Syiah, Persoalan Akidah Bukan Madzhab

Bahrul menyatakan, mengkaji Syiah dari sisi akidah sangat penting. Sebab selama ini ternyata tidak banyak yang mengetahui akidah Syiah. Persoalan Syiah itu adalah pada akidah, bukan madzhab. “Jika akidah salah, maka agamanya salah”, ungkapnya.

Oleh karena itu, mengawali presentasinya, Bahrul membuka diskusi dengan pemaparan tentang akidah dan unsur-unsur penopang akidah Syiah.

“Setiap Muslim punya tugas dan tanggung jawab menjaga akidah yang lurus. Sebab pada faktanya terdapat beberapa kelompok atau kaum yang memiliki akidah yang dianggap menyimpang oleh jumhur ulama seperti aqidah kaum Syiah,” tulis Bahrul dalam makalahnya.

Bahrul menyebut lima pilar akidah Syiah. Yaitu imamah, kema’suman imam, bada’, raj’ah dan taqiyyah. Eksistensi para imam diyakini oleh Syiah dari Allah. Jabatan imamah seperti kenabian. Apalagi, tambah Bahrul, para imam Syiah dianggap ma’sum (bebas dari kesalahan).

Peneliti InPAS ini lantas mengutip al-Kafi (kitab hadis rujukan Syiah) untuk membuktikan bahwa akidah Imamah Syiah berlebihan, “Dari Jafar ia berkata: “Sesungguhnya Imam jika ia berkehendak mengetahui, maka ia pasti mengetahui, dan sesungguhnya para imam mengetahui kapan mereka akan mati, dan sesungguhnya mereka tidak akan mati kecuali dengan pilihan mereka sendiri.”

Sedangkan akidah bada’ adalah keyakinan bahwa ilmu Allah itu akan berubah dan menyesuaikan dengan fenomena yang terjadi. Allah akan berubah kehendak-Nya terhadap suatu perkara sesuai dengan kondisi yang berlaku. Akidah ini tentu bertolak belakang dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. “Keyakinan ini mirip akidah dalam mu’tazilah,” simpul Bahrul.

Berikutnya akidah raj’ah. Yaitu bangkitnya penutup imam-imam mereka, yang bernama Al Qaaim (Imam keduabelas) pada akhir zaman. Ia keluar dari bangunan di bawah tanah, lalu menyembelih seluruh musuh-musuhnya.

Keyakinan-keyakinan seperti itulah yang membedakan dengan Ahlus Sunnah. Sebab itu, perbedaan Syiah dan Sunnah (Ahlus Sunnah) bukan madzhab tapi akidah.

Menyikapi penjelasan tersebut, -di sesi diskusi- Muhim menanggapi bahwa kenapa orang-orang Syiah tidak banyak yang tobat kembali ke Ahlus Sunnah? Ternyata, jelas Bahrul, sesungguhnya telah banyak orang Syiah yang bertobat. Contohnya mantan tokoh kenamaan Syiah, Husein al-Musawi, yang kembali kepada ajaran Islam, dan menulis buku mengupas kekeliruan Syiah.

Bahrul menjelaskan, tidak dipungkiri dakwah Syiah memang gencar. ”Syiah memang pandai dalam mengajak kelompok lain untuk masuk Syiah,” jelasnya. Mereka bisanya berdakwah dengan kedok cinta Ahlul Bait, padahal sebenarnya tidak tepat.

”Kita (baca:Ahlus Sunnah) juga mencintai Ahlul Bait, tapi tidak berlebihan,” terang pria asal Lumajang tersebut.

Satu lagi yang perlu diperhatikan, Syiah itu memiliki semangat Persia. Meski Persi itu bukan Syiah.

Kholili dalam diskusi tersebut menambahkan, bahwa menurut Valli Nasr, seorang Syiah moderat, Syiah ingin menghidupkan imperium Syiah dengan berencana menguasai tiga negara Arab, yaitu Irak, Bahrain dan Uni Emirat Arab. Ada indikasi membangun imperium Syiah memiliki semangat kesukuan membangkitan bangsa Persi.

M. Saad yang ikut diskusi menanyakan tentang Syiah Ghulat (Syiah ekstrim). Dalam pandangan Bahrul, Syiah saat ini dapat dikategorikan Ghulat. Ia memberi contoh, ”Dalam kitab mereka al-Kafi, disebutkan bahwa Imam Ali dan Imam lainnya memiliki ilmu yang tak terbatas. Bahkan mereka mengetahui waktu kapan akan mati”.

Dengan akidah yang seperti itu, Bahrul menyarankan agar kita selalu menjelaskan secara ilmiah tentang penyimpangan akidah Syiah, agar umat kita mengerti.

Catatan: Makalah ”Telaah Kritis Aqidah Syiah” yang dipresentasikan pada diskusi tersebut dapat dibaca di rubrik artikel situs ini. (kho)

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *