Oleh: Wardatul Jannah
Pendahuluan
Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” bagi bangsa Indonesia memiliki nilai asasi dan strategis. Bagaimana tidak, Pancasila merupakan rumus bersikap rakyat Indonesia. Sebagai way of life, posisi Pancasila bagaikan ‘ruh’ bangsa. Sementara sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” ditempatkan pada urutan pertama dari lima sila. Sehingga sila pertama ini adalah landasan pacu untuk melaksanakan sila-sila selanjutnya.
Hal itu mengandung pesan filosofis, bahwa kehidupan berbangsa — sejak sebelum merdeka hingga meraih kemerdekaan — bercorak kehidupan religius. Watak bangsa yang berketuhanan ini dirumuskan secara yuridis-filosofis dalam bentuk butir-butir sila Pancasila. Apalagi, kemerdekaan negara ini tidak lepas dari perjuangan para pemimpin agama, yang dalam hal ini banyak dibantu oleh ulama dan santrinya. Karakter bangsa yang berketuhanan ini yang ingin diteruskan oleh para pendiri bangsa ini sejak awal perumusannya. Maka, aplikasi nilai-nilai ketuhanan dalam wadah agama oleh bangsa ini bukan hanya legal namun merupakan kewajiban. Lebih penting dari itu, nilai-nilai ini harus dipraktikkan dalam setiap sudut kehidupan rakyat Indonesia. Para pendiri bangsa ini sadar, bahwa untuk mengantar bangsa ini menjadi bangsa bermartabat dan beradab harus dengan mempraktikkan nilai-nilai ketuhanan bukan nilai anti-ketuhanan.
Pancasila dan Agama Islam
Ketika pertama kali pancasila dirancang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers), karakter negara yang diinginkan adalah sebuah “Negara berketuhanan, berkeadilan dan bermartabat”. BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) – sebuah panitia kecil yang bertugas menyiapkan asas-asas kenegaraan pada tanggal 22 Juni 1945, bersepakat atas kesempatan bersama bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan”.
Panitia yang beranggotakan sembilan orang; Soekarno, Mohammad Hatta, AA. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Achmad Subarjo, KH. Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin, berdebat sangat sengit dan melelahkan. Namun, akhirnya berhasil merumuskan kesempatan sangat penting dalam bentuk Pancasila dan UUD’45, sebagai dasar dalam menjalankan negara Indonesia.
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunjukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Kesepakatan pendiri negara negara berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid ini tidak berlebihan. Sebab, kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai berkat jasa besar para ulama, santri dan kaum Muslimin yang berperang melawan penjajah. Dalam tiap tahap-tahap perjuangan bangsa, selalu ada peran ulama. Sebelum memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno di Cianjur menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan2.
Jendral A. H. Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22
Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk
1 Lihat Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009), hal. 27 dan 275
2 Ibid
dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar3.
Prof. Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau
‘Kedaulatan Allah’4.
Pendapat tersebut juga pernah diputuskan oleh ulama NU dalam Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo Jawa Timur tanggal 21
Desember 1983. Di antara keputusan Munas tersebut adalah, (1) Sila ‘Ketuhanan
Yang Maha Esa’ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1
UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimaman dalam Islam.
- Natsir pernah mengatakan bahwa Pancasila, dapat sesuai dengan tujuan pendiri bangsa, sehingga dibingkai dengan nilai Tuhan Yang Maha Esa. KH. Muhammad Isa Anshori memiliki pendapat yang sejalan bahwa Pancasila sejalan dengan agama.
Sebabnya, nilai ketuhanan menjadi asas dari filsafat Pancasila itu. Bagi dia,
3 Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1997) ,hal.
29-30
4 Hazairin,Demokrasi Pancasila,(Jakarta: Tintamas, 1973), hal. 31
5 Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Gema Insani Pres, 1997), hal. 33
penjagaan Pancasila haruslah dengan cara mengaplikasikan sila pertama ke dalam sila-sila yang lainnya.
Merujuk dari pendapat KH. Muhammad Isa Anshori, maka antara Pancasila tidak perlu dihadap-hadapkan secara vis a vis dengan agama Islam. Hal ini sudah pernah ditegaskan oleh mantan Presiden Soeharto. Sebagai way of life rakyat Indonesia, Pancasila bagi Soeharto jangan dipertetangkan dengan agam a. Kata beliau: “Jangan mengamalkan Pancasila dan jangan mempancasilakan agama”6.
Terkait dengan itu, amanah besar yang harus diusung kembali oleh generasi kita sekarang adalah, menjadikan Indonesia lebih beradab. Kaum Muslimin harus didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah Swt.
Cegah Ekstrimisme dengan Nilai Sila Pertama
Paparan singkat di atas telah menegaskan, para pendiri bangsa ini sepakat bahwa membangun negara itu harus dengan menegakkan nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa, bukan dengan memelihara ideologi atheisme atau kebebasan tanpa Tuhan. Atheisme dan kebebasan untuk tidak bertuhan jelas tidak mendapatkan tempat di dalam Pancasila maupun UUD ’45.
Karena itu, menafsirkan Pancasila sila pertama tentu saja dikembalikan kepada tafsir para penyusun atau pendiri bangsa ini. Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat dipahami “Tuhan itu tidak ada, alasannya Tuhan hanya ilusi manusia saja”. Statemen
kaum atheisme ini tidak boleh hidup di negeri ini.
6 M.Rusli Karim,Negara dan Peminggiran Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 177
Sila pertama Pancasila selamanya tidak bisa berdamai dengan ideologi ateisme. Akar – akarnya pun tidak ditemukan dalam jati diri bangsa Indonesia sejak dahulu. Ideologi yang dalam sejarah banyak berlumuran dengan kekerasan dan radikalisme ini merupakan kategori ideologi “trans-nasional”, bukan asli dari bumi Nusantara.
Ideologi atheisme lahir dari masyarakat yang gagal memadukan antara agamanya dengan realitas ilmu pengetahuan. Kegagalannya melahirkan ideologi baru yang memusuhi agamanya. Mereka lari dari agama dan menumpukan kepada ilmu pengetahuan belaka. Dengan mengamalkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, diharapkan bangsa Indonesia dapat memelihara keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta dengan segala sifatnya yang sempurna. Menurut Prof. Mohammad Baharun, keimanan dan ketakwaan ini tercermin dalam kehidupan masyarakat yang memiliki ketahanan moral dan spiritual, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh berbagai faktor tekanan ekonomi maupun tekanan budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
religius7.
Selanjutnya Baharun mengatakan, aplikasi nilai ketuhanan ini yang mendasarkan pada hablumminallah (hubungan dengan Allah) berkonsekwensi logis harus
menyambung hablumminannas (hubungan sosial ddengan manusia), yakni
membangun harmonitas sosial dengan sesama manusia sebagai keseimbangan hidup di dunia8.
7 Mohammad Baharun,Implementasi Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila Guna Menanggulangi Kekerasan, (Malang: Pustaka Bayan,2012), hal. 87
Dalam menjalankan beragama memang sudah semestinya dilandasi dua dimensi ibadah; ibadah ritual spiritual dan ibadah sosial. Orang yang bertauhid mesti harus baik secara sosial. Jika salah satu dimensi ditinggalkan maka akan terjadi kekeliruan. Dan orang yang mengamalkan ibadah sosial semestinya dilandasi nilai-nilai ketuhanan. Inilah maksud dari hirearki hablumminallah dan hablumminannas.
Memujudkan cinta kasih di dalam masyarakat, saling menghargai dan menghormati tidak melakukan tindakan kasar sebetulnya merupakan praktik dari tauhid itu sendiri. Menyembah kepada Allah akan Swt tetapi berbuat buruk kepada orang lain bukan-lah karakter Muslim bertauhid. Begitu pula berbuat baik kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat tidak puasa dan lain-lain misalnya, juga bukan karakter Muslim yang baik.
Artinya, seseorang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia. Jika pun akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi Muslim bertahid yang sempurna. Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid dan keimanan, bukan yang lainnya. Inilah yang disebut Muslim yang baik.
Berbuat baik kepada orang tua, anak yatim dan tetangga dimasukkan oleh Allah Swt ke dalam salah satu tanda keimanan seseorang. Allah Swt berfirman: “Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Juga berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman seperjalanan, sepekerjaan, sesekolah dan lain -lain – orang yang dalam perjalanan dan — lalu kehabisan bekal — hamba sahaya yang menjadi milik tangan kananmu.” (QS. al-Nisa: 36).
Rasulullah Saw bersabda: ”Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. al-Bukhari).
Kita lihat ayat al-Qur’an dan hadis di atas, keimanan kepada Allah Swt dan hari akhir diukur dengan perbuatan baik kepada tetangga dan hormati tamu. Sebagian dari kita barangkali meremehkan bentuk-bentuk tauhid sosial ini. Menghormati tamu. Sesuatu yang dalam perspesi kita merupakan tradisi biasa. Maka, tindakan brutal terhadap manusia sesungguhnya tidak memiliki landasan dari Ketuhanan Yang Maha Esa, atau yang dalam Islam tidak sesuai dengan konsep tauhid yang sempurna. Mohammad Baharun juga menjelaskan bahwa terciptanya kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing tanpa paksaan bagi para pemeluknya, sehingga masyarakat dapat saling menghormati di dalam menjalankan ibadah agama dan kepercayaan masing-masing. Perbedaan agama adalah sesuatu yang bersifat wajar, karena itu pemeluk harus saling menghormati, tidak saling mengusik dan mengganggu.
Penutup
Atas dasar itulah maka, agama di negeri ini bukan hanya berhak dilindungi tapi wajib dilindungi negara. Sehingga, diperlukan kerja sama pemerintah dan pemuka agama untuk menciptakan kehidupan religius, mengamlakan nilai-nilai ketuhanan. Bahwa diperlukan peran agama yang kuat dalam membentuk karakter dan moral bangsa. Sehingga tidak terjadi penyimpangan perilaku akibat degradasi moral. Para pemuka agama senantiasa dapat menjelaskan pencerahan terhadap umat, sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh sesuatu yang negatif sebagai akibat perkembangan lingkungan modern yang sangat dinamis. Negara ini terjaga oleh nilai-nilai agama yang menjunjung nilai ibadah sosial dan ritual.