Oleh Kholili Hasib
Akhir-akhir ini ada dua peristiwa penting yang menyedot perhatian para aktivis dakwah dan sekaligus memicu perselisihan. Pertama, peristiwa kudeta Presiden Mesir (Muhammad Mursi) dan, kedua, perbedaan penentuan awal Ramadhan. Dua peristiwa tersebut, meski bukan persoalan penyimpangan akidah, namun dalam kenyataannya harus diakui secara jujur, telah memecah sesama Muslim. Tulisan ini bukan hendak membuat penilaian atau menghakimi terhadap dua persoalan di atas. Namun, kita bisa ambil ibrah, betapa sangat penting persatuan umat Islam sekarang ini. Dan penting untuk konteks ini, memahami kembali Manhaj, prinsip utama Ahlussunnah wal Jamaah (selanjutnya disingkat: Aswaja) fikih dakwah, dan fikih ikhtilaf. Sehingga kita mampu membuat keputusan dan sikap bijak serta menjunjung maslahah umat.
Penjelasan mengenai konsep Aswaja kepada umat menjadi penting, sebab ini dilakukan demi merajut ukhuwah sesama Aswaja, memantapkan dan meluruskan pemahaman, memadamkan fitnah, serta membentengi diri dari akidah di luar Aswaja.
Dr. Khalif Muammar, dosen Center for Advanced Studies on Islamic Science and Civilization (CASIS) Malaysia dalam tulisannya berjudul “Prinsip dan Ukhuwah Ahlussunnah” menulis: “Konsep Ahlussunnah tidak hanya dari Asya’irah atau Hanabilah saja dalam pengertian sempit. Tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih. Memegang kesepakatan umam oleh para ulama generasi Salaf al-shalih. Selama ini, para ulama Ahlussunnah telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai teks-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya. Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-I’tiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-‘Aqidah al-Wasitiyyah oleh Ibn Taimiyyah”.
Para ulama’ Aswaja terbagi menjadi beberapa macam sesuai dengan bidang dan tantangan yang dihadapi. Mereka terbagi dalam beberapa bidang kajian, di antaranya adalah: Pertama, Ulama yang menekuni bidang tauhid, nubuwah, hukum-hukum akhirat (ancaman, pahala dan siksa). Mereka juga menekuni ilmu Kalam yang murni dari kesesatan.
Kedua, para ahli fikih dan hadis, di antaranya Imam Maliki, Hanbali, Syafi’i, Hanafi, Imam Auza’I dan Imam Sofyan al-Tsauri. Ketiga, Ulama’ yang menekuni Ilmu sanad hadis dan menimbang antara hadis shahih dan tidak shahih. Keempat, ulama’ yang khusus menekuni bidang gramatika Bahasa Arab dan Sastra seperti Imam Sibawaih, Khalil bin Ahmad, Abu Umar bin al-‘Ala, Imam Fara’ dan al-Akhfash. Kelima, ulama’ yang Ahli ilmu baca al-Qur’an dan tafsirnya, seperti Ibnu Katsir, Imam Qurtubi, Imam Hafs, Imam Ashim dan lain-lain. Keenam, para ahli tasawuf dan mendalami ilmu hati dan akhlak seperti al-Ghazali, Imam Junaid, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain. Ketujuh, Para ulama’ yang konsern terhadap jihad membela kaum muslimin.
Mereka semua adalah berakidah Ahlus Sunnah. Hanya saja, bidang kajian mereka berbeda-beda. Para ulama’ tersebut di atas berbeda dalam hal masalah furu’iyah dan semuanya mempunyai pandangan satu dalam bidang ushul (akidah) sebab mereka beriltizam (komitmen) terhadap al-Qur’an, Hadis, Ijma dan Qiyas karena ini adalah prinsip yang terpelihara. Adakalanya mereka berbeda pada bidang furuiyyah al-I’tiqad (furu dalam I’tidaqd), seperti perbedaan tentang definisi Kalam Allah antara Asy’ari dan Ahlul Dzahir, perbedaan tentang apakah Nabi saw melihat Allah secara langsung pada waktu mi’raj, perbedaan ta’wil ayat-ayat sifat Allah. Dalam konteks perbedaan seperti ini para ulama menggunakan istilah khata-shawab bukan haq-bathil.
Imam Ishfarayni, sebagaimana dikutip dalam Mafhum Ahlussunnah wal Jama’ah, mengatakan secara garis besar, kelompok Aswaja dibagai menjadi tiga kelompok besar. Yaitu al-Atsariyyah, al-‘Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Imam Ishfarayni mengatakan bahwa pemimpin kelompok Al-Atsariyyah ini adalah Imam Ahmad bin Hambal. Mereka juga banyak dari kelompok Ahlu Dzahir. Al-‘Asyariyah dipimpin oleh Imam Abu Hasan al-‘Asyari, dan al-Maturidiyyah imamnya adalah Abu Mansur al-Maturidi (Abu Fath al-Bayanuniy, Mafhum Ahlus Sunnah, hal. 39-40).
Jika terdapat perbedaan di antara tiga madrasah Aswaja tersebut, maka harus diartikan bukan perbedaan prinsipil, yang bisa menyebabkan kekufuran. Perbedaan di antara tiga madrasah Aswaja tersebut di atas terletak pada perkara furuiyyah (cabang-cabang dalam ajaran agama). Imam al-Baghdadi mengatakan, “Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan sesama penganut Ahlussunnah karena perbedaan di antara mereka tidak sampai pada batas kekufuran. Berbeda dengan kelompok di luar Ahlussunnah seperti Khawarij, Syiah, Qadariyah, Jabariyah dan lain-lain” (Abdul Qohir al-Bahgdadi, Al-Farqu bainal Firaq, hal. 282).
Hal itu seperti dikatakan oleh Imam al-Dzahabi. Ia berpendapat bahwa perbedaan di antara kelompok Ahlussunnah, bagaimanapun tidak sampai pada taraf pengkafiran. Berbeda dengan kelompok di luar Ahlusunnah, yang mengedepankan hawa nafsu dan berakibat saling mengkafirkan saudara Ahlussunnah.
Maka, salah satu ciri dan karakter Aswaja adalah menjaga kebersamaan. Sebagaimana dicontohkan para ulama salaf, mereka menjauhi perpecahan, meninggalkan sikap saling mengkafirkan sesama Aswaja, membid’ahkan, dan memfasikkan dalam perkara-perkara yang sifatnya furu’. Perbedaan pendapat di antara mereka tidak sampai menimbulkan tafarruq (perpecahan) dan terkotak-kotak menjadi beberapa golongan yang saling bermusuhan.
Ibnu Taimiyah pernah melarang para pengikutnya yang menyalah-nyalahkan dengan bahasa pelaknatan kepada tokoh madzhab Asy’ari. Dalam kitabnya Majmu’ Fatawa juz 4 ia mengatakan: “Barangsiapa yang melaknat ulama Asy’ari, maka sungguh laknat itu akan kembali kepada dirinya. Barangsiapa yang melaknat orang-orang yang tidak boleh dilaknat, maka laknat itu kembali kepada dirinya sendiri. Para ulama kita adalah penolong bidang furu, sedangkan Asyari penolong bidang akidah” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa jilid 4 hal.16).
Pada abad ke 3 H sampai 4 H, terjadi fitnah di dalam umat Islam. Masa itu adalah zaman munculnya aliran-aliran sesat. Di saat itu pula di kalangan internal Aswaja terjadi keributan. Ibnu Taimiyah menyaksikan orang-orang yang melaknat pengikut madzhab Asy’ari. Padahal, para tokoh-tokoh madzhab Atsariyah (pengikut Ahmad bin Hanbal) berlepas diri dari para pelaknat tersebut. Ibnu Taimiyah melarang caci-makian. Kemudian mengeluarkan fatwa bahwa mereka (Asy’ariyah) adalah bagian dari orang Mu’min.
Karena itu, akhlak para ulama Aswaja inilah yang harus diteladani ketika terjadi perselisihan dan perdebatan di antara umat Islam. Mereka mengeluarkan fatwa salah terhadap madzhab lainnya, namun tidak sampai memecah ukhuwah dengan mencaci dan mencela sesama mereka. []