Potret-Potret
Kita bersyukur bahwa Allah –untuk kali ke sekian- telah memberi kita kesempatan menikmati sekolah hebat bernama ‘Madrasah Ramadhan’. Dulu, ‘Madrasah Ramadhan’ telah meluluskan sosok bernama Abu Dzar Al-Ghifari, “Tokoh gerakan hidup sederhana”. Ada juga yang bernama ‘Ubadah bin Shamit, “Tokoh yang gigih menentang penyelewengan”. Keduanya, sangat patut menjadi teladan bagi warga di sebuah negeri yang tingkat korupsinya sangat memalukan.
Dulu, ‘Universitas Ramadhan’ telah melahirkan alumnus berkategori intelektual penjaga kebenaran, yang menjadi penerang bagi sekitarnya. Mereka, antara lain, bernama Mu’adz bin Jabal, “Cendekiawan yang paling tahu mana yang halal dan mana yang haram”. Ada pula yang bernama Abu Hurairah, yang “Otaknya menjadi gudang perbendaharaan pada masa wahyu”. Keduanya, perlu dijadikan sumber inspirasi, terutama bagi sebuah negeri yang sebagian warganya sedang mabuk kepayang dengan apa yang disebut dengan “Liberalisme Pemikiran Islam”. Hal yang disebut terakhir ini telah dengan berani diasongkan oleh kaum liberalis lewat berbagai ‘menu’ seperti relativisme, sekularisme, pluralisme agama, feminisme, kesetaraan gende’ dan lain-lain yang serupa dengan itu.
Dulu, ‘Sekolah Ramadhan’ telah menghasilkan lulusan berkarakter mujahid pembela agama Allah. Mereka, antara lain, bernama Khalid ibnul Walid, lelaki yang “Selalu waspada dan tidak membiarkan orang lengah dan alpa”. Ada juga yang bernama ‘Amr bin ‘Ash, sang “Pembebas Mesir dari cengkeraman Romawi”. Keduanya, sungguh perlu dijadikan teladan dalam hal keberanian ber-amar ma’ruf nahi munkar, terutama bagi sebuah negeri yang warganya masih relatif ‘tak melakukakan apa-apa’ atas bermunculannya berbagai aliran sesat seperti -antara lain- Ahmadiyah.
Dulu, ‘Ma’had Ramadhan’ telah melahirkan manusia yang sabar, antara lain bernama ‘Ammar bin Yasir, “Seorang tokoh penghuni surga”. Kesabaran dia –bersama kedua ayah dan ibunya (yaitu Yasir dan Sumayyah)- dalam menjalani hidup dan kehidupan sangat pantas menjadi teladan bagi sebuah negeri yang (sebagian) warganya berperilaku tak sabar dalam menggapai kebahagiaan, seperti dengan mempraktikkan seks bebas. Perilaku yang disebut terakhir itu adalah sebuah bentuk ketidaksabaran menunggu proses ‘ikatan suci’ yang bernama pernikahan.
Dulu, ‘Pesantren Ramadhan’ telah meluluskan pemimpin teladan, antara lain, seperti Umar bin Abdul Aziz, yang kerja kerasnya menjalankan amanah sebagai pemimpin telah menjadikan warga negerinya sangat sejahtera, sedemikian rupa terjadi kesulitan saat membagi zakat lantaran tak ada yang berstatus sebagai mustahiq. Umar bin Abdul Aziz sangat patut dijadikan contoh dalam hal tanggung-jawab seorang pemimpin dalam menyejahterakan warganya, terutama bagi sebuah negeri yang kaya tapi puluhan juta warganya masih tergolong miskin.
Dulu, ‘Madrasah Ramadhan’ telah menghasilkan lulusan yang gagah berani dalam menegakkan dakwah Islam dengan semata-mata mengharap ridha Allah. Mereka, antara lain, bernama Thoriq bin Ziyad. Dari Afrika dia bersama pasukannya menyeberangi laut menuju Eropa.
Setelah sampai di bibir pantai Spanyol, Thoriq bin Ziyad meminta agar seluruh kapal yang membawa mereka dibakar. Lalu, dengan tegas dia berkata: “Jika Anda takut menghadapi tantangan dakwah, maka jalan kembali ke kampung halaman sudah tak ada. Andai Anda memaksa diri untuk pulang, Anda –boleh jadi- akan menemui kematian yang sia-sia sebagai seorang pengecut. Sementara, di depan Anda terbentang jalan dakwah, jalan jihad. Jika kita berani bergerak maju, akan ada dua kemungkinan yang sama-sama baik dan membahagiakan. Pertama, kita menang, maka kita akan hidup mulia, Izzul Islam wal Muslimin akan tegak di Bumi Spanyol. Kedua, andaikata maut menjemput di saat kita berjihad fii sabilillah, maka itulah kematian yang indah lantaran Allah ridha. Dan, kitapun tahu, sejak itu Spanyol berada di bawah naungan peradaban Islam yang agung selama ratusan tahun.
Kegagah-beranian Thoriq bin Ziyad dalam mengemban amanat dakwah sangat kita perlukan terutama bagi sebuah negeri yang sebagian (untuk tak menyebut sebagian besar) warganya sudah dihinggapi penyakit “cinta dunia dan takut mati”.
Teladan, Teladanilah!
Berkaca kepada performa figur-figur teladan di atas, mari kita masuki Ramadhan dengan menata niat sebaik-baiknya. Mereka bisa seperti itu karena keseluruhan aspek kehidupan mereka –termasuk saat berpuasa Ramadhan- benar-benar telah menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai Teladan Paripurna. []