibebaskan oleh Umar bin Khaththab RA (dengan uang tebusan, tentu saja) sehingga jadilah dia sebagai manusia merdeka. Sementara, putri si penjual susu diambil menantu oleh Umar bin Khaththab RA. Keduanya menemui kebahagian karena kejujuran yang dijunjungnya. Maka, maukah kita seperti mereka? []