Persiapan Jiwa untuk Ramadhan

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

tumblr_m790myUHrW1qm2uiso1_1280inpasonline.com – Manusia dalam pandangan Islam mengandung dua unsur utama. Yaitu, organ fisik dan jiwa (nafs). Jika salah satu dari keduanya lenyap atau tidak berfungsi, maka manusia dapat dikatakan tidak sempurna atau cacat.

Jika salah satu organ manusia tidak berfungsi, manusia tersebut disebut cacat. Maka, begitu pula, jika jiwa kita mati atau tidak berfungsi, maka seharusnya disebut pula manusia cacat. Manusia yang cacat raga, masih bisa berfikir sehat dan beriman. Akan tetapi, jika yang cacat adalah jiwa, maka inilah yang disebut penyakit hati (maradh qalb).

Nafs atau hati (qalb) merupakan unsur pengendali yang mengatur raga. Oleh karena itu, komponen ini merupakan unsur yang sangat pengting dalam diri manusia untuk mengatur segala aktifitasnya.

Maka, jika raga membutuhkan makanan, maka jiwa pun lebih butuh ‘nutrisi’yang lebih. Sayangnya, banyak di antara kita lebih mementingkan kebutuhan raga daripada kebutuhan jiwa. Menjelang bulan Ramadhan, banyak yang lebih sibuk menyiapkan makanan raga, tetapi membiarkan jiwa/hatinya kelaparan.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas membagi jiwa menjadi dua. Pertama, jiwa aqli (al-nafs al-natiqah). Kedua, jiwa hayawani (al-nafs al-hayawaniyyah). Menurutnya, adab terhadap diri adalah jika jiwa aqli mampu mengendalikan jiwa hayawani sehigga tunduk dalam kekuasaannya. Artinya meletakkan jiwa aqli dan jiwa hayawani pada tempatnya yang wajar (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal.43). Sebab, jiwa aqli lebih tinggi kedudukannya daripada jiwa hayawani.

Jika jiwa aqli yang menguasai jiwa hayawani, maka jiwa tersebut menjadi jiwa Islami. Jiwa yang tunduk kepada aturan-aturan Allah Swt. Inilah yang disebut al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Yaitu jiwa yang jika melaksanakan ketaatan dan ibadah dia akan merasakan ketenangan jiwa. Sebaliknya, jiwa ini tidak tertarik lagi untuk memenuhi dorongan syahwat setan.

Sehingga, manusia yang hanya sibuk memberi kepuasan raga daripada memberi makanan jiwa adalah manusia yang kehilangan adab (loss of adab) kepada dirinya sendiri.

Jiwa hayawani lebih tunduk kepada perintah setan. Dan justru lebih bersemangat untuk menentang Tuhan-nya. Jika jiwa manusia itu ringan bermaksiat, maka jiwanya dikendalikan setan. Karena itu, manusia yang tidak merasa berat menghina Allah, menghina Rasul-Nya dan agama Islam adalah manusia yang cacat. Yakni cacat jiwanya. Disebabkan jiwa hewani menguasainya. Sedangkan jiwa aqlinya mati.

Dapat dikatakan, manusia yang taat pada Allah Swt adalah manusia yang rasional. Menggunakan akal sehatnya. Sebaliknya manusia yang menentang Allah adalah makahluk yang jasadnya manusia tetapi jiwanya hewan

Manusia yang cacat jiwanya adalah manusia yang seluruh jiwanya dikuasai oleh jiwa hayawani. Sesuai dengan namanya – hayawan — kesibukannya hanya untuk kebutuhan perut, seksual dan pembentukan raga. Perbedaan manusia dan hewan, salah satu di antaranya adalah, manusia memiliki hati, sedangkan hewan memiliki nafsu.

Karena itu, penyakit-penyakit hati seperti tamak, takabbur, hasud, iri dan lain-lain bisasanya ditumbuhkan oleh jiwa yang hanya menuruti kebutuhan perut dan seksual saja.

Dikisahkan oleh imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahwa Iblis suatu ketika pernah menampakkan diri kepada Nabi Yahya alaihissalam dalam keadaan tergantung pada lehernya beberapa gantungan-gantungan. Nabi Yahya bertanya kepadanya: “Wahai Iblis, apa yang menggantung  di lehermu”? Iblis menjawab: “Inilah syahwat hawa nafsu manusia yang dengannya aku menggoda para manusia”.

Lalu Nabi Yahya bertanya lagi: “Apakah ada sesuatu yang dapat meredam serta mencegah terlampiasnya syahwat-syahwat tersebut yang kau jadikan senjata kapda manusia”? Iblis menjawab: “Ketika engkau merasa kenyang karena makanan, maka aku akan jadikan dirimu berat untuk melaksanakan shalat dan berdzikir kepada Allah”.

Untuk bulan Ramadhan, persiapan jiwa lebih dibutuhkan daripada persiapan raga. Bulan ini layaknya madrasah yang dipersiapkan untuk mencetak individu-individu beradab (insan adabi). Suasana bulan suci dengan semarah ibadah dan mengaji sangat mendukung untuk mendidik jiwa.

Ramadlan adalah madrasah untuk mengislamkan jiwa dan pikiran. Jiwa dan pikiran yang Islami, — yaitu yang bersih — selalu patuh dan tunduk kepada Allah, beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk membenci agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai Islam dan kebenaran Allah.

Perkara yang harus dipersiapkan jiwa adalah supaya menghindari atau menghilangkan segala penghalang datangnya rahmat Allah Swt. Di antara yang menyebabkan terhalangnya rahmat Allah adalah durhaka kepada orang tua, permusuhan sesama Muslim, istri durhaka kepada suami dan meminum khamar atau barang haram.

Di dalam masyarakat Muslim Indonesia ada tradisi menarik, yaitu menemui kedua orang tua, sungkem dan meminta maaf. Ada pula yang mengucapkan permintaan maaf kepada suadaranya Muslim. Bahkan ada yang berziara kubur orang tuanya untuk dibacakan doa. Tradisi semacam itu dilakukan mengandung makna, supaya rahmat Allah Swt tidak terhalang pada saat bulan Ramadhan.

Maka, setiap Muslim sudah seharusnya menghilangkan penghalang-penghalang yang merintangi jiwanya untuk meraih rahmat Allah Swt. Orang-orang yang durhaka kepada orang tua, bertengkar sesama Muslim, memutus silaturahim dan lain-lain di malam bulan Ramadhan, atau di pun di malam lailatul qadar, tidak mendapatkan anugerah yang diturunkan Allah Swt.

Disebabkan ada penghalang tersebut. Lebih-lebih jika yang dilakukan adalah durhaka kepada Allah. Durhaka kepada manusia yang dia cintai-Nya saja sudah menjadi penghalang.

Tetapi, tidak kalang penting dari hal tersebut adalah menghadiri majelis ilmu. Karena, makanan jiwa manusia itu adalah ilmu. Imam Ahmad pernah mengatakan: “Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada (mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang nafasnya.” (Lihat Thabaqat Al-Hanabilah  I/146).

Semakin sering menghadiri majelis ilmu, semakin mudah jiwa itu disembuhkan dari tipu daya setan. Ibnu Athoillah mengatakan pernah mengatakan kepada seseorang: “Jika kau menghadiri majelis ilmu, lalu kembali melakukan maksiat, janganlah berkomentar: ‘Apa gunanya aku hadir’? Namun, tetaplah dari! Selama empat puluh tahun jiwamu menghidap penyakit, lalu kau berpikir penyakitmu akan hilang dalam sekejap atau satu hari?” (Ibnu Athoillah al-Sakandari,Tajul Arus, hal.423).

Dengan demikian, tidak lah heran riwayat yang mengatakan ‘Barangsiapa mengenali jiwanya, maka dia telah mengenal Allah Swt’. Wallahu a’lam bisshowab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *