Tamasya ke Taman Surga di Majelis Ilmu

Oleh M. Anwar Djaelani

Inpasonline.com-Di depan Allah, posisi ilmu dan orang yang berilmu sangat utama. Bagi Rasulullah Saw, umat Islam yang hadir di majelis ilmu sangat dibanggakannya. Maka, tak inginkah kita sering berada di majelis ilmu yang –kata Nabi Saw- ibarat berada di Taman Surga?

 

Mulia dan Nikmat

Bagi Allah, orang-orang yang berilmu sangat istimewa. Sebab dengan ilmunya, iman mereka terus terpelihara. Renungkanlah! “Allah telah menjelaskan bahwa tiada Tuhan selain Dia. Juga, Malaikat dan orang-orang berilmu (menyatakan yang demikian itu)” (QS Ali-‘Imraan [3]: 18).

Ilmu dan majelis ilmu itu penting! Terkait ini, ada penghargaan yang sangat mulia kepada mereka yang hadir di majelis ilmu. Renungkanlah! ”Apabila kalian berjalan melewati Taman-Taman Surga, perbanyaklah berdzikir”. Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud Taman-Taman Surga itu?” Rasulullah menjawab, ”Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu)” (HR At-Tirmidzi dan Ahmad).

Bersegeralah untuk hadir di majelis ilmu. Sebab, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR Muslim).

Terkait posisi penting ilmu dalam Islam, menarik jika kita selalu ingat-ingat bagaimana Nabi Sulaiman As dan Ali bin Abi Thalib Ra dalam memandang ilmu.

Pernah Nabi Sulaiman As diminta memilih satu di antara tiga: Harta, kekuasaan, dan ilmu. Sulaiman As memilih ilmu. Dengan ilmu, Sulaiman As berkesempatan menjadi raja (memiliki kekuasaan) dan hartapun melimpah di sekelilingnya.

Reguklah pula inspirasi dari Ali bin Abi Thalib Ra berikut ini. Suatu saat beliau ditanya: “Manakah yang lebih mulia, ilmu atau harta?”

“Ilmu lebih mulia,” seru Ali Ra. Beliau lalu memberi argumentasi. Pertama, ilmu bisa menjaga kita. Sementara, kita-lah yang harus menjaga harta. Kedua, saat kita memberi ilmu kepada pihak lain maka pada hakikatnya ilmu kita menjadi bertambah. Sementara, jika harta kita berikan ke pihak lain maka harta itu berkurang. Ketiga, ilmu menjadikan kita bersatu. Sementara, harta bisa menjadi pemicu pertikaian. Keempat, ilmu itu warisan para Nabi. Sementara, harta itu warisan Fir’aun dan Qarun.

Posisi ilmu penting. Sekalipun pahala berjihad (berperang) di Jalan Allah luar biasa besar, tetapi di saat benar-benar telah datang panggilan jihad, justru Allah meminta agar tak semua kaum Muslimin turun ke medan jihad. Sikap yang benar, haruslah tetap ada sebagian orang yang terus menyibukkan diri dengan aktivitas menggali ilmu. “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS At-Taubah [9]: 22).

Jika Allah mengatur demikian, maka tak pelak lagi, bahwa segala usaha kita dalam mencari ilmu –kapanpun- bernilai sangat penting.  Oleh karena itu, atas kewajiban mencari ilmu, kita harus bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang kita punya untuk meraih ilmu sebanyak mungkin. Kecuali pahala yang akan kita dapat, ilmu yang kita miliki akan menjadi landasan yang kukuh atas bangunan iman dan amal kita. Di titik inilah, jalan kebahagiaan kita –di dunia dan akhirat- terbuka lebar.

Dengan demikian, ilmu dan majelis ilmu harus kita hormati. Di bagian ini, fragmen berikut ini sungguh berguna.

Di antara kelebihan Imam Malik –penulis kitab Al-Muwaththa`-, adalah bahwa beliau sangat menghormati majelis ilmu. Terkait ini, ada kisah menarik.

Di sebuah kunjungan ke Madinah, Harun Ar-Rasyid -Khalifah Bani Abbasiyyah saat itu- tertarik untuk mendapatkan kajian kitab Al-Muwaththa`. Harun Ar-Rasyid ingin agar Imam Malik datang ke tempat tinggalnya untuk menyampaikan kajian dan untuk itu beliau mengutus seseorang.

Permintaan Harun Ar-Rasyid tak dikabulkan Imam Malik. ‘‘Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi,” kata Imam Malik. Maka, tak ada pilihan lain, sang khalifah pun mengikuti kajian kitab Al-Muwaththa` bersama dua putranya dengan duduk berdampingan bersama jamaah lainnya di tempat kajian itu biasa dilaksanakan.

Terkait kejadian tersebut, Imam Malik memberikan nasihat kepada Harun Ar-Rasyid, “Rasyid, Hadits adalah pelajaran yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh leluhur Anda. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, maka tak seorang pun yang akan menaruh hormat kepada Anda. Manusialah yang harus mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan pernah mencari manusia.”

Kembali ke majelis ilmu sebagai Taman Surga. Adakah sandaran lain yang akan lebih menguatkan tekad kita untuk sering hadir di majelis ilmu? Renungkanlah! “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu Rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dengan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikelilingi para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan-Nya” (HR. Muslim).

Terkait Hadits di atas, bisa kita buktikan tentang adanya perasaan tenang saat berada di sebuah majelis ilmu. Sebab, di sana Al-Qur’an akan dibacakan, Hadits akan disampaikan, dan kajian ulama akan diuraikan. Rasakanlah, sebuah kenikmatan yang sangat mungkin tak bisa dibahasakan secara tepat karena sifatnya yang sangat khas.

 

Raup, Raup!

        Sudah terang, bagaimana Islam menggambarkan tentang keutamaan ilmu, kelebihan orang yang berilmu, dan keistimewaan majelis ilmu. Telah jelas, bagaimana penghargaan Islam kepada mereka yang hadir di majelis ilmu. Maka, sering-seringlah meraup aroma Taman Surga di dunia dengan rajin hadir di berbagai Majelis Ilmu. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *