Oleh: A Kholili Hasib
Inpasonline.com-Pada tanggal 29 Juni 1968, pada hari peringatan Piagam Jakarta, di Gedung Pola Jakarta, KH. M. Dahlan, kiai NU, yang pada saat itu menjabat Menteri Agama menyampaikan pidato:
“Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belanda lah yang tidak mau memformalkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari” (Adian Husaini,Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, hal. 162).
Pendapat kiai Dahlan tersebut sebenarnya telah mewakili pandangan para pendiri bangsa Indonesia tentang hukum Islam. KH. Wahid Hasyim dari NU dan Ki Bagus Hadikoesomo, tokoh Muhammadiyah, menyatakan penolakan terhada suara-suara minoritas yang masih ragu terhadap hukum Islam.
Pada siding BPUPKI, tahun 1945, dua tokoh ormas Islam terbesar tersebut menyampaikan aspirasinya bahwa syariat Islam untuk dimasukkan dalam UU. Pada masa itu, terjadi perdebatan, yang berakhir dengan kompromi atas klausul Pancasila dan UUD’45.
Adian Husaini menulis, tampak bagaiamana tokoh-tokoh Islam seperti KH. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadikoesoemo dan lain-lain, bagaimana kearifan, dan kecerdikan mereka dalam menyikapi rumusan Pancasila. Meskipun mereka harus kehilangan “tujuh kata” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya – tetapi para pendiri bangsa itu masih mempertahankan rumusan dasar negara dengan menetapkan konsep tauhid sebagai dasar negara Indonesia yang terumus dalam sila satu Pancasila.
Kenapa mereka akhirnya menerima kehilangan “tujuh kata” Pancasila? Sebabnya, hukum Islam itu nanti tercover dalam sila pertama Pancasila, yang selanjutnya diturunkan dalam bentuk UU.
Kesepakatan dan rumusan tersebut bahkan tidak ditolak oleh Presiden Soekarno. Ini artinya, tidak ada dari para pendiri bangsa itu yang fobia terhadap syariat Islam. Kecuali, hanya seorang perwakilan dari Indonesia Timur. Pada masa itu, para tokoh dan rakyat tidak ada yang memandang hukum Islam itu menakutkan. Bahkan, menilai positif. Karena memang telah merasalakan membawa manfaat.
Lalu siapa yang pertama ketakutan terhadap hukum Islam di Indonesia? Tidak lain adalah penjajah Belanda dan orang-orang pribumi yang menjadi antek penjajah. Sudah lama, yang berjuang banyak secara mati-matian mempertahakan bumi pertiwi adalah para ulama dan santri. Tidak heran, Belanda membenci komunitas ini. Salah satu cara nya dengan menyebarkan isu-isu buruk terhadap hukum Islam.
Atas usulan orientalis Snouck Christian Hurgronje, pada tahun 1906, Belanda membuat keputusan bahwa peraturan yang berlaku untuk orang Eropa dipaksakan berlaku pula untuk pribumi, Muslim dan non-Muslim. Pada tahun 1925 dibuatlah pasal-pasal produk Belanda untuk diberlakukan di Indonesia (Artawijaya,Dilema Mayoritas, hal. 279). Sejak itulah Belanda membatalkan hukum-hukum Islam yang sudah ratusan berjalan di tanah Jawa.
Kerajaan Mataram yang berkuasa di seluruh tanah Jawa adalah kerajaan yang menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, sehingga dalam menyelesaikan perkara yang ada di masyarakat pun mereka menggunakan hukum Islam. Karena Mataram berlaku di seluruh Jawa, maka otomatis yang berlaku di seluruh pulau Jawa saat itu adalah hukum Islam. Pengadilan agama saat itu disebut sebagai Pengadilan Dalem, dengan mengambil madzhab Syafi’i sebagai landasan bertahkimnya.
Pada tahun 1882, di Jawa dan Madura, bahkan eksistensi hukum Islam sempat mendapat pengakuan dari Belanda. Karena memang hukum Islam sudah menyatu dengan hukum adat. Bisa dikatakan substansi hukum adat di Jawa pada masa itu adalah berupa hukum Islam itu sendiri. Hal itu telah mendarah-daging dalam ranah masyarakat setelah melalui proses Islamisasi. Pada tahun itu, pengadilan Agama dibentuk yang mendapatkan wewenang menyelesaikan urusan-urusan syariah kaum Muslimin.
Bagi kaum Muslimin, eksistensi hukum Islam bukan hal yang aneh. Apalagi dipandang negatif. Bagaiamana mungkin ada pandangan aneh, bila identitas dan adat mereka adalah Islam.
Jadi, fobia dan pandangan negatif terhadap hukum Islam merupakan warisan penjajah Belanda. Tidak ada tokoh Muslim atau orang pribumi yang fobia, kecuali setelah Belanda – melalui orientalis – berkampanye menyudutkan hukum Islam. kaum abangan yang terpengaruh Belanda mengolok-olok hukum Islam.
Ketika perang Diponegoro – atau disebut perang Jawa yang berlangsung lima tahun – usai, Belanda mulai membuat hambatan-hambatan terhadap berlakunya hukum Islam. Secara berangsur, hukum Islam dibatalkan dan diganti dengan hukum produk Belanda. Hukum Belanda ini digunakan oleh kaum abangan dan secara pelan-pelan mengganti hukum Islam.
Belanda memaksakan itu dan ‘mengkader’ antek-anteknya untuk terus mempertahankan hukum warisan penjajah itu. Begitu Belanda angkat kaki, mereka wariskan perasaan fobia hukum Islam kepada rakyat. Hukum Islam yang semulanya telah menjadi bagian hukum adat, lalu dipisah, distigma buruk dan diolok-olok.
Maka, selayaknya kita renungkan dan pikirkan secara jernih apa yang dalam benak fikiran para pendiri bangsa ini. Bahwa, tidak ada sama sekali ide membredel hukum Islam. Hanyak kaum penjajah Belanda lah yang semula membatalkan disebabkan ingin tetap menancapkan kolonialisasinya dalam bentuk yang lain.
assalamualaikum wr.wb
maaf Ustad mau nanya… dari artikel bapak saya memahami bahwa hukum Islam sebenarnya sudah diberlakukan semenjak sebelum penjajahan belanda itu hadir, trus tokoh bangsa pernah menyematkan 7 kata sebagai dasar hukum. nah berarti apakah tokoh – tokoh dahulu mencita-citakan Indonesia untuk mejadikan Negara Islam? lalu bagaimana sikap kita untuk memahamkan paham ini kepada mereka yang mungkin kurang paham bahwa “yang berjuang banyak secara mati-matian mempertahakan bumi pertiwi adalah para ulama dan santri” dan bahwa UUD yg kita tahu sekarang adalah produk belanda? Syukron wassalamu’alaikum wr. wb