Siapa Membangkang (Majelis) Ulama?

Written by | Opini

Oleh M. Anwar Djaelani,

penulis buku “50 Pendakwah Pengubah Sejarah”

para-ulamaInpasonline.com-Bermula di akhir September 2016. Kala itu Basuki Tjahaja Purnama –alias Ahok- dinilai menghina Al-Qur’an saat bicara di Kepulauan Seribu. Umat Islam marah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sigap resmi bersikap: “Ahok Menghina Al-Qur’an dan Ulama”. Selepas itu muncul usul nyeleneh dari sebagian kalangan yaitu agar MUI dibubarkan. Beralasankah hal itu?

 

Sungguh Menyakitkan

Pada 27/09/2016 Ahok membuat pernyataan yang menyakitkan umat Islam. Ahok yang non-Muslim menyatakan, “…Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu. Jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”.

Atas pernyataan yang jauh dari kepatutan itu banyak pihak mengritisi dan bahkan memidanakan Ahok. Gelombang protes dan tuntutan datang tak hanya dari Jakarta, tapi juga dari berbagai kota. Berikut ini sekadar menyebut tiga “suasana batin” umat Islam. “Ulama dan Umat Islam Makassar Sampaikan Ultimatum: Adili dan Berhentikan Ahok!!!” (www.portalpiyungan.com 13/10/2016). “Front Pancasila Laporkan Ahok Ke Polda Jawa Timur” (https://nasional.tempo.co 11/10/2016). “Umat Islam Sumsel Tuntut Pidanakan Ahok” (www.jurnalsumatra.com 10/10/2016).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) lalu segera bersikap. “Pernyataan Resmi MUI: Ahok Menghina Al-Qur’an dan Ulama” (www.voa-islam.com 11/10/2016). Bahwa, pernyataan Ahok pada 27/10/2016 perihal umat Islam telah dibohongi oleh Surat Al-Maidah ayat 51 adalah penodaan agama. Berdasarkan hal di atas, maka pernyataan itu dikategorikan sebagai menghina Al-Qur’an dan atau menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.

Lebih jauh, MUI merekomendasi bahwa pemerintah dan masyarakat wajib menjaga harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemudian, pemerintah wajib mencegah setiap penodaan dan penistaan Al-Qur’an serta agama Islam dengan tidak melakukan pembiaran atas perbuatan tersebut. Aparat penegak hukum wajib menindak tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan penistaan Al-Qur’an dan ajaran Islam serta penghinaan terhadap ulama dan umat Islam sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apa yang kemudian terjadi? Ada pihak yang mendesak agar MUI mencabut sikap yang meminta Ahok diproses hukum. Bahkan, sebuah petisi agar MUI dibubarkan muncul di laman change.org. Dalam petisi itu MUI dianggap sebagai provokator yang memicu keresahan di masyarakat.  MUI dinilai menjadi sebuah lembaga biang kerok yang menebarkan kebencian, permusuhan, dan teror terhadap sesama (www.republika.co.id 18/10/2016).

Atas perkembangan itu, kita rasakan adanya pihak yang berusaha untuk mengerdilkan otoritas ulama. Padahal, siapapun tahu, di lapangan hidup apa saja, harus ada otoritas dalam menilai sesuatu. Di bidang kesehatan, misalnya, hanya dokter-lah yang punya otoritas untuk menilai seseorang itu sakit atau tidak. Begitu juga, di aspek keagamaan.

Untuk Islam, yang memiliki otoritas menentukan status hukum atas sesuatu hal adalah ulama, yaitu ulama yang istiqomah (dan bukan ulamaus-su’ atau ulama jahat). Sebab, ulama itu penerus para Nabi. “Ulama adalah ahli waris para Nabi” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Dengan posisi sebagai pewaris para Nabi, ulama menjalankan fungsi kenabian seperti mendampingi umat menuju kehidupan yang Islami. Dengan demikian, salah satu peran ulama adalah memberikan fatwa, baik diminta ataupun tidak.

Siapa MUI? Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 7 Rajab 1395 Hijriyah bertepatan dengan 26 Juli 1975 di Jakarta. MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan Muslim yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat -yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al-Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al-Ittihadiyyah-, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam -Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI-, serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan Muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Jika mencermati sejarah dan profil kelembagaan MUI di atas, maka relevankah jika ada pihak yang meragukan kredibilitasnya? Masih beranikah kalangan yang menentang fatwa-fatwanya? Argumentatifkah alasan orang-orang yang bernafsu membubarkan lembaganya?

Apapun, memang cukup banyak manusia yang aneh-aneh termasuk berani melawan (Majelis) Ulama. Mari kita ingat sebagian di antaranya. Pertama, pada 2005 MUI menetapkan sebelas fatwa lewat Munas MUI VII. Satu di antara fatwa itu, bahwa Ahmadiyah dinyatakan berada di luar Islam dan pengikutnya tergolong murtad. Lalu, seorang mahasiswa pascasarjana di kala itu –lewat sebuah koran- beropini: Inilah “Awal munculnya absolutisme dan fasisme keagamaan”. Sementara, seorang tokoh –sebagian menyebutnya sebagai Cendekiawan Muslim- berkata bahwa MUI tidak layak lagi dijadikan panutan. Bahkan, kata dia, “Tidak hanya distop dananya, organisasinya harus dibubarkan”. Kedua, pada 2012. Kala itu, cukup banyak yang menyoal fatwa Majelis Ulama Indonesia – Jawa Timur (MUI Jatim) No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tentang “Kesesatan Ajaran Syiah” tanpa alasan yang meyakinkan. Bahkan, ada yang memintanya dicabut.

 

Sikap Kita

Kita harus terus bernahi munkar atas berbagai kemunkaran. Jika kita abai terhadap aktivitas beramar ma’ruf nahi munkar maka sanksinya sangat berat. “Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum” (HR Abu Dawud). Jadi, jika demikian, masih beranikah pihak-pihak yang menyoal keberadaan dan kiprah para ulama terutama yang ada di jajaran MUI? []

Last modified: 22/10/2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *