Ramadhan dan Madrasah Insan Adabi

Oleh Kholili Hasib

Kekeliruan dan kerancuan dalam pemikiran sejatinya berpangkal dari problem hati dan jiwa. Iman itu terletak dalam hati. Karena itu, problem kerancuan pemikiran sebetulnya adalah problem keimanan.

Oleh sebab itu, tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dapat disebut juga proses tazkiyatu al-fikr (pembersihan pemikiran) sekaligus pembersihan iman. Maka, langkah pertama dan utama untuk mengislamkan pemikiran adalah dengan cara riyadlah al-nafs (melatih jiwa melawan hawa nafsu). Imam al-Ghazali dalam kitab  Ihya ‘Ulumuddin, di sampaing mengritisi faham-faham yang keliru, ia memberi solusi dengan riyadhah al-nafs. Misalnya mengkritik keyakinan-keyakinan materialistic (madiyyah) yang masuk ke dalam hati. Sebab, hati dan pikiran itu mengontrol dan membentuk perilaku. Beradab atau bi-adabnya perilaku dipengaruhi oleh bersih dan kotornya jiwa dan hati seseorang.

Tazkiyatul Fikr

Maka setiap Muslim harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membersihkan pemikiran dari hal-hal yang merusak keimanan. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan dalam salah satu syairnya: “Jika Anda tidak menyibukkan diri Anda dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkan Anda dengan kebatilan”. Tazkiyatul fikr (pembersihan pemikiran) dilalui dengan proses penyadaran diri yang disebut riyadlah.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, ada empat aspek yang dilalui dalam proses penyadaran diri ini. Yaitu, al-yaqdzah, al-’azm, al-fikrah dan al-bashirah. Empat rangkaian inilah yang mesti menjadi unsur muhasabah. Al-yaqdzah, yaitu perasaan hati berupa penyesalan setelah ia bangun dari ’tidur’. Ini merupakan proses awal untuk membenahi perilaku yang telah dikerjakan. al-’azm, yaitu niat kuat untuk melakukan perbaikan. Karena tekadnya telah bulat, maka segala hambatan dan rintangan siap dihadapi.

Sedangkan al-fikrah, yaitu fokus pada tujuan perbaikan. Hati  hanya tertuju kepada sesuatu yang hendak dicari. Dan yang terakhir  al-bashirah yaitu semacam cahaya dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka. Tahapan muhasabah ini dapat dijadikan sebagai proses penyucian jiwa dari unsur-unsur sekularisme dan materialisme.

Proses tersebut disebut juga jihad nafsu (mujahadah al-nafs). Di kalangan ahli tasawwuf, jihad nafsu itu menjadi cara untuk membentuk jiwa bertakwa dan beradab yaitu jiwa yang ingatannya tidak pernah lepas dari Allah Swt dalam setiap aktifitasnya.

Imam al-Sya’rani pernah memberi nasihat, bahwa jihad nafsu itu fardhu ‘ain yang harus dilakukan setiap hari. Ia mengatakan, mujahadah itu kewajiban yang tak terputus, sepanjang masa seorang muslim wajib berjihad melawan hawa nafsunya. Sebab, nafsu secara terus-menerus menggoda manusia agar meninggalkan syariat Allah Subhanahu wa ta’ala. Maqam (kedudukan tinggi seorang hamba di sisi Allah Swt) tidak mungkin diraih tanpa jihad nafsu. Ia mengatakan: “Barang siapa yang menyangka dirinya telah mencapai derajat tanpa mengerahkan usaha melawan nafsu dalam beribadah, maka sungguh itu mustahil” (Tanbih al-Mughtarin, hal. 111).

Islam menyeru umatnya untuk mengendalikan syahwat sesuai dengan syariat Allah Swt. Syahwat tidak dilampiaskan semau sendiri, tapi syahwat juga tidak dilarang untuk memenuhi syahwat dunia dengan kadar tertentu dan sesuai dengan yang diperintah Allah Swt. Syahwat mata, telinga, perut, seksual dan lain-lain boleh dipenuhi dengan batas dan aturan-aturan yang telah ditetapkan. (Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, hal. 74). Pemenuhan dengan batas tertentu ini merupakan kemurahan dan rahmah Allah terhadap hamba-Nya. Sedangkan larangan untuk melampiaskan secara bebas dalam rangka agar manusia tidak seperti hewan yang tanpa aturan. Oleh sebab itu, pembersihan jiwa juga penjernihan pikiran.

Jiwa dan pikiran yang Islami -yaitu yang bersih- selalu patuh dan tunduk kepada syariat Allah, beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk membenci agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai Islam dan kebenaran. Ramadhan sengaja menjadi tempat untuk mencetak jiwa-jiwa Islami, bukan jiwa yang sekular. Perbanyaklah ibadah, sering-seringlah mengikuti kajian ilmu. Sekali-kali jangan beri kesempatan nafsu untuk menguasai jiwa selama bulan puasa. Jika seusai Ramadhan jiwa kita tetap sekular, maka kita gagal beribadah puasa Ramadhan. Maka, siapkanlah diri saat memasuki ‘madrasah’ Ramadhan.

Tradisi Ilmu

Pembangunan insan adab, selain dengan pembersihan jiwa juga meningkatkan kualitas keilmuan. Momen untuk mengembangkan dan memperbaiki budaya ilmu di bulan Ramadhan memiliki nuansa tersendiri yang berbeda dengan bulan-bulan lainya. Bulan yang juga dijuluki Rihlah Ruhaniyah ini sungguh tepat menjadikannya sebagai Madrasah Ilmiyah. Para ulama’ memberi teladan mencari ilmu yang baik, yakni bersih ruhani menjauhi segala aktifitas maksiat. “Ilmu (hafalan) tidak bersahabat dengan maksiat,” nasihat Imam al-Waqi’ kepada Imam as-Syafi’i.

Ilmu menempati derajat istimewa dalam Islam, dan Ramadhan adalah bulan teristimewa di antara bulan-bulan lainnya. Oleh sebab itulah, mestinya tradisi mencari ilmu seharusnya lebih semarak di bulan suci, karena inilah momen menjalankan dua kewajiban istimewa yang berimplikasi positif untuk kebiasan-kebiasaan berbudaya ilmu setelah Ramadhan.

Tradisi-tradisi pengembangan ilmu tersebut di pesantren-pesantren tradisional Indonesia telah membudaya dengan baik sejak dahulu. Di beberapa pesantren tradisional, ada tradisi khataman kitab selama bulan suci Ramadhan. Metodenya seperti yang lumrah berjalan di pesantren, yaitu sorogan. Khataman kitab kuning itu diikuti oleh beberapa pelajar dari luar, bahkan dari luar pulau. Tradisi tersebut perlu dikembangkan dan dibiasakan. Menjadikan aktivitas ilmu sebagai aktivitas utama di bulan Ramadhan adalah sebuah kegiatan mulya dalam rangka membangun peradaban. Peradaban Islam, sebagaimana yang telah pernah ditunjukkan oleh peradaban Abbasiyah, Kordoba atau Ustmaniyah terbangun dengan tradisi Ilmu. Hal itu misalnya bisa dilakukan dengan model-model yang lain, daurah, pelatihan, workshop dan seminar. Kegiatan ilmu adalah aktifitas sangat tinggi nilainya di sisi Allah SWT. Melalui ilmulah manusia dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah kepada-Nya dengan benar.

Tradisi keilmuan ini perlu dibiasakan, mengingat tantangan terbesar muslim kontemporer menurut Prof. Al-Attas adalah rusaknya Ilmu. Rusaknya konsep ilmu akan berkonsekuensi pada kerusakan pemikiran dan metode memahami Islam. Apalagi, sebagaimana difatwakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, kerusakan umat diakibatkan oleh kejahatan intelektual muslim (ulama’). []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *