Oleh: Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Jihad paling utama adalah berkata-kata yang haq di hadapan penguasa zalim. Sayang, tak banyak yang berani melakukannya dan di antara yang sedikit itu Imam Nawawi adalah salah satu teladan terbaik. Seperti apa kisah dia?
Berani, Berani!
Imam Nawawi ulama besar. Dia lahir di Nawa, dekat Damaskus, pada 631 H. Karya tulis dia sangat banyak, antara lain: Syarh Shahih Muslim, Riyadhus Shalihin, Al-Arba’in an-Nawawiyah, Al-Adzkar, dan Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (panduan hukum Islam yang lengkap).
Kisah berikut ini adalah sebuah ‘cermin’. Kala itu tak ada yang berani ber-amar ma’ruf nahi munkar dengan mengingatkan Sang Raja yang salah, kecuali hanya Imam Nawawi. Jika yang lain tak mau menerima resiko buruk sebagai akibat berani mengritisi Raja, maka –sebaliknya- Imam Nawawi tak gentar mengamalkan ajaran Islam yaitu dengan mengatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil kepada siapapun.
Alkisah, saat itu di Syam -negeri tempat Imam Nawawi tinggal- berlangsung musim kemarau yang panjang. Tanah pertanian kering, ternak banyak yang mati. Paceklik datang, rakyat melarat.
Di saat-saat itu, negeri terancam bahaya lain. Ada dugaan, bangsa Mongol dan Tartar (bangsa yang dikenal kejam dan memusuhi Islam) akan menyerbu dan menghancurkan Kerajaan Syam.
Raja Zhahir Baibars –penguasa Syam- memerintahkan seluruh rakyat Syam agar membayar Dana Perang. Raja telah memanggil seluruh ulama untuk dimintai pertimbangan. Dana Perang harus terkumpul dan para ulama akan dijadikan alat legitimasi.
Banyak ulama yang menyetujui. Ada juga yang tak menyetujui dan bahkan menentangnya, namun setelah diintimidasi akhirnya mereka menyetujui dan ikut menyosialisasikannya. Meski begitu –ternyata-, masih ada seorang ulama yang tetap bersikukuh tak setuju. Dia adalah Imam Nawawi.
Puncaknya, Raja mengumpulkan semua ulama di Istana untuk mengesahkan “Undang-undang” itu. Imam Nawawi datang dengan muka yang tegak. Berbeda dengan ulama lainnya, yang menunduk.
Acarapun dimulai. Semua ulama menunduk, kecuali Imam Nawawi. Dia biasa-biasa saja. Dia memandang ke arah Raja beserta para pembesar yang mengelilinginya.
“Mengapa Anda tak menyetujui perintahku, wahai Tuan Imam? Apakah Anda lebih senang bila kerajaan kita diduduki musuh?” Demikian tanya raja kepada Imam Nawawi.
Imam Nawawi diam, tak segera menjawab. Dia faham, Raja sedang murka. Sesaat mata Imam Nawawi bersitatap dengan mata Sang Raja. Tetapi, Sang Raja ‘kalah’. Sorot mata Imam Nawawi tajam karena tidak ada yang dia takuti kecuali Allah saja. _“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”_ (QS Faathiir [35]: 28).
Setelah keadaan tenang dan Raja telah kehabisan kata-kata, Imam Nawawi berkata: “Sesungguhnya rakyat Syam sekarang telah melarat. Berat bagi mereka untuk membayar Dana Perang. Tapi, terkait Dana Perang, bukankah masih ada dana lain yang dapat ditarik? Dana itu sangat banyak dan agaknya mencukupi. Selama sumber lain masih ada, maka saya tak mau menyetujui perintah Tuan yang berakibat lebih menyengsarakan rakyat. Mengapa Tuan masih memberi beban kepada rakyat yang lebih berat lagi, sementara penghasilan mereka tak cukup untuk biaya makan?”
Suasana mencekam. Sejurus kemudian, Raja berkata: “Coba tunjukkan, sumber yang manakah itu?”
Tangkas Imam Nawawi menjawab: “Bukankah dahulu Tuan adalah seorang budak belian? Setelah Tuan menjadi Raja sekarang ini, bukankah Tuan belum menebus diri Tuan sendiri? Berapakah harga tebusan diri Tuan?”
Situasi semakin mencekam. Para ulama amat kagum dan heran, mengapa Imam Nawawi seberani itu.
“Tidak hanya itu saja! Tuan mempunyai 1.000 pegawai. Setiap pegawai itu mempunyai pakaian-pakaian kebesaran yang mewah dan ditaburi emas permata,” terang Imam Nawawi.
Raja diam dan merah padam wajahnya. Imam Nawawi meneruskan ilustrasinya: “Masih ada lagi! Tuan pun mempunyai 100 dayang-dayang. Sekujur badan mereka itu penuh dengan pakaian kemegahan bertabur emas permata. Bila Tuan mau menanggalkan semua pakaian kemegahan dari para pegawai dan dari dayang-dayang itu, pastilah dapat membiayai pertahanan negara.”
Seluruh yang hadir tak ada yang berani menegakkan kepalanya. Semua tunduk, takut. Mereka berpikir: “Apakah gerangan hukuman yang akan diterima Imam Nawawi?”
Benar, Raja-pun murka: “Sudah, sudah! Tak patut Anda mengatakan hal-hal itu di majelis ini!”
Imam Nawawi menukas: “Saya pun tidak patut membujuk rakyat dengan jalan memberi fatwa supaya mereka mau membayar Dana Perang sebelum Tuan sendiri berlaku adil.”
Raja lalu bertitah: “Sekarang juga Anda mesti keluar dari Negeri Syam ini! Sekarang juga!”
Imam Nawawi menyambut: “Baik! Saya akan pergi dari negeri ini!”
Setelah itu, rapat bubar. Hari itu juga, Imam Nawawi pergi ke kampung halamannya sendiri (yang masih daerah Syam juga).
Perkembangan berikutnya, menarik. Seluruh ulama Syam meminta Raja agar keputusan mengusir Imam Nawawi dicabut, sekaligus Sang Imam diminta kembali ke Kota Damaskus lagi. Kata mereka, “Dia ulama shalih! Dia pemimpin kami. Kami tak mau dipisahkan dari dia. Maka, kami mohon, agar dia dikembalikan lagi ke Kota Damaskus ini.”
Raja reda murkanya. Dia sadar, bahwa rakyat tak bisa dipisahkan dari para ulamanya. Maka, dibentuklah panitia untuk menyambut Imam Nawawi. Tetapi, “Aku tidak akan kembali ke Damaskus, selama Raja masih berada di kota itu! Aku akan masuk ke Damaskus, bila Raja telah keluar dari sana,” tegas Imam Nawawi ke para utusan Raja dan para ulama yang menjemputnya.
Sekitar sebulan setelah itu, Sang Raja meninggal. Lalu, Imam Nawawi kembali ke Damaskus.
Jejak Mulia
Imam Nawawi wafat pada 676 H. Sang Imam telah meninggalkan banyak jejak dakwah yang fenomenal termasuk saat beliau memeragakan dengan indah ajaran mulia ini: _“Jihad yang paling utama adalah kalimat haq yang diucapkan pada raja (penguasa) yang zalim”_ (HR Abu Dawud dan Turmudzi). []