DR. Zain An-Najah: Bermazhab, Perlu Atau Tidak?

Akhir-akhir ini persoalan mazhab menjadi masalah yang pelik di kalangan kaum muslim. Yang satu berpendapat, bermazhab itu sebagai sebuah keharusan dalam beragama. Sedang lainnya beranggapan tidak perlu karena lebih utama berpatokan pada al-Qur’an dan Hadits secara langsung. Karena sama-sama fanatik terhadap pendapatnya masing-masing, akhirnya kedua kubu ini sering terjadi persinggungan.   

“Mazhab itu menurut saya sebagai sebuah madrasah (sekolah) untuk mempelajari Islam,”kata DR. Zain An-Najah, MA ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Menurut lelaki yang pernah menjabat Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Kairo Mesir ini, mazhab adalah sebuah metode yang sistimatis untuk mempelajari Islam. Sehingga dengan jalan ini orang akan mudah memahami agama ini dan tidak confuse (kacau). “Yang tidak boleh adalah fanatik buta terhadap mazhab,”terangnya.

Zein kemudian menjelaskan bahwa para ulama yang muktabar, meski mereka bermazhab, namun tetap kritis dengan mazhab yang dianutnya. Ia mencontohkan Imam Muzani yang bermazhab Syafi’I namun tetap kritis terhadap pendapat Imam Syafi’i.  Demikian pula Ibnu Taimiyah, meski bermazhab Hambali, tetap kritis terhadap mazhab yang dianutnya.

Adapun orang yang tidak bermazhab, menurut doktor ilmu fiqh dari Universitas Al-Azhar ini, boleh-boleh saja asal ia memiliki ilmu yang memadai cara memahami al-Qur’an dan Sunnah. Sedang untuk memahami keduanya harus menguasai perangkat yang dibutuhkan. Sebab bila tidak dikhawatirkan seenaknya mengartikan kedua sumber hukum tersebut. “Setidaknya ia harus menguasai bahasa Arab dengan baik, karena Al-Qur’an dan Sunnah berbahasa Arab,”jelasnya lagi. Kemudian, menurutnya,  juga harus memahami penafsiran para sahabat tentang kedua kitab tersebut. Karena merekalah orang yang paling paham isi al-Qur’an dan sunnah sebagaimana yang mereka terima langsung dari Rasulullah.  “Persyaratan ini harus dipenuhi supaya tidak terjerumus kepada penafsiran yang ngawur,”tegasnya. Resiko dari penafsiran yang nagwur iru, menurut Zein, bisa mengantarkan seseorang ke dalam neraka. Kemudian ia menyebutkan sebuah Hadits Nabi yang diriwiyatkan Imam Turmudzi yang berbunyi:”Siapa yang menafsiri Al-Quran dengan ra’yunya (akalnya), siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.”

Untuk mengetahui lebih jauh, dosen Pasca Sarjana LIPIA Jakarta pernah diwawancarai majalah Hidayatullah yang dikutip Inpasonline.com

Menurut Anda posisi mazhab itu seperti apa?

Mazhab itu ibarat madrasah bagi orang yang mempelajari Islam. Melalui mazhab inilah kita akan belajar Islam secara sistematis dan terarah. Mulai dari jenjang yang terendah sampai yang tertinggi. Sebagai contoh misalkan, dalam bidang fiqih di mazhab Syafi’i, terlebih dulu  akan diajarkan kitab yang paling sederhana seperti kitab Sullam Safina kemudian lebih tinggi lagi seperti Fatkhul Qarib dan seterusnya. Demikian juga dalam mazhab yang lain juga melalui jenjang seperti itu.  Dengan belajar model seperti pemahaman kita semakin lama semakin bagus dan terarah.

Bagaimana kalau kita belajar Islam tanpa melalui mazhab?

Tidak ada masalah. Yang penting kita menguasai secara baik perangkat yang dibutuhkan untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah. Tapi persoalannya, ada nggak orang sekarang yang memiliki ilmu yang mumpuni sehingga tidak keliru memahami firman Allah dan sabda Rasulnya.

Maksudnya?

Kita harus jujur saja, orang sekaliber Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah yang keilmuannya sudah diakui, masih bermazhab. Apalagi kita yang ilmunya tidak ada apa-apanya dibanding kedua ulama tersebut. Demikian pula ulama-ulama kontemporer seperti Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin juga bermazhab.

Bukankah wacana anti-mazhab itu berasal dari Saudi?

Itu tidak benar. Buktinya Syaik Bin Baz dan Syaik Ustaimin dan syaikh lainnya di sana bermazhab Hambali. Saya tahu mereka bermazhab karena saya lama kuliah di sana. Jadi tidak benar jika dikatakan ulama-ulama Saudi anti-mazhab.

Saya sempat belajar langsung kepada Syaikh Utsaimin dan beliau mengajarkan kitab mazhab seperti Subulusalam karya Imam Son’ani yang bermazhab Syafi’i. Kemudian diwaktu yang lain beliau mengajarkan kitab Al-Mugni karya Ibnu Qudama yang bermazhab Hambali. Demikian pula syaikh-syaikh yang lain di sana juga mengajarkan kitab-kitab turots yang bermazhab.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa ijtihad ulama yang tidak bermazhab seperti Imam Syaukani lebih briliyan dibanding ulama mazhab?

Pertanyaan ini pernah dijawab oleh profesor saya ahli fiqh di Al Azhar, bahwa ilmu Imam Syaukani itu hanya secuil kuku dibanding ilmunya Imam Syafi’i. Kalau hasil ijtihad Imam Syaukani yang hanya membanding-bandingnya mazhab dianggap briliyan dan utama, kita juga bisa melakukan hal yang sama dan bisa lebih bagus dari Imam Syaukani. Ini karena teknologi yang ada sekarang memungkinkan untuk hal itu. Kita bisa mencari kitab apa saja tinggal mengklik di maktabas Syamilah misalkan. Kemudian kita tahqiq (edit).  Terus apakah kemudian dikatakan bahwa kita lebih baik dan pinter dari Imam Syafi’i? Jelas tidak dong. Khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika dipuji memiliki ilmu yang lebih baik dari sahabat Muawiyah, ia langsung marah dan berkata bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibanding sahabat Rasulullah itu.

Maknanya apa ini?

Itulah sikap yang harus dimiliki oleh seorang ahli ilmu. Kita tidak boleh merasa paling baik dan pinter dibanding ulama-ulama terdahulu. Apalagi terhadap para sahabat dan dua generasi berikutnya yang dijamin kebaikannya oleh Rasulullah dalam pemahamannya terhadap Islam.  Kita semestinya tetap menghormati dan tabarruk (mencari berkah) kepada para ulama dan tidak merasa lebih baik dan pinter dibanding mereka.  Kalau diantara kita sudah ada yang merasa demikian, itu namanya takabur (sombong) dan tidak tahu diri.

Para ulama, terutama para fuqaha sudah bersusah payah menghabiskan harta, tenaga dan pikirannya untuk mempelajari al-Qur’an dan Sunnah Rasul, kemudian mengambil kesimpulan hukum dari kedua kitab tersebut sehingga memudahkan generasi berikutnya.  Ijtihad para fuqoha yang disebut fiqih itu dijamin mendekati kebenaran dibanding kesimpulan orang  yang ilmunya tidak seberapa dibanding mereka.

Bagaimana kedudukan fiqih dalam pemikiran Islam. Faktanya,  orang sering salah memahami isitilah syariah dan fiqih, bisa di jelaskan?

Fiqih adalah produk manusia, karena ia adalah hasil dari proses yang dilakukan seseorang dalam mengistinbatkan suatu hukum dari teks-teks Al-Qur’an dan Hadist. Dengan demikian fiqih tidaklah mutlak kebenarannya, khususnya masalah-masalah yang masih menjadi perdebatan para ulama, bahkan kadang bisa berubah-rubah menurut kondisi dan perkembangan zaman. Sedang Syari’ah adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw, yang selanjutnya kita kenal dengan Syari’at Islam. Syari’at ini kebenarannya mutlak dan tidak mungkin salah, tidak boleh bagi siapapun juga untuk merubah-rubahnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya istilah “Syari’ah” sering digunakan untuk hal-hal yang berbau fikih dan ushul fikih. Dalam dunia akademis umpamanya, kita dapatkan istilah  “Kuliyah Syari’ah” (fakultas syariah), yaitu kuliyah yang dipelajari didalamnya hal-hal yang berhubungan dengan fikih, ushul fikih, dan proses istinbat hukum.

Bagaimana  pandangan Anda  dengan wacana pembaruan fiqih oleh cendekiawan sekarang? Lalu bila dikaitan dengan fiqih kontemporer masihkah kita menyebutnya sebagai bagian dari pembaruan fiqih? 

Pembaharuan fiqih yang sering digembor-gemborkan oleh sebagian cendikiawan muslim sebenarnya bukanlah pembaharuan fikih, akan tetapi pengrusakan fikih. Hal itu, karena yang ingin memperbaharui fiqih tidaklah menguasai fiqih secara baik. Orang semacam ini akan membawa kerusakan lebih banyak dari pada memperbaharuinya. Mereka itu seperti orang yang buta terhadap teknologi, kemudian ingin memperbaharui komputer, tentunya yang didapat adalah kerusakan bukan pembaharuan atau perbaikan. Dan yang perlu digaris bawahi di sini, bahwa kita harus bisa membedakan antara ulama dan cendikiawan. Ulama adalah orang yang mempelajari ilmu syari’ah secara sistematis dari awal sampai akhir dengan manhaj yang jelas, dibawah bimbingan para ulama, sehingga  mampu menguasai ilmu dengan baik. Sedang cendikiawan adalah orang yang belajar syari’ah secara tidak utuh. Ia hanya mengambil bagian-bagian tertentu yang ia butuhkan saja.  Atau bisa kita sebut juga orang yang hanya mengetahui sedikit –sedikit dari segala sesuatu.

Adapun fiqih kontemporer, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari fiqih klasik, karena dasar-dasar ilmu kontemporer terdapat dalam fiqih klasik tersebut. Hanya saja pengembangannya harus disesuaikan dengan kondisi zaman dan kebutuhan manusia. Seperti kajian-kajian ekonomi Islam yang sekarang sedang marak di Indonesia. Itu semua tidak bisa dilepaskan dengan ” Kitab al-Buyu’ ” yang terdapat dalam fiqih klasik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *