Oleh:Moh. Isom Mudin
Inpasonline.com-Akhir-akhir ini, tema hubungan budaya dan Islam kembali menghangat. Munculnya fenomena ‘Islam Nusantara’ salah satunya. Bukan hanya menghangat bahkan berubah mendidih. Mungkin saja, suatu saat akan membeku. Terlepas dari itu, tulisan ini hanya sekedar meneguk segelas varian dari salah tema besarnya. Bagaimana hubungan adat isitiadat dan budaya dalam hukum Islam? Haruskah adat itu dibuang atau atau harus diambil ? Bagaimana formulasinya ?
Tidak dipungkiri, Islam tidak datang ke lahan kosong tidak berpenghuni, melainkan menempati ruang berpenduduk beradat istiadat dan berkebudayaan. Terjadilah pertemuan antara Islam dan kebudayaan itu. Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, menyebutkan beberapa kemungkinan bisa terjadi. Pertama, kebudayaan itu akan tergeser oleh ajaran Islam. Kedua, mempertahankan tradisi, kultur kebudayaan yang sesuai dengan Islam. Ketiga, Pembawa Islam akan memanfaatkan pencapaian kebudayaan masyarakat setempat, maka terjadi proses adapsi, asimilasi, dan intregrasi hal hal dari peradaban lain. (Pembebasan Nusantara, dalam Islamia, VII/4).
Hasil dari semua proses itu akan akan menghasilkan peradaban Islam. Bagi Sayyid Al-Attas, peradaban ini merupakan “peradaban yang muncul dari berbagai kultur umat Islam di dunia, sebagai hasil penyerapan mereka terhadap din Islam dan dari sesuatu yang mereka lahirkan dari hasil penyerapan itu”. (Syed M Naquib al-Attas,Historical Fact And Fiction, xv). Dari sini, peradaban Islam tidaklah berasal dari bangsa tertentu, melainkan perpaduan Islam dengan seluruh kebudayaan manusia yang ada. Bagaimana proses situ terjadi?
Tentu, dibutuhkan sebuah metodologi yang matang. Maka, disinilah beberapa disiplin keilmuaan Islam dalam payung aqidah, syariah, dan akhaq memainkan peranannya. Salah satu diantaranya adalah Ushul Fiqh. Sebuah cabang pengatahuan yang membahas kaidah serta pembahasan pengantar untuk menghasilkan hukum-hukum syar`iyyah.
Dialog Adat dan Hukum
Membaca sejarah yang ada, adat dan budaya mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pengambilan hukum Islam. Imam Malik menjadikan amal penduduk Madinah sebagai pijakan utama dalam pengambilan hukum. Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya memberikan perbedaan hukum karena perbedaan adat-istiadat di suatu daerah tertentu. Begitu juga imam Syafi`i, sudah jamak diketahui bahwa hasil ijtihad beliau berbeda ketika bermukim di Baghdad dan Mesir. Maka lahirnya dua Qaul yang sangat masyhur. Salah satu yang menjadikan perbedaan adalah adat istiadat yang berbeda di dua kota besar tersebut.
Oleh sebab itu, dialog antara budaya dan Islam sebenarnya bukan baru lagi. Bahkan jauh-jauh hari sebelum Mujtahid mulia itu terlahir. Rasul sendiri sudah menjadikanya sebagai salah satu pijakan dalam pengambilan hukum. Contoh kecil dalam satu haditsnya, ‘Takaran adalah bagi penduduk Madinah, timbangan adalah untuk penduduk Makkah’. Nampak, budaya agraria masyarakat Madinah dijadikan pijakan untuk menjadikan takaran sebagai ukuran dalam jual beli. Hal ini berbeda terhadap penduduk Makkah yang mayoritas sebagai pebisnis, maka ukuran timbanganlah yang digunakan.
Seorang sahabat senior Ibn Mas`ud juga mempertegas, bahwa “apa yang diyakini kaum muslimin sebagai suatu kebajikan, berarti baik pula di sisi Allah”. Begitu pula sebaliknya, “apa yang diyakini kaum muslimin sebagai suatu keburukan, berarti buruk juga di sisi Allah (HR. Ahmad dan Thabrany). Seluruh perawi atsar ini “tsiqat” (Majma` Zawa`id, 1/178).
Formulasi dan Aplikasi
Tidak heran, para ulama Ushul dan Fiqh menjadikan adat dan budaya sebagai piranti dalam mencetuskan hukum. Maka lahirlah rumus seperti “adat istiadat merupakan syariat dapat dijadikan pijakan hukum” (al-âdah syarî`ah muhakkamah), “ketetapan proses adat istiadat merupakan ketetapan dengan dalil syara`”(at-tsâbit bi al-urf, tsâbit bi dalîl as-syar`iy), ketetatapan adat istiadat seperti ketetapan nash (at-tsâbit bil al-urf ka at-tsâbit an-Nash). Kaidah ini banyak dipakai ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah dengan sedikit perbedaan di kalangan syafi`yyah. (Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, 831 )
Namun, yang penting untuk ditekankan adalah, bahwa tradisi ini bukanlah landasan yuridis yang berdiri sendiri yang bisa mencetuskan hukum baru. Tetapi, dibarengi dan berhadapan dengan nash-nash yang lain. Penerapannya juga karena melihat kebutuhan primer, maslahat yang bersifat umum, mencegah kesulitan, dan meringankan hal yang sukar (Ushul al-Fiqh al-Islamy, 837 ).
Maka, tidak semua adat istiadat istiadat itu bisa masuk ke dalam kaidah tersebut. Hanya yang benar dan baik (shahih) saja, bukan yang buruk (fasid) dari segala aspeknya. Standar yang adat yang pertama adalah tidak bertentangan dengan dalil syar`i, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak membatalkan sesuatu yang sudah wajib. Sedangkan yang kedua adalah kebalikanya, bertentangan dengan syara`, menghalalkan yang haram, membatalkan yang wajib.
Fakta menunjukkan bahwa ada beberapa adat istiadat Arab yang diadopsi dan dipelihara oleh Syari`at. Misalnya, syarat kesepadanan pasangan (kafâ`ah) dalam pernikahan, perhitungan kekerabatan (ashâbiyah) dalam perwalian dan perwarisan. Semua ini ternyata berasal dari budaya arab pra-Islam. Namun, budaya itu tidak serta merta diberangus karena memang mengandung nilai-nilai positif, maslahat dan tidak bertentangan dengan nash yang ada (al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, 253). Ini menunjukkan Islam memberikan ruang dan apresiasi terhadap norma-norma lokal selama tidak bertentangan dengan syari`at.
Para ulama sepakat bahwa adat isti`adat yang baik itu wajib dipelihara dan diikuti jika menjadi norma kemasyarakatan. Seorang mujtahid wajib menjadikanya sebagai acuan dalam menggali hukum-hukum syari`at. Arif terhadap adat isti`adat ini juga merupakan sub syarat wajib untuk menjadi mujtahid. Begitu juga seorang hakim dalam memutuskan berbagai perkara di pengadilan. Rasionalitasnya, suatu kebiasaan yang berlaku secara umum dan konstan di suatu masyarakat telah menjadi kebutuhan primer-elementar (hâjyyah-dlarûriyyah). Juga dipastikan, ada kesepakatan bersama terhadap maslahatnya. (Ilm Ushul Al-Fiqh, 89-90)
Menyikapi Adat Istiadat Fasid
Telah disinggung bahwa adat fasid yang bertentangan dengan syari`at dari segala aspeknya itu harus dihilangkan. Karena, seandainya adat itu tetap diadopsi maka ketentuan dalam nash itu menjadi terbuang. Misalnya saja budaya minum-minuman keras, mengubur bayi perempuan di Arab, mengorbankan perawan untuk sungai Nil di mesir, Menyerahkan kepala kerbau untuk Nyai Roro Kidul, seks bebas, perkawinan sesama jenis di Negara-negara Barat. Tentu, adat istiadat ini tidak dapat diadopsi karena bertentangan dengan semua syari`at bahkan aqidah.
Namun, beberapa kemungkinan adat fasid tetap menjadi acuan dengan beberapa ketentuan. Pertama, meruapakan kebutuhan primer dan elementar. Karakter kebutuhan ini adalah bahwa kaum muslimin akan mengalami kesulitan hidup yang tidak dapat terhindarkan. Padahal kaidah yang sangat popular, dalam kondisi membahayakan, bisa memperbolehkan sesuatu yang dilarang (ad-dlarûrat tubîh al-Mahdzûrat). Demikian penjelasan Abdul Wahhab Kholaf. (Ilm Ushul Al-Fiqh, 90). Maka, sebenarnya pemeliharaan adat fasid itu bukan karena kefasidannya, melainkan adanya faktor eksternal baik situasi atau kondisi yang mengharuskanya.
Kedua, adanya unsur yang tidak bertentangan dari semua aspek yang ada. Maka, beberapa aspek yang bertentangan itu harus dieliminasi, dan aspek yang tidak bertentangan bisa diadopsi. Inilah penjelasan Abdul Karim Zaidan (al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, 253).
Walhasil, dapat ditarik benang merah. Budaya lokal disuatu daerah berdiri tepat di belakang nash-nash syar`i. Bisa menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan hukum, tanpa mengubah hukum asal yang sudah tetap. Tetap bisa diadopsi dan diadapsi, dipilah dan dipilih, yang sesuai dilestarikan dan dijadikan pegangan, yang tidak sesuai harus dibuang. Oleh sebab itu, jika memang ada gagasan pemikiran yang ‘menundukkan’ Islam dengan adat istiadat yang ada disuatu tempat, dapat dipastikan itu bertentangan dengan Islam.