Hubungan antara Syari’at Islam dengan Hukum Romawi

وَ إِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلاَّ خَلاَ فِيْهَا نَذِيْرٌ (فاطر: 24)

“Dan tidak ada satu ummat pun kecuali telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”

Seluruh syari’at Ilahi memiliki kesamaan prinsip-prinsip agama dan aqidah, seperti iman kepada Allah dan menegaskan ibadah kepada-Nya, ikhlas dalam beramal, iman kepada Hari Akhir, bersiap diri dengan amal shaleh, dan memerangi kemusyrikan. Sejalan dengan hal tersebut, syari’at samawi memiliki sumber yang sama, dasar aqidah dan tujuan umum yang sama, namun berbeda dalam hukum-hukum praksis, terperinci, dan parsial yang mengatur hubungan individu dengan pencipta-Nya, dan atau antarsesama manusia.

Selain hukum samawi di atas, ada pula hukum yang dibuat atau di tetapkan oleh manusia, atau sering di sebut dengan hukum positif. Salah satu hukum positif terbesar yang memiliki pengaruh cukup kuat terhadap hukum-hukum sesudahnya adalah hukum Romawi, bahkan, para orientalis pun mengkait-kaitkan bahwasannya hukum (Syari’at) Islam pun juga telah terpengaruh oleh hukum Romawi tersebut.

Islam yang di turunkan di Arab, kemudian tumbuh dan berkembang di daerah Arab. Namun, setelah itu Islam berkembang dan menyebar ke negeri-negeri tetangga dan negeri yang jauh, serta berhasil membebaskan dan menguasai kawasan-kawasan yang sebelumnya tunduk kepada Negara Romawi Timur, seperti Syam dan Mesir. Sebagai akibat dari pembebasan wilayah tersebut, secara otomatis syari’at Islam menggantikan hukum Romawi yang sebelumnya berlaku di kawasan-kawasan tersebut.

Melihat kondisi demikian, para orientalis lantas berpendapat bahwa syari’at Islam dan hukum Romawi ada saling keterkaitan satu dengan yang lain. Sebagian besar orientalis mengatakan bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi. sebagaimana Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Pengantar Studi Syari’ah yang mengutip perkataan dari  Goldziher, Von Kremer, dan Scheldon Amos yang mengatakan bahwa “Syari’at Islam di ambil dari hukum Romawi. Berdasarkan kaidah-kaidah hukum Romawi inilah para fuqaha’ membangun struktur hukum syari’at Islam.” Tidak hanya itu, Scheldon Amos juga mengatakan bahwa: “Syari’at Muhammad tidak lain adalah hukum Romawi Imperium Timur, yang direvisi agar sejalan dengan kondisi politik di dalam kerajaan-kerajaan Arab…”

Kelompok lain mengemukakan pendapat yang berbeda akan tetapi masih dalam penafsiran yang sama, mereka berpendapat bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi dalam sebagian hukumnya. Mereka yang berpendapat demikian adalah para tokoh yang menganut teori “keterpengaruhan.” Ironisnya, pendapat yang demikian belakangan di ikuti oleh para beberapa pakar hukum dan fiqh seperti Ali Al-Badawi, DR. Abdul Razaq al-Sanburi, Dr. Syafiq Syahata, dan Prof. Muhammad Salam Madkur (Mesir).

 

Pandangan Orientalis Mengenai Hubungan Syari’at Islam dengan Hukum Romawi

Para orientalis yang berpendapat bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi menggunakan sejumlah argumen-argumen sebagai berikut: Pertama, mereka mengatakan bahwa Nabi memiliki pengetahuan luas mengenai hukum Romawi Bizantium yang diterapkan di Imperium Romawi Timur. Melalui pengetahuan ini, hukum-hukum itu terserap ke dalam syari’at Islam, dan ikut mewarnai syari’at Islam yang ada sekarang.

Kedua, mereka berpendapat bahwa di Caesarea, Beirut, Konstantinopel dan Iskandaria telah ada sejumlah institute hukum Romawi. Begitu juga telah ada sejumlah mahkamah di kawasan Romawi dan penerapan hukumnya berjalan selaras dengan hukum Romawi. Hal ini dikarenakan berbagai institusi pendidikan dan mahkamah tersebut masih tetap setelah pembebasan kawasan itu oleh Islam. Sehingga para ahli fiqh kaum Muslimin mempelajari hukum-hukum yang ada di mahkamah-mahkamah itu dan mengenal pendapat-pendapat ahli hukum institusi pendidikan tersebut, kemudian mereka menukil berbagai pendapat hukum tersebut ke dalam hukum fiqh Islam.

Ketiga, mereka mengatakan bahwa setelah Imperium Romawi ditaklukkan oleh umat Islam, para ulama syari’at menyebar di Imperium Romawi. Penyebaran ini sangat memungkinkan mereka bergaul dengan para ahli hukum Romawi dan mempelajari hukum-hukumnya, di samping penduduk negeri yang ditaklukkan juga sudah terbiasa dengan hukum tersebut. Dengan demikian, para fuqaha’ itu mengadopsi kaidah-kaidahnya pada berbagai hubungan hukum tersebut di negeri-negeri itu, demi menjaga tradisi masyarakat setempat.

Keempat, para orientalis berpendapat bahwa hukum Romawi secara tidak langsung mempengaruhi syari’at Islam melalui hukum Jahiliyah dan kitab Talmud Yahudi, yaitu kitab syari’at agama Yahudi. Karena hukum Jahiliyah terpengaruh oleh ukum Romawi maka sebagian kaidahnya terserap ke dalam hukum Jahiliyah sebagaimana telah terserap ke dalam Talmud. Karena syari’at Islam mengakui sebagian undang-undang bangsa Arab Jahiliyah maka berarti sebagian kaidah hukum Romawi telah terserap ke dalam hukum-hukum syari’at Islam.

Kelima, mereka mengatakan bahwa di antara bukti nyata terpengaruhnya syari’at Islam oleh hukum Romawi adalah kemiripan yang kita amati dalam system undang-undang, hukum dan kaidah yang ada di dalam syari’at Islam dan hukum Romawi. Hal ini berarti bahwa syari’at yang muncul kemudian (syari’at Islam) itulah yang menukil berbagai aturan dan hukum dari undang-undang terdahulu (hukum Romawi) karena yang datang kemudian itulah yang mencontoh kepada yang pertama, bukan sebaliknya.

 

Kritik Terhadap Pandangan Orientalis Mengenai Hubungan Syari’at Islam dan Hukum Romawi

Pandangan para orientalis yang mengatakan bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi pada dasarnya adalah merupakan tuduhan yang tidak benar dan tidak didukung oleh pengetahuan dan penelitian. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Nabi dilahirkan di rumah seorang Arab asli dan di Makkah yang merupakan negeri Arab murni. Tidak ada pengaruh tradisi atau pun hukum Romawi. Nabi tidak pernah meninggalkan Makkah ke luar Jazirah Arab kecuali dua kali sebelum kenabian, yaitu pada saat keluar bersama pamannya Abu Thalib ke Syam untuk berdagang hingga sampai ke Bashra, dan pada saat Nabi pergi ke Syam dalam rangka menjalankan perdagangan Khadijah, bersama pembantunya Maisaroh. Di samping itu semua, syari’at Islam adalah wahyu yang diturunkan dari Allah. Jadi mustahil wahyu ini tercantum dengan hukum Romawi atau selainnya.

Ditinjau secara historis, para orientalis yang mengatakan bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh berbagai mahkamah dan institusi pendidikan sangatlah lemah, Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan yang mengutip dari Dr. Shufi Hasan Abu Thalib menyatakan bahwa Kaisar Romawi Gestanian menerbitkan undang-undang pada 16 Desember 533 M. berkenaan pembubaran seluruh institusi pendidikan hukum di Imperium Romawi kecuali institute Roma, Konstantinopel dan Beirut. Dari ketiga institusi ini tidak ada yang memiliki pengaruh terhadap fiqh Islam atau fuqaha’ kaum Muslimin. Dakwaan para orientalis yang mengatakan bahwa fuqaha’ Muslimin terpengaruh oleh institute di Iskandaria tidaklah benar, karena sebelum umat Islam membebaskan kawasan ini pada tahun 641 M. institute tersebut telah dibubarkan terlebih dahulu dengan adanya undang-undang Gestanian.

Adapun mereka yang berpendapat bahwa dengan menyebarnya fuqaha’ di kawasan-kawasan yang dikuasai oleh Islam kemudian mereka (baca: fuqaha’ Muslimin) mempelajari hukum Romawi juga sebenarnya tidak memiliki cukup argument yang kuat, karena pada penjelesan di atas bahwa para fuqaha’ Muslimin tidak pernah bersinggungan dengan dan terpengaruh oleh institute-instiut hukum Romawi yang mereka (orientalis) dakwakan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa syari’at Islam adalah hukum yang wajib di terapkan di negeri Islam kepada seluruh penduduk negeri dan orang-orang yang bermukim di Negeri Islam. Seorang qadhi (hakim) Muslim tidak dapat memutuskan perkara dengan selain syari’at Islam. Begitu juga seorang faqih tidak dapat memberikan fatwa hukum selain dengan syari’at Islam.

Pada argumentasi yang mengatakan bahwa legislasi hukum Romawi terserap ke dalam syari’at Islam melalui Arab Jahiliyah juga tidak di dasari dengan alasan yang kuat. Karena masyarakat Arab Jahiliyah pada waktu itu berhubungan dengan tetangga mereka dari penduduk Negara Romawi, namun hubungan ini sangat lemah dan terbatas, komunikasi mereka dengan bangsa-bangsa Romawi sangat lemah, karena mayoritas masyarakat Arab tidak mengenal baca tulis dan tidak menguasai bahasa-bahasa asing. Oleh karena itu, semua hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa Negara Romawi tidak memberikan pengaruh apapun dalam bidang hukum.

Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa sebagian syari’at Islam adalah mengutip dari kitab Talmud juga sebenarnya tidak memiliki cukup bukti, karena kedua hukum tersebut saling bertolak belakang, sebagai contoh di dalam masalah perkawinan. Nikah dalam ajaran Yahudi adalah sebuah akad yang bersifat tormalistik, tidak bisa terlaksana kecuali telah melalui sekian banyak formalitas yang telah ditentukan, seperti ucapan dua pelaku akad dengan ungkapan-ungkapan khusus dalam bahasa Ibrani, pencatatan akad, pensuciannya melalui cara sembahyang keagamaan khusus yang dihadiri sejumlah laki-laki tertentu. Perkawinan tidak dapat dilaksanakan pada hari-hari besar Yahudi dan hari Sabtu. Sedangkan pernikahan dalam fiqh Islam terlaksana dengan sikap saling rela, hadirnya dua saksi, dan tidak mensyaratkan banyak formalitas tertentu. Jadi jelas bahwa hukum Yahudi berbeda dari syari’at Islam secara mendasar.

Adapun pendapat terakhir yang mengatakan bahwa ada kemiripan antara syari’at Islam dengan hukum Romawi tidak dilandasi dengan argument yang kuat, sehingga argument tersebut menjadi gugur dan tertolak karena, (1) sebagian kaidah yang memiliki kemiripan, seperti kaidah kewajiban menghadirkan bukti-bukti atas penggugat, juga kaidah tentang haramnya mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar, hal ini dinilai termasuk kaidah yang tersebar luas di semua undang-undang. Kaidah ini bersumber dari petunjuk akal sehat dan tuntutan keadilan. Mengabaikan kaidah ini dalam pembuatan hukum menunjukkan adanya kekurangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, kemiripan dalam masalah ini tidak membuktikan bahwa syari’at yang datang kemudian mengambil dari syari’at terdahulu. (2) kemiripan yang ada dalam system hukum di antara dua syari’at tidak membutikan secara pasti bahwa salah satunya menyerap system dari yang lain. Karena bisa jadi ia tumbuh dalam kemiripan kondisi sosiologis yang dilalui masing-masing syari’at. Sebagaimana akal yang sehat memiliki kesamaan dalam banyak model pemikirannya. (3) meskipun ada kemiripan lahiriah dalam system hukum, namun ada banyak perbedaan signifikan di antara syari’at Islam dan hukum Romawi. Hal ini menunjukkan kemandirian masing-masing dan perbedaan keduanya menyangkut sumber-sumber hukum. (4) di dalam syari’at Islam terdapat system hukum yang tidak ada bandingannya dalam hukum Romawi, seperti system hukum waqaf dan syuf’ah, dan pemberlakuan penyusuan sebagai faktor penghalang perkawinan. (5) hukum Romawi dengan sistemnya yang beraneka ragam, terpaku pada procedural dan formalitas. Sedang dalam syari’at Islam berpijak pada ketentuan yang fleksibel dalam mu’amalah dan terbebas dari formalitas sejak dari semula. (6) prinsip umum yang berlaku dalam hukum Romawi adalah pemisahan antara hukum dan moral. Misalnya, nash-nash eksplisit yang tertera dalam ensiklopedi Gestanian yang mengakui dengan jelas bahwa penyalahgunaan hak tidak dianggap sebagai tindakan illegal. Bertolak belakang dengan kaidah-kaidah syari’ah Islam yang berpijak pada nilai-nilai moral dan membuka diri untuk terserapnya prinsip-prinsip moral ke dalam system hukumnya. Hukum Romawi mengakui system “siapa yang lebih dahulu” sebagai sarana mendapatkan kepemilikan dengan syarat-syarat tertentu karena lemahnya hubungan antara hukum dan moral. Sedangkan syari’at Islam menolak pengakuan konsep ini kaena nilai-nilai moral yang berlaku dalam syari’at tidak membolehkan pengalihan hasil perampasan (ghasab) menjadi hak milik, dan tidak membolehkan berlalunya waktu sebagai faktor yang mengakibatkan kepemilikan.

 

Penutup

Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa syari’at Islam tidak ada kaitannya dengan hukum Romawi sebagaimana di lontarkan oleh para orientalis. Syari’at Islam tumbuh secara mandiri, dan fiqihnya berkembang secara terpisah dari hukum yang berawal dari adat kebiasaan. Syari’at Islam menyandarkan hukum-hukumnya pada sumber-sumber tertetu yang tidak merujuk kepada hukum asing, dan sejalan dengan kaidah-kaidah permanen yang menjadi landasan ilmu ushul fiqh.

Perbedaan antara syari’at Islam dan hukum Romawi ini sangat mendasar, karena syari’at bersandar pada wahyu Ilahi. Hal ini menjadi pembeda yang paling jelas antara syari’at dan lainnya, dan membuat jurang pemisah antara syari’at Islam dan hukum Romawi serta hukum positif lainnya.

Dengan semua itu, syari’at Islam mencakup aturan-aturan hukum yang tidak dicakup oleh hukum Romawi hingga masa akhir perkembangannya. Karena semua itu, dan mengingat realitas syari’at Islam yang membedakannya dari selainnya, sesungguhnya syari’at Islam merupakan syari’at yang berdiri sendiri dan tidak terpengaruh oleh undang-undang apa pun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *