Oleh: Ahkmad Rofii Dimyati
Inpasonline.com-Program Pemberantasan Buta Aksara pemerintah yang belakangan marak sebenarnya mengingatkan saya pada diskriminasi dan stigmatisasi “Buta Huruf” yang agak tidak adil. Program pemberantasan buta aksara oleh pemerintah tidak muncul dekade ini. Program ini sudah digalakkan pemerintah sejak zaman kemerdekaan. Namun sayangnya istilah buta huruf dimaksudkan hanya kepada buta untuk huruf-huruf latin. Padahal, sejauh pengamatan saya di beberapa tempat, sejak saya kecil, orang yang disebut buta huruf Latin tidak musti buta huruf-huruf bahasa lainnya. Misalkan kanek nenek saya dulu jika ingin mengirim surat, menulis catatan jual beli, membuat catatan pinggir pada kitab, atau menulis kitab itu sendiri menggunakan huruf Arab, walaupun bahasa Madura.
Bisa dipastikan, tradisi menulis dengan Arab ini menandakan tradisi intelektual masyarakat kita yang jauh dari buta huruf secara total. Sampai kini pun tradisi-tradisi keintelektualan itu bisa kita temukan di pesantren-pesantren kita. Talenta menulis dan membaca Arab akan kita temukan di pendidikan pesantren kita sehari-hari.
Memang, buta huruf Latin untuk zaman sekarang sangat menyusahkan, terutama dalam keilmuan modern. Maka kebutaan huruf Latin memang harus diberantas. Tapi bukan berarti harus memberantas pula tulis-baca huruf Arab. Pemberantasan tulisan berkarakter Arab serentak di dunia setelah negara-negara Barat mencaplok negera-negara jajahannya pada Perang Dunia (PD) ke II di masa lalu.
Kita sebagai pelajar Islam, tidak boleh melupakan sejarah pahit ini. Penjajahan itu membawa dampak yang sistemis, yang tidak saja memporak-porandakan alam kita, membunuh jutaan manusia, atau mencuri kekayaan kita, namun juga lebih jauh dari itu dampaknya adalah terhadap keilmuan dan tradisi keislaman. Saya contohkan, di masa yang sama, walaupun Turki tidak dijajah seperti negara-negara Asia oleh Barat, namun polanya sama yang terjadi. Mustafa Kemal yang kita kenal dengan Ataturk berani terang-terangan menjadi agen penjajah agar menggunting dan memutus tali peradaban Islam itu.
Memang alasannya untuk kemajuan. Mengubah karakter huruf agar cepat menyerap kemajuan-kemajuan yang datang dari Barat yang membanjir waktu itu. Namun tidak saja itu yang terjadi, semua yang berbau keislaman yang dianggap tidak kompatabel dengan kemajuan modern diberangus. Tulisan berkarakter Arab secara total dilarang diajarkan di sekolah-sekolah. Bacaan sholat dilarang menggunakan Bahasa Arab. Lantunan azan diubah ke bahasa Turki. Hasilnya, kini masyarakat Turki hanya sebagia kecil saja yang bisa baca tulis Arab, baca al-Quran misalnya, apalagi karakter Osmanlica (karakter bahasa Turki Usmani). Artinya sebagian besar mereka buta huruf bahasa Turki Usmani.
Apa yang bisa kita pelajari dari ini adalah pemutusan secara sistematis peradaban Islam Turki bagi masyarakatnya oleh poses sekularisasi panjang yang membelenggu dari waktu ke waktu. Simpel memang. Hanya melarang penggunaan karakter Arab di Turki. Tapi dampaknya masyarakat jauh dari Islam, jauh dari tradisi dan keintelektualan yang basisnya ada pada kemampuan baca tulis karakter aslinya, Osmalinca.
Di semenanjung Melayu, mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Walaupun tidak dilarang menggunakan karakter Arab, namun yang terjadi pemboyongan secara besar-besaran manuskrip-manuskrip kitab-kitab para ulama kita. Kini manuskrip-manuskrip itu bertebaran di perpustakaan-perpustakaan negara-negara Barat.
Terkait dengan ini, perlu kita perhatikan bahwa kegigihan para pahlawan kita dan pertahanan perlawanan atas penjajahan Barat kepada kita ada pada kuatnya tradisi keilmuan di pesantren-pesantren. Pesantren-pesantren kita mempunyai khazanah-khazanah yang lumaya kaya dengan karya. Para ulamanya juga bertaraf internasional. Lihat saja contohnya Ulama kita Nawawi al-Bantani dari Banten, Yusuf al-Makasari dari Makasar, Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri dari Aceh, KH Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur, KH Kholil dari Bangkalan dan ulama-ulama tenar lainnya yang ikut menancapkan dan menguatkan tali keimanan, keilmuan dan perjuangan melawan kebodohan ummatnya di alam Melayu ini.
Namun, kecerdikan sekaligus kelicikan penjajah segera mencium ‘ruh’ kuatnya tradisi keislaman itu. Seakan mereka telah membedah otak-otak manusia di nusantara ini, seakan itu juga mereka mengatakan, “yang menancap kuat di benak-benak mereka adalah apa yang mereka pelajari secara turun temurun melalui kitab-kitab mereka.” Kira-kira begitu kalau kita artikulasikan. Maka, sebagaimana itu juga berlaku di negara-negera Islam ketika mereka ‘merampok’ negara itu maka semua khazanah, manuskrip-manuskrip berharga diangkut ke negara-negara masing-masing. Tidak tanggung-tanggung, yang mereka angkut manusrkip-manuskrip inti. Yaitu yang memuat inti keilmuan dan keislaman, baik itu berupa akidah, falsafah, kalam dan lain sebagainya. Memang masih banyak manuskrip-manuskrip setelah usainya perang, namun sayangnya kebanyakan sudah berupa yang tidak terlalu penting lagi.
Profesor Naquib al-Attas ketika hendak mengkaji manuskrip Aceh, yaitu tulisan hamzah fansuri yang berjudul Al-Muntahi, harus memburunya ke perpustakaan Universitas Lieden di Belanda. Itu sebagai contoh kecil. Belum lagi manuskrip-manuskrip yang belum terjamah sama sekali yang mungkin memerlukan perhatian kita semua.
Dari manuskrip-manuskrip yang mereka ‘curi’ itulah mereka membuat proyek besar-besaran yang tidak saja membuat kita menjadi inferior dari mereka, namun kita tidak jarang dibuat harus ikut selera mereka, karena mereka yang punya sumber dana dan sumber manuskrip. Sedang kita sudah tidak mempunyai apa-apa. Penjajahan intelektual itu terus berlangsung hingga kini. Kita tidak boleh melupakan sejarah ini. Kata Soekarno, presiden pertama Indonesia, “JASMERAH”, yakni jangan sampai melupakan sejarah.
Suatu ketika, sahabat saya di STIU al-Mujtama, Ali Wasi’, menunjukkan sebuah manuskrip penting yang kutip penggalan kalimat-kalimatnya dan dijabarkannya sebagai berikut:
“Iman adalah makhluq atau ghairu makhluq? Dijawab dalam kitab ini, bahwa iman adalah hidayah dari Allah. Iman itu diikrarkan dengan lisan, dibenarkan oleh hati dan diimplementasikan dengan perilaku atau pekerjaan. Oleh karenya, iman merupakan pekerjaan hamba, makhluq atau manusia. Sementara hidayah dilakukan oleh Rab. Oleh karenanya, hidayah dinamakan ghairu makhluq. Dengan kata lain, hidayah adalah qadim. Dengan rasionalisasi bahwa setiap sesuatu yg datang dari Yang Qadim, maka ia adalah Qadim. Sementara iman disebut makhluq karena munculnya dari pekerjaan hamba. Dengan rasionalisasi bahwa setiap sesuatu yg datangnya dari yg baru maka disebut baru, atau dengan kata lain makhluq.”
Menarik untuk dianalisa lebih jauh. Menurutnya, manuskrip ini merupakan peninggalan pada dekade akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an. Artinya, manuskrip ini sisa-sisa penjajahan. Namun sayangnya, sampul kitab ini sudah raib dimakan usia. Sehingga penulis dan judulnya pun tak dikenali. Biasanya, manuskrip yang tidak dikenali penulis dan judulnya seperti ini disebut anonym, yakni tanpa nama.
Jika dilihat dari bobotnya isinya, maka kitab ini adalah kitab akademis. Sebab di dalamnya memuat nomenlaktur qadim dan ghairu qadim. Perdebatan ini sangat sensitif. Namun perdebatan ini menggambarkan dunia akademis. Yang menulisnya tentu saja bukan ulama kelas kacangan. Ia pasti sudah menguasai konsep metafisik falasifah maunpun ahli kalam (mutakallim). Sebab kegigihan ulama dahulu dalam keilmuan biasanya berbuah karya tulisan yang berbobot. Membacanya juga perlu bekal alat baca yang memadai. Harus mengerti diskursus filsafat, mantiq dan ilmu kalam. Kritik Al-Ghazali terhadap Ibn Sina dan Farabi dan disintesikan oleh Ibn Rusd juga harus dikuasai. Karena perbicangannya adalah perbincangan wujud atau metafisik dalam diskursus filsafat.
Manuskrip-manuskrip seperti itulah yang sebetulnya menyambungkan kita dengan tradisi Islam dan keilmuan yang berakar kuat dalam peradaban yang kemudian dipotong-potong oleh penjajah Barat dengan cara mengangkut manuskrip-manuskripnya ke negara-negara mereka. Ini penjajahan intelektual. Hingga ke hari ini, kita masih saja terjajah oleh mereka. Apa yang perlu kita lakukan, tentu saja kita sambungkan lagi. Cari jejak-jejak tradisi dan keilmuan ulama kita dahulu.
Kalau mereka para penjajah itu telah begitu jahatnya memutus rantai tradisi dan keilmuan ulama-ulama kita dahulu, maka kewajiban kita terbebas sebebas-bebasnya dari penjajahan dan sesegera mungkin kita sambung lagi tradisi yang putus itu. Bagaimana cara menyambungnya? Tentu saja jawabannya ada pada thalabul ‘ilmi. Sebab, kita umat Islam sebenarnya punya tradisi pemburuan ilmu yang sebenarnya lebih matang dari pada orang-orang Barat. Hanya saja, kita telah dikibuli oleh sistem yang dipaksakan di negeri kita sendiri dengan berbagai macam kurikulum yang ada sehingga kurikulum yang kita punya sebagai warisan dari para ulama seakan-akan tidak sesuai zaman lagi. Padahal, justru kurikulum kita saat ini semakin tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Sebab faktanya, sebagaimana tujuan thalabul ‘ilmi yang untuk menghilangkan kebodohan, justru menghadirkan kebodohon-kebodohan berantai di masyarakat.